Sunday, December 20, 2009

Sebuah Cerita dari Misa Pagi


Sosok Romo bertubuh mungil itu tidak familiar bagiku. Ternyata hari ini memang pertama kalinya Ia memimpin misa di paroki St Agustinus Manokwari. Selesai lagu pembukaan, pada saat Ia mengucapkan tanda salib, aku baru mengetahui bahwa di balik postur mungilnya itu terdapat suara yang empuk dan berwibawa. Begitu pula ketika menyanyikan bait pengantar Injil, suara merdunya menggema memenuhi sudut-sudut gedung gereja. Semangat yang terpancar dari suaranya membuat suasana misa pagi hari ini terasa berbeda. Aku tidak menguap satu kali pun, biasanya aku menguap beberapa kali karena baru bangun setengah jam sebelumnya, tidak sempat mandi hanya mencuci muka dan menyikat gigi saja.

Pada saat berkhotbah Romo Fransiskus Hartanto – nama pastur itu – menceritakan pengalaman pribadi yang lucu. Ketika masih SMP, Romo Har pernah berdoa novena dengan perantaraan Bunda Maria untuk meminta badannya bertambah tinggi. Bukan cuma 9 hari tetapi, 3 x 9 hari, artinya 3 kali sehari selama 9 hari (benar-benar mirip minum obat). Teman-temannya suka mengejek dengan kata-kata : “Har, kamu ini sudah pendek, gemuk, keriting, ingusan, tukang kentut……. Hidup lagi!” Ejekan ini membuatnya minder. Setelah 9 hari berdoa ukuran tubuhnya tidak bertambah, tetapi secara ajaib kepercayaan dirinya yang semakin kuat sehingga dia bisa menerima bentuk tubuhnya dengan bersyukur dan tidak lagi merasa rendah diri.

Cerita pengalaman Romo Har sangat menyentuh hatiku. Aku pun sering mengalami hal itu. Prosesnya berulang seperti ini : aku merasa ada yang kurang dengan diriku atau hidupku; aku berdoa minta Tuhan memberikan atau memperbaiki apa yang kurang itu; sering terjadi permintaanku tidak diberikan tetapi cara pandangku terhadap sesuatu yang aku anggap masalah atau kekurangan tersebut mulai berubah dan aku tidak lagi melihatnya sebagai gangguan yang harus dihilangkan tetapi sebagai ujian yang harus aku jawab, dan untuk itu aku harus banyak belajar agar mampu menguasainya. Akhirnya yang sering kali harus berubah adalah diriku sendiri, bukan orang lain atau keadaan di luar aku.

Itulah gunanya aku berdoa. Bukan semata-mata untuk mendapatkan apa yang aku inginkan tetapi untuk mengubah pemikiran, cara pandang, dan persepsi yang masih belum pas dalam diriku sendiri. Segala sesuatu yang terjadi pada diriku adalah berharga untuk aku syukuri karena tanpa hal-hal itu aku tidak pernah menjadi orang yang lebih baik daripada aku sebelumnya.

God, grant me a serenity,

to accept the things I cannot change

and to change the things I can

and the wisdom to know the difference

Saturday, December 12, 2009

Robert T. Kiyosaki dan Aku

Aku mulai mengenal Robert T. Kiyosaki, yang aku sebut Om
Robert, sekitar pertengahan tahun 2001 melalui buku
fenomenalnya Rich Dad Poor Dad dan The Cashflow Quadrant.
Saat itu aku sedang bekerja di sebuah perusahaan IT
Training yang cukup berkembang dan aku sangat menikmati
pekerjaanku sebagai seorang account executive aka sales.
Sebuah pekerjaan yang mampu membuatku percaya diri dan
selalu bersemangat ke kantor setiap pagi. Sampai suatu
hari aku mendapati diriku sedang menekuni huruf demi
huruf, kalimat demi kalimat, halaman demi halaman dari
buku-buku Om Robert dan taraaaaa…………. seperti tongkat
sihir isi buku-buku itu membangunkan aku dari tidur
nyenyak yang panjang dan ketika bangun aku mendapati
diriku berada di tempat yang 'salah' sehingga aku harus
bergegas meninggalkannya menuju tempat yang 'benar'.

Om Robert dalam The Cashflow Quadrant berpendapat bahwa
aku berada di kuadran E atau employee alias pegawai. Suatu
tempat yang kelihatannya nyaman tetapi sebenarnya rapuh,
aku seperti berdiri di atas lapisan es yang setiap saat
bisa pecah dan hancur. Aku seolah mendengar Om Robert
berkata,

"Ayo Dewi, cepat pindah dari sini! Tempat ini tidak bisa
kau jadikan pegangan untuk masa depanmu!"

Aku yang bingung menjawab,"Aku mesti ke mana, Om? Ke
kuadrat S (self-employeed), B (business owner) atau I
(investor)?"

"Yang paling aman ya seperti saya," sahut Om Robert," jadi
business owner dan investor."

Aku cuma termangu dan menggaruk-garuk kepala yang
sebenarnya tidak gatal. Mau jadi business owner aku tidak
punya bisnis dan belum punya modal untuk berbisnis apalagi
mau jadi investor seperti Om Robert.

Entah bagaimana nasib berpihak padaku akhirnya aku
mendapat tawaran untuk menjadi salah satu owner dari
sebuah bisnis sekaligus pengelola hariannya. Tanpa
berpikir panjang aku langsung cabut dari pekerjaanku dan
segera melangkahkan kaki ke kuadran seberang, yaitu B
(business owner). Tralala trilili trelele trololo
trululu…… aku bernyanyi gembira, merasa lega karena telah
berhasil membawa diriku berpindah kuadran. "Quadrant B,
I'm coming!!!"

Aku seperti menaiki kendaraan berkecepatan cahaya dan
dalam sekejap aku mendapati diriku sudah berganti jabatan
dari seorang sales menjadi manajer sekaligus pemilik
sebuah kursus bahasa Inggris yang dibeli secara franchise.
Tapi…….. sebentar……. ada yang tidak aku duga sebelumnya.

Semasa menjadi pegawai aku bekerja mulai jam 8 pagi sampai
jam 12 siang, istirahat makan siang, lalu bekerja lagi jam
1 siang sampai jam 5 sore. Aku bekerja hari Senin sampai
Jumat saja. Di luar jam dan hari kerja aku bebas
menggunakan waktuku untuk kegiatan lain. Tetapi……. setelah
menjadi business owner, yang memulai segala sesuatunya
dari awal, jam kerjaku tidak menentu. Hari Senin, Selasa,
Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu pikiranku dipenuhi oleh
rencana-rencana bisnis yang tidak bisa berhenti aku
pikirkan. Kegiatan operasional seperti menyediakan
peralatan kantor seperti telepon, faks, komputer,
internet, meja, kursi, toilet, dan merekrut pegawai adalah
bagian dari tugasku, di mana ketika terjadi kebutuhan
atau masalah, semua mata terarah padaku meminta keputusan
dan tindakanku. Duh…… mana aku bisa santai seperti waktu
menjadi pegawai, di sela-sela jam kerja masih bisa
mengobrol dengan teman dan jika agak tidak enak badan bisa
langsung ijin. Butuh telepon tinggal memakai telepon
kantor, butuh komputer, aku tinggal mengajukan permintaan
bahkan butuh ballpoint pun aku hanya meminta. Kebersihan
toilet adalah tanggung jawab cleaning service, aku memakai
saja dan komplain kalau toiletnya kotor. Pada saat menjadi
pemilik bisnis aku bertanggung jawab untuk semuanya itu
meskipun bukan aku yang harus mengerjakannya.

Yang paling sulit bagiku saat itu adalah memberdayakan
sumber daya manusia yang aku miliki. Aku belum tahu
bagaimana memotivasi mereka untuk bekerja dengan
bersemangat dan mandiri. Kalau melihat mereka menganggur
sementara aku sibuk, tekanan darahku langsung naik dan aku
cenderung marah-marah. Apalagi ketika satu demi satu
karyawanku mengundurkan diri baik dengan cara sopan maupun
tidak, aku bisa terkena serangan jantung jika aku memiliki
jantung lemah.

"Om Robert, Om bilang kalau aku sudah berada di kuadran B,
berarti posisiku sudah benar, tapi kenapa aku seperti naik
roller coaster? Mana amannya, sementara aku mesti berjuang
untuk memenangkan kompetisi yang jauh lebih berat daripada
ketika aku masih seorang sales?" teriakku dalam kekesalan
dan merasa terperdaya. Namun suaraku seperti menghantam
tembok batu, tanpa jawaban, tanpa penjelasan. Sejak saat
itu aku membenci Om Robert. Bagiku Om Robert bertanggung
jawab atas ketidaknyamanan ini.

Tetapi aku malu untuk mundur lagi. Aku harus bertahan di
kuadran B walau menghadapi rasa sepi yang menggigit setiap
hari. Aku merasa sendiri, harus berjuang sendiri, bertahan
hidup bagi diriku sendiri dan bagi bisnis yang
dipercayakan kepadaku ini.

Rupanya usaha franchise kursus bahasa Inggris adalah
pelatihan awal bagiku. Kehidupan memaksaku untuk 'naik
kelas'. Aku dibawa ke sebuah tempat yang jauh, benar-benar
jauh dari semua yang aku kenal. Di tempat itu aku kembali
ditantang untuk tetap pada kuadran B atau kembali ke titik
awal yaitu kuadran E. Tidak mudah bagiku untuk tetap
bertahan di B, tetapi untuk kembali ke E aku tidak
berminat. Aku pun memutuskan untuk tetap di B dengan modal
awal yang hanya seperempat dari modal awal di bisnis
pertamaku. Aku memulai karir menjadi seorang pedagang
buku. Mengapa buku? Karena aku pecinta buku. Sebenarnya
berjualan rokok lebih cepat balik modal tetapi aku tidak
suka rokok, tidak suka melihat orang merokok dan tidak
suka bau asap rokok. Karena itu aku tidak mau berjualan
rokok.

Untungnya toko buku merupakan 'kelas lanjutan' dari
'sekolah bisnis'ku sehingga aku lebih siap menghadapi
beban pekerjaan yang ada. Kesepian bukan lagi momok,
bahkan aku bisa menikmati kesendirian karena aku mempunyai
lebih banyak waktu untuk berpikir. Sumber daya manusia
sudah bisa aku optimalkan sehingga tidak memboroskan dana
maupun emosiku. Begitu pula sumber daya lain yang ada.
Semakin hari aku semakin mencintai toko buku ini. Aku
menikmati bekerja di dalamnya. Aku bisa mengatakan bahwa
di setiap buku yang ada di rak terdapat pula cintaku. Aku
bercita-cita membuka dan memperluas wawasan masyarakat
yang ada di kotaku melalui buku-buku karena aku sudah
merasakan manfaat membaca buku.

Pada suatu pemesanan rutin, aku harus memesan buku Om
Robert yang berjudul Rich Dad Poor Dad dan The Cashflow
Quadran untuk memenuhi permintaan konsumen. Memegang
buku-buku itu kembali, pikiranku kembali ke masa lalu tapi
anehnya hatiku merasa damai. Kekecewaan dan kebencian yang
dulu aku rasakan pada Om Robert tiba-tiba sirna. Sebuah
kesadaran baru menerangiku, bahwa aku bisa sampai pada
kehidupanku sekarang karena kedua buku tersebut.

Sekarang aku bisa melihat gambaran besar dari jalan-jalan
yang harus aku lalui untuk menemukan pekerjaan ini.
Seandainya dulu aku tidak pernah membaca tulisan Om Robert
aku tidak akan pernah meninggalkan pekerjaanku dan
melompat menjadi seorang business owner. Seandainya bisnis
pertamaku tidak sesulit itu aku juga tidak akan
meninggalkannya dan membuka sebuah toko buku. Aku
beruntung mendapat kesempatan masuk ke 'sekolah bisnis' di
kehidupan nyata karena tanpa itu semua aku tidak akan
pernah mengenal diriku sendiri.

"Om Robert, terima kasih. Mungkin dulu aku salah
menafsirkan nasihatmu. Atau aku terburu-buru dalam membaca
sehingga tidak menangkap maksudmu secara lengkap.
Maklumlah Om, karena saat itu aku masih seorang gadis naif
yang mudah dipengaruhi. Tapi, maaf Om, bagiku sekarang
tidak ada lagi kotak-kotak kuadran seperti yang Om bilang.
Dalam pikiranku sekat-sekat pembatas kuadran itu sudah
hancur. Entah aku berada di E, S, B, atau I, selama itu
toko buku, aku berada di tempat yang tepat."

"Find a job you love, so you never work everyday"
(Confusius)

Tuesday, November 17, 2009

Kamu!!!

Kamu!!! Ya kamu!!! Setiap kali mendengar suaramu berceloteh atau melihat bayanganmu berkelebat aku merasa sisi jahat dalam diriku bangkit dari kuburnya. Suara dan bayanganmu selalu berhasil menggugah rasa negatif dalam hatiku. Padahal seharusnya aku menyayangi kamu seperti adikku sendiri. Sebenarnya tidak pernah satu kali pun terjadi aku dan kamu bertengkar secara terbuka. Kita hanya saling memandang dan rasa benci itu tumbuh dalam hati kita masing-masing. Aku juga yakin suaraku dan bayanganku membuat kamu ingin memuntahkan isi hati yang sudah lama terpendam.

 

Aku ingat pertama kali bertemu denganmu di suatu pagi yang dingin. Ketika itu kamu baru turun dari mobil travel yang membawamu dari Yogyakarta. Wajahmu terlihat lelah walaupun aku masih bisa mengakui kamu cantik. Untuk beberapa hari kamu tidur sekamar denganku. Cara bicaramu sopan dan tidak ada alasan bagiku untuk membencimu ketika itu. Lalu kamu pergi melanjutkan pendidikan yang sementara sedang kamu jalani.

 

Aku tidak pernah menyangka bahwa kita akan bertemu lagi di rumahmu. Di sini aku berusaha menjalin persahabatan denganmu secara lebih dalam. Tetapi, entah mengapa, aku merasa hatiku tak pernah terhubung ke hatimu. Seperti ada dinding yang selalu memantulkan sinyal keakraban yang aku kirimkan. Terkadang kamu ramah, terkadang kamu menjauh tanpa aku bisa mengerti apa salahku. Aku juga heran mengapa kamu, seorang gadis baik, mempunyai beberapa orang ‘musuh’. Apa salahnya dirimu? Ketika aku menemukan sendiri dirimu, aku tidak merasa heran lagi.

 

Kamu adalah kesayangan orang tuamu. Bunga tercantik dalam keluarga karena kamu satu-satunya puteri yang mereka miliki. Apapun yang kamu lakukan ibumu selalu memuji dan memujamu, karena kamu memang idam-idaman yang ditunggu cukup lama. Jika tidak mengenal dirimu, orang lain akan terpesona mendengar ibumu bercerita tentang kamu. Sampai-sampai ada yang terpengaruh dengan pesonamu dan akhirnya harus kecewa ketika kamu tidaklah seindah ceritanya.

 

Satu kejadian di pertengahan 2009 telah memperjelas hubungan aku dan kamu. Sejak saat itu aku dan kamu benar-benar saling menjauhi. Jika perlu berpura-pura tidak saling melihat ketika bertemu secara tidak sengaja. Bagiku ini siksaan yang cukup mengganggu. Mungkin juga bagimu. Aku dan kamu sama-sama menyadari bahwa aku dan kamu sama-sama tidak berhak mengusir satu sama lain. Meskipun suara dan bayangan aku dan kamu menimbulkan rasa tidak enak satu sama lain. Aku tidak tahu sampai kapan rasa tidak enak ini akan terus berlangsung. Dari diriku, aku berusaha untuk membunuhnya. Aku berusaha mengakui bahwa rasa ini tidak benar, dosa. Aku berusaha menyayangi kamu. Tetapi aku belum benar-benar berhasil sampai hari ini.

 

Benarkah kamu adalah sosok yang begitu mengendalikan rasa benciku? Benarkah aku tidak bisa membalikkan rasa ini ke arah yang berlawanan? Betapa aku sangat-sangat berharap bisa mencintaimu, my sister-in-law.  

Thursday, November 12, 2009

Aku, Hutang, dan Uang

Hari ini aku mau merayakan sesuatu. Bukan dengan makan-makan tetapi dengan mengabadikannya dalam tulisan ini. Kamis, 13 November 2009, 08.00 WIT, aku ke BNI untuk melunasi kredit yang kami ambil ketika memulai toko buku kami. Jumlahnya mungkin tidak besar bagi para pebisnis lainnya, tetapi bagi kami yang benar-benar memulai segala sesuatunya dari nol, Rp 65.000.000,- adalah nominal yang cukup membuat kami harus bekerja keras dan tidur tidak nyenyak. Yah, itulah yang aku rasakan selama 34 bulan yang lalu. Sambil mencetak rekapitulasi pembayaran tiap bulan aku memandang lembar demi lembar kopi slip setoran yang aku simpan rapi dalam folder. Rasanya tak percaya bahwa kami sudah berhasil mengembalikan modal awal toko buku ini. Dari yang aku baca di buku-buku bisnis, break even point (BEP) suatu bisnis yang baik adalah maksimal 36 bulan. Jika kami bisa mengembalikannya dalam waktu 34 bulan berarti toko buku kami tidak jelek kinerjanya. Kalau ditambah dengan nilai buku-buku yang masih ada di toko, buku-buku yang masih dalam pengiriman, dan uang tunai yang kami miliki, aku merasa bersyukur.


Merenungkan tentang modal (=uang) membawa pikiranku kembali ke masa-masa lalu. Aku ingat suatu kejadian ketika aku masih duduk di taman kanak-kanak, saat pertama kali aku mengenal uang. Suatu hari aku membawa 4 keping Rp 25,- dan menunjukkannya kepada ibu seorang temanku. Dengan lugu aku bertanya,”Ini berapa?” Ibu itu menjawab,”Rp 100,-.“ Aku terkejut. Bagiku yang masih berumur 4 tahun Rp 100,- sangatlah besar. Kalau dibelikan es ganefo bisa dapat 10 biji. Sejujurnya uang itu aku ambil diam-diam dari dompet mama dan sebenarnya aku tidak berniat ‘mencuri’ sebanyak itu. Lalu diam-diam aku kembalikan 3 keping dan hanya menggunakan 1 keping Rp 25,- untuk jajan. Semakin besar, aku semakin mengerti bahwa dengan uang aku bisa membeli banyak hal yang aku inginkan. Orang tua mengajarku untuk menabung dulu jika ingin membeli sesuatu. Aku pun bersaing dengan adikku (laki-laki) dalam memperbesar jumlah tabungan.. Sejak SD sampai SMA nilai tabunganku selalu lebih sedikit daripada tabungan adikku. Mungkin penyebabnya karena aku lebih tidak tahan godaan untuk berbelanja daripada dia. Pernah suatu kali kami ingin memiliki sepeda roda dua yang agak besar. Istilahnya ketika itu sepeda mini. Harga sepeda yang kami incar Rp 65.000,-. Tabunganku hanya Rp 20.000,- dan sisanya – yang lebih besar – adalah tabungan adikku. Biarpun begitu aku tetap merasa berhak 50% atas sepeda itu. Ha ha ha. Karena tahu bahwa adikku mempunyai tabungan, aku sering meminta bayaran darinya jika dia memintaku menyelesaikan tugas menggambarnya. Sampai suatu hari papa menasihatiku untuk tidak berbuat begitu. Kata-katanya yang aku ingat sampai sekarang adalah : “Berikanlah dengan cuma-cuma apa yang kamu dapatkan secara cuma-cuma.” Hatiku tersentuh. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi meminta bayaran jika membantu adikku.


Aku mulai berkenalan dengan kartu kredit pada akhir masa kuliah ketika aku sudah mendapatkan pekerjaan sampingan sebagai tentor siswa SMP dan SMA. Papa memberiku kesempatan untuk memakai fasilitas kartu tambahan dari kartu utama miliknya. Tentu saja dengan wanti-wanti agar aku tidak sembarangan menggesek kartu itu jika tidak benar-benar perlu. Aku merasa bangga sekali bisa mengantongi kartu kredit. Serasa menjadi konglomerat walau sebenarnya aku masih konglomelarat. Ha ha ha…. Aku memakai kartu kredit lebih banyak pada saat membeli baju-baju. “Kan bisa bayar mundur,”pikirku yang saat itu sudah sangat ngebet beli baju tetapi belum ada uang tunai yang cukup. “Bulan depan aku bayar dengan gajiku.” Kok aku bisa begitu yakinnya saat itu kalau bulan depan pasti dapat gaji, ya? Sekarang aku mengenali ini sebagai kebiasaan menggunakan uang yang belum ada di tangan. Menurut para ahli keuangan, kebiasaan ini adalah kebiasaan paling menjerumuskan ke dalam hutang kartu kredit. Untungnya aku bukanlah orang yang terlalu berani mengambil resiko. Aku selalu melunasi tagihan kartu kreditku walaupun aku tahu gajiku di bulan berikutnya tidak akan cukup untuk keperluan sebulan. Aku ngeri dengan ancaman papa bahwa kartu kreditku akan dicabut jika aku sampai tidak bisa membayar hutang. Aku merasa tidak pede berjalan tanpa kartu kredit, waktu itu. Seingatku aku termasuk pembayar hutang yang baik, deh. He he he.


Mungkin karena sering berbelanja dengan kartu kredit, jumlah tabunganku tidak pernah tembus angka Rp 3.000.000,-. Entah bagaimana walaupun sudah bekerja di perusahaan dan tetap menjadi tentor pada sore hari aku selalu merasa dalam kondisi krisis keuangan. Kalau pinjam istilahnya orang Manokwari : uang serasa tiba-berangkat. Artinya banyak masuk tetapi banyak juga yang harus dikeluarkan sehingga yang tersisa tidak banyak. Untungnya aku tidak suka berhutang pada teman-teman karena malu dan juga karena aku sendiri tidak suka memberi pinjaman (aku tidak berbakat menjadi rentenir atau membuka bank perkreditan). Kalau kepepet masalah financial biasanya aku berhutang ke mama atau adikku. Itulah untungnya mempunyai saudara gemar menabung. Ketika akan menikah, tabunganku hanya Rp 2.500.000,- dan hanya cukup untuk menyewa gaun dan biaya rias pengantin.


Memiliki suami membuatku harus ‘bercerai’ dengan kartu kredit. Kartu kreditku aku kembalikan ke papa. Selain itu aku malas untuk memiliki sendiri karena suamiku – yang lahir besar di kota kecil dan belum pernah merasakan nikmatnya jerat kartu kredit – sudah membaca tentang resiko memiliki kartu kredit dan memutuskan bahwa kami akan berbelanja dengan uang tunai. Sungguh Tuhan tahu suami seperti apa yang aku butuhkan. Konsekuensinya kami hanya berbelanja sesuai uang tunai yang kami miliki. Bahkan kami pernah hanya memiliki sebuah handphone – yang lebih banyak aku pegang – karena suamiku tidak mau membeli handphone secara kredit. Hasilnya, sejak hidup bersama suami, aku tidak lagi berada dalam krisis keuangan seperti dulu. Bukan karena suamiku seorang jutawan tetapi karena aku tidak pernah lagi berbelanja dengan uang yang belum aku miliki.


Kemarin malam aku dan suamiku berbincang-bincang tentang keuangan kami. Kami sudah sepakat untuk tidak mengambil kredit lagi. Kami akan mempergunakan keuntungan dari toko untuk mengembangkan usaha. Tentu saja kami harus merencanakan dengan teliti pengeluaran kami. Dari suamiku aku belajar untuk berpikir 10 x sebelum membeli sebuah barang konsumtif. Bahkan saat ini kami belum membeli kendaraan pribadi karena selain belum menjadi kebutuhan mendesak kami juga belum mau menambah pos pemeliharaan kendaraan dalam pengeluaran kami. Komputer yang kami miliki masih satu unit saja dan komputer ini bekerja untuk transaksi, promosi, dan administrasi toko, serta melayani kebutuhan kami berdua, menulis dan berinternet ria. Thanks to our tough computer.


Aku masih menganggap uang itu penting untuk menunjang kehidupanku karena uang bisa membeli banyak hal. Aku pun menyetujui saran Pak Robert K yang mengatakan bahwa kita harus membuat uang bekerja untuk kita. Bagaimana caranya aku membuat uang bekerja untukku? Langkah awalnya adalah aku harus bisa mengendalikan aliran uang yang datang padaku, mengaturnya sedemikian rupa sehingga pada saat uang itu datang dan pergi, jumlah yang tertinggal masih cukup berarti.


Menuruni tangga-tangga BNI setelah melunasi hutang kredit membuat langkahku menjadi ringan. Beban di kepala dan bahuku terlepas sudah. Bulan depan aku tidak ada jadual ke BNI lagi. Sssttt….. rasanya sebelas duabelas dengan orgasme…… ha ha ha……

Tuesday, November 3, 2009

Belajar Memilih

Sejujurnya aku iri kepada anak-anak yang lahir di abad XXI. Di era informasi ini para orang tua terutama ibu-ibu mendapatkan banyak masukan tentang bagaimana membesarkan anak. Seorang ibu muda di Jakarta, Ibu Imelda, adalah salah satu contohnya. Sejak buah hatinya, Arvind, berusia sekitar satu tahun, Ibu Imelda sudah memperkenalkan kartu dan poster berisi gambar, warna, huruf, dan angka. Berdasarkan penelitian, seorang anak sudah bisa diajar mengenal huruf sejak batita, bahkan ketika masih bayi. Ibu Imelda memberitahuku bahwa semenjak rutin menggunakan kartu dan poster itu Arvind mendapatkan beberapa keterampilan seperti mengenal benda, warna, dan sudah bisa memilih. “Bisa Memilih”. Secara tidak langsung Ibu Imelda sudah melatih Arvind untuk belajar memilih. Sungguh beruntung Arvind lahir di tahun 2000-an dan memiliki seorang ibu yang mau terus meningkatkan pengetahuan tentang membesarkan anak.


Menurutku keterampilan memilih adalah satu-satunya harta pribadi manusia yang tidak pernah bisa dicuri orang lain. Aku membayangkan ketika Sang Pencipta menciptakan alam semesta ini, Dia sudah menentukan aturan bagi perputaran tiap-tiap planet dan bintang, menanamkan insting pada hewan kapan makan, kapan kawin, kapan melindungi anak, kapan mengusir anak pergi dari sarang, kapan lari dari pemangsanya tetapi untuk manusia, Sang Pencipta menambahkan satu hal yaitu kehendak bebas. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa memilih untuk mencintai atau membenci Sang Pencipta, untuk menghargai atau menyia-nyiakan alam semesta, untuk menjalani hidup dengan bersyukur atau dengan berkeluh kesah. Seandainya aku menjadi Sang Pencipta, tentu aku tidak berani mengambil resiko ini. Syukurlah Dia bukan seperti aku.


Namun sangat disayangkan, banyak manusia tidak bisa menghargai kehendak bebas orang lain, terutama anak-anaknya. Mungkin karena takut si anak membuat pilihan yang salah atau tidak mau repot menunggu anak menentukan pilihan. Orang tua baru memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih ketika si anak memberontak. Pada umumnya terjadi di usia remaja. Aku teringat pengalamanku sendiri. Orang tuaku, terutama ibuku, sering memilihkan sesuatu untukku. Alasannya karena tidak mau repot menunggu aku berpikir memilih yang mana. Ketika akan membelikanku pakaian ibu langsung mencobakannya padaku dan melihat apakah cocok atau tidak. Biasanya pakaian yang dibelikan untukku berwarna merah, merah muda, kuning, orange. Pernah suatu kali aku meminta pakaian berwarna biru, hijau, hitam, dan ibuku menolaknya dengan alasan warna-warna itu tidak cocok untukku. Sebagai seorang anak kecil aku terpaksa menurut daripada tidak mendapat baju baru. Ketika aku harus memilih jurusan di SMA, orang tuaku menyerahkan sepenuhnya padaku karena hal ini sudah di luar jangkauan mereka. Begitu pula dengan jurusan di universitas, pekerjaan, dan pasangan hidup, walaupun mereka tetap memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pilihanku.


Aku menyadari bahwa memilih bukanlah proses yang mudah karena ada konsekuensi yang mengikuti di setiap pilihan yang aku ambil. Aku setuju jika seorang anak harus dilatih untuk memilih sejak kecil supaya mereka menyadari bahwa setiap pilihan mengandung konsekuensi. Memang ini menuntut kesabaran orang tua jika suatu saat anak membuat pilihan yang salah dan terpaksa memikul akibat yang kurang menyenangkan. Semakin dini anak dilatih memilih – ketika pilihannya masih sangat terbatas – semakin mudah orang tua membereskan keadaan jika terjadi kesalahan. Si anak pun niscaya akan semakin mahir memilih.


Sampai sekarang aku masih belajar memilih. Rupanya ini proses seumur hidup. Pilihan yang harus aku ambil saat ini bukan lagi didominasi untuk memilih benda-benda. Memang aku masih harus memilih benda-benda tetapi ini bukan lagi sesuatu yang sulit karena aku sudah cukup dewasa untuk memilih yang menurutku terbaik. Yang masih merupakan struggle adalah memilih untuk tetap mengasihi ketika aku dibenci, mengampuni ketika aku dihina, tetap berharap ketika aku cemas, tetap memiliki sukacita ketika kesedihan datang dan tetap bersyukur ketika hidup tidak seperti yang aku harapkan. Memilih apa yang mau aku masukkan dalam pikiran dan hatiku dan apa yang harus aku anggap sebagai sampah batin dan aku buang.


Memilih memang tidak pernah mudah tetapi aku bersyukur karena anugerah ini tidak pernah diambil dariku selama nafasku masih ada. Aku yakin aku selalu punya pilihan untuk mewarnai hidupku.

Saturday, October 24, 2009

Gempa Keempatku

Kemarin malam, 23 Oktober 2009, sekitar pukul 20.15 BTWI, aku mengalami gempa – cukup besar – ku yang keempat. Cukup besar bagiku artinya berkekuatan sekitar 6 – 7 SR. Saat itu aku baru selesai mencuci piring makan malamku dan hendak menyikat gigi. Odol sudah kuoleskan pada sikat dan tiba-tiba aku dikejutkan oleh lantai yang bergetar hebat. Aku segera tahu itu gempa. Suamiku berteriak-teriak memanggilku untuk keluar. Secara refleks aku berlari sambil tetap membawa sikat gigi di tangan. Susah sekali ketika aku harus berlari di atas tanah yang bergerak Tanah bergoyang tidak terlalu lama, sekitar 15 detik saja.. Di halaman sudah berkumpul anggota keluarga yang lain dan beberapa orang tetangga. Buku-buku di toko sampai berhamburan di lantai walaupun tidak semua. Setelah gempa benar-benar berhenti aku segera masuk ke dalam untuk mengembalikan sikat gigi.. Kami menunggu di halaman sampai pukul 21.30 BTWI kalau-kalau terjadi gempa susulan. Ternyata tidak ada. Syukurlah malam itu kami tidak perlu tidur di halaman.


Meskipun banyak orang bilang bahwa kota Manokwari sering mengalami gempa, aku baru mengalaminya satu tahun setelah kepindahanku ke sini yaitu tahun 2007. Aku baru selesai memasak saat itu. Gempa berlangsung sekitar hampir 1 menit dengan getaran seperti ayunan ombak. Aku benar-benar terkejut seperti kiamat sudah datang. Sambil berdiri di halaman dan berpegangan pada suamiku, aku berdoa memohon pertolongan Tuhan berulang kali. Sampai gempa berhenti pun aku masih gemetar dan tidak berani masuk ke dalam rumah.


Gempa – cukup besar – ku yang kedua terjadi pada pertengahan tahun 2008. Kalau tidak salah ingat aku juga sedang berada di dapur. Sementara duduk di kursi. Mula-mula aku merasa telapak kakiku bergetar ringan lalu semakin keras. Tanpa diperintah lagi aku lari keluar. Ketika aku kembali ke dalam rumah beberapa piring yang tadinya ada di meja sudah berada di lantai. Untungnya piring-piring itu bukan dari beling sehingga tidak pecah. Aku masih terkejut tetapi tidak sampai trauma seperti yang pertama.


Suatu minggu pagi, 4 Januari 2009, sekitar pukul 04.45 BTWI ketika sebagian besar orang masih tidur dengan pulas tanah kembali bergoyang dan memaksa orang-orang di Manokwari untuk berlari keluar rumah. Bisa dibayangkan betapa kagetnya kami karena dari posisi tidur langsung harus berlari. Aku dan suami berlari dalam gelap menuju pintu rumah. Aku bisa mendengar suara asbes atap rumah yang bergetar cukup hebat dan menimbulkan suara-suara mengerikan. Untuk membuka pintu suamiku memerlukan waktu kira-kira 3 detik tetapi rasanya seperti berjam-jam. Gempa hanya berlangsung sebentar. Karena pagi itu aku ke akan ke gereja pukul 07.15 maka aku segera mandi dan bersiap. Di gereja belum terlalu banyak orang. Sambil menunggu misa di mulai aku berbincang-bincang dengan seorang kawan tentang pengalaman gempa pagi tadi. Tidak disangka tiba-tiba tanah bergetar lagi dengan kekuatan lebih besar dari sebelumnya, menurut info sekitar 7.2 SR. Umat yang ada di dalam gereja langsung berlarian keluar. Kami sempat bergoyang bersama tanah beberapa detik. Di kejauhan tiba-tiba terlihat seperti asap putih naik ke udara. Ternyata Hotel Mutiara runtuh. Misa tidak jadi dilaksanakan dan kami pulang ke rumah masing-masing. Akibat gempa itu ada 2 hotel runtuh. Kami beruntung karena tidak ada korban jiwa akibat runtuhnya ke dua hotel tersebut. Malahan pemilik Hotel Mutiara sudah berencana untuk merobohkan hotelnya dan akan membangun yang baru tetapi terhambat masalah dana yang katanya hampir sama dengan biaya membangun gedung baru. Alam bermurah hati membantunya merobohkan hotel itu. Aku masih terkejut dan takut kalau tejadi gempa ketika sedang mandi. Seorang sahabat menyarankan aku untuk selalu membawa handuk ukuran besar kalau mandi. Ide yang bagus.


Suatu hari aku membaca sebuah wawancara dengan Pater Tromp (seorang pastur berkebangsaan Belanda yang sudah bertahun-tahun melayani di Papua) di Buletin Keuskupan Manokwari-Sorong entah edisi bulan apa di tahun 2009. Dalam wawancara itu Pater Tromp menjelaskan arti gempa dalam bahasa asli masyarakat Arfak (orang Papua yang tinggal di daerah kepala burung). Gempa atau tanah goyang bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat asli Papua yang masih tinggal di pedalaman. Tanah yang bergoyang adalah anugerah karena membuat buah-buahan masak berjatuhan dari pohon sehingga hewan-hewan liar seperti babi hutan bisa mendapat makanannya tanpa perlu merusak ladang. Orang-orang Papua bisa mendapatkan makanan tambahan berupa buah-buahan segar. Setelah gempa biasanya banyak ibu-ibu akan hamil. Mungkin karena berlimpahnya buah-buahan membuat mereka sehat dan bergairah. Karena rumah tradisional mereka – honei atau rumah kaki seribu – terbuat dari kayu, orang Papua tidak takut rumah-rumah itu akan roboh menimbun mereka. Bagi masyarakat pantai, jika terjadi tsunami, mereka akan mengungsi sementara ke tempat yang lebih tinggi dan akan kembali untuk memperbaiki atau membangun rumah berlabuh mereka yang rusak atau hanyut dibawa gelombang.


Setelah memahami konsep gempa bagi masyarakat tradisional Papua aku mulai mengubah pola pikirku tentang gempa. Aku sadar selama aku tinggal di Indonesia yang terletak dalam The Ring of Fire atau jalur gempa, gempa tidak terhindarkan. Sebenarnya jarang sekali gempa itu sendiri membunuh manusia seperti banjir atau lahar gunung berapi. Memang ada gempa yang menyebabkan tanah terbelah dan manusia di atasnya terkubur hidup-hidup tetapi hal itu amat jarang terjadi. Yang membunuh manusia adalah bangunan – hasil karyanya sendiri – yang roboh menimpa atau menimbunnya ketika gempa terjadi. Bangunan yang hanya terdiri dari batu bata tanpa tiang-tiang kayu atau besi baja sebagai pengikat di dalamnya. Bangunan yang didirikan tanpa perhitungan cermat bahwa tanah di bawahnya tidak pernah stabil.


Selain mengejutkan, gempa yang pernah aku alami selalu menjadi momen-momen berkumpulnya keluarga dan tetangga. Begitu gempa terjadi kami semua akan saling memanggil dan berlari ke halaman. Setelah gempa berhenti pun kami masih berkumpul, berbincang-bincang, bahkan jika masih takut untuk masuk ke rumah kami akan menggelar kasur dan tidur di halaman bersama-sama (mengingatkanku pada acara berkemah waktu masih jadi anggota Pramuka). Lalu kami akan saling bertelepon untuk menanyakan kabar keluarga dan teman yang tinggal agak jauh. Gempa membuat kami menyadari bahwa kami sudah cukup lama kurang berkomunikasi dam memikirkan satu sama lain. Gempa yang sering terjadi di Manokwari adalah peringatan alam bagi manusia untuk kembali memikirkan apa yang lebih penting daripada sekedar mengeruk kekayaan tanah Papua sebanyak-banyaknya, yaitu keluarga, tetangga, teman, sesama manusia. Bukankah ini berkat? Aku kira begitu.



Thursday, September 24, 2009

Doa Pagi

Sudah seminggu ini sejak hari Senin aku pergi ke gereja – di dekat rumahku - pada pukul 06.00 WIT dan kembali ke rumah pukul 06.30 WIT. Jika ada misa aku ikut. Tetapi jika tidak ada misa aku ber-Rosario di gua Maria. Alam di sekitarku masih sunyi dan sejuk. Hanya terdengar kicauan burung sementara matahari baru menampakkan terangnya yang lembut.

Hatiku terpanggil untuk mendekat pada Tuhan bukan karena aku sedang menginginkan sesuatu. Aku hanya ingin dekat denganNya. Ingin mengerti isi hatiNya. Supaya aku bisa mengikuti rancangan-rancanganNya yang bagaikan langit dan bumi dengan keinginan hatiku.

A Morning Prayer

By Lisa TerKeurst

Lord, may nothing separate me from You today.

Teach me how to choose only Your way today so each step will lead me closer to You.

Help me walk by the truth and not my feelings.

Help me to keep my heart pure and undivided.

Protect me from my own careless thoughts, words and actions.

And keep me from being distracted by MY wants, MY desires, MY thoughts on how things should be.

Help me to embrace what comes my way as an opportunity...rather than a personal inconvenience.

And finally, help me to rest in the truth of Psalm 86:13a, "Great is your love toward me."

You already see all the many ways I will surely fall short and mess up.

But right now, I consciously tuck Your whisper of absolute love for me into the deepest part of my heart.

I recognize Your love for me is not based on my performance.

You love me warts and all.

Have mercy, that's amazing.

But what's most amazing is that the God of the Universe, the Savior of the world, would desire a few minutes with me this morning.

Lord, help me to forever remember what a gift it is to sit with You like this. Amen.

Wednesday, September 23, 2009

Bisa Memasak Itu Anugerah

Memasak adalah suatu pekerjaan yang mampu menghadirkan keajaiban. Dari bahan baku mentah yang sangat sulit untuk dikonsumsi langsung, manusia bisa mengubahnya menjadi hidangan yang mengundang selera. Seperti siang itu, aku duduk di meja makan, menatap ikan goreng, sup brenebon, tumis kangkung, dan sambal terasi yang lahir dari tangan-tanganku. Walaupun sudah bisa menduga bagaimana hasil akhir dari masakanku, aku tetap saja tertegun kagum ternyata aku salah satu dari pembuat keajaiban itu.


Belajar memasak adalah proses yang mendewasakan bagiku karena di dalamnya terdapat air mata kesedihan, kekecewaan, sakit hati, kegembiraan, antusiasme, dan kebanggaan. Entah mengapa almarhumah ibuku tidak mendekatkan aku pada dapur. Seingatku, ibu selalu berusaha memasak bagi kami sekeluarga setiap hari. Bahkan di hari-hari istimewa ibuku membuat cake yang lezat. Ketika aku masih di sekolah dasar, aku senang membantunya memasak atau membuat kue. Semakin dewasa aku semakin jarang masuk dapur. Mula-mula disebabkan oleh jadual sekolah, kuliah, dan pekerjaan yang begitu menyita waktuku sehingga aku hanya ingin makan dan beristirahat begitu tiba di rumah. Rupanya ibu menganggap bahwa perempuan yang bisa mengenyam pendidikan universitas dan bekerja di kantor tidak harus bisa memasak karena masuk dapur identik dengan kulit tangan kasar dan kuku kusam. Saat itu aku setuju.


Aku tidak merasa ketidakmampuanku memasak merupakan suatu kekurangan yang harus aku perbaiki karena selama ini teman-temanku juga tidak ada yang jago memasak. Semuanya jago makan saja. Aku juga tidak pernah menutupi bahwa aku belum bisa memasak. Termasuk kepada mantan pacarku (yang sekarang jadi suamiku) aku berterus terang. Saat itu dia hanya menjawab : kamu kan bisa learning by doing. Ah, kata-katanya seperti embun sejuk di pagi hari. Aku tidak tahu pasti apakah dia memang yakin aku bakal bisa memasak ketika sudah menjadi istrinya atau hanya untuk menghibur diriku. Tetapi dia belum menyadari kata-kata itu membawanya menjadi ‘kelinci percobaan’ rasa masakanku di kemudian hari.


Tahun-tahun awal pernikahan kami habiskan di kota Malang, Jawa Timur. Kami tinggal dekat sebuah sekolah tinggi ilmu ekonomi dan kompleks sekolah katolik di mana warung-warung makan tersebar di berbagai penjuru. Aku sudah mulai belajar memasak dari majalah dan buku-buku resep. Tetapi sering kali masakanku tidak lolos sensor lidah suamiku. Jika sudah demikian dia akan mengajakku makan di warung atau depot atau restoran kalau kami baru gajian. Untung harga makanan di Malang termasuk murah meriah. Sambil makan biasanya aku berpikir kenapa aku masih gagal menghasilkan masakan yang enak padahal semua langkah di buku resep sudah aku ikuti sampai titik komanya? Belakangan baru aku ketahui bahwa buku-buku resep, mayoritas, diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah terbiasa memasak bukan untuk pemula sepertiku. Banyak trik-trik dan sifat-sifat bahan makanan yang belum aku pahami. Seperti ketika aku mencoba resep nasi goreng selalu terjadi salah satu dari dua hal ini: nasi terasa basah karena minyak goreng kebanyakan atau nasi kering sampai lengket di wajan. Masakanku tidak bisa masuk ke mulut tapi masuk ke tong sampah. Seharusnya aku melihat secara langsung orang memasak terlebih dulu sebelum mempraktekkannya.


Karena satu dan lain hal suamiku memutuskan bahwa kami harus pindah ke kampung halamannya, Manokwari. Tinggal bersama ayah, ibu, kakak, kakak ipar, dan adik-adiknya. Ditambah sepupu dan pekerja, orang-orang di rumah ini kira-kira ada 10 jumlahnya. Ibu mertuaku jago masak. Adik perempuan suamiku yang lebih muda 8 tahun dariku sudah terbiasa memasak untuk banyak orang. Istri kakak iparku juga bisa diandalkan dalam memasak. Di samping itu pembantu rumah ini yang datang dari kampung di Minahasa sehari-hari bertugas memasak. Semua wanita di rumah tidak menemui kesulitan dalam menyiapkan makanan, kecuali aku. Kenyataan ini membuatku terserang rendah diri akut. Aku semakin takut masuk dapur. Ibu mertuaku tidak terlalu mempermasalahkannya karena beliau mengerti latar belakangku tetapi pandangan dan komentar merendahkan sering terlontar dari pihak ipar-iparku. Seolah-olah aku hanya menjadi benalu di rumah. Tukang makan tapi tidak mau memasak. “Dewi memang perempuan intelek, tapi kalau tidak bisa masak buat apa.” Sebenarnya aku ingin belajar memasak dari mereka tetapi aku terlalu malu jika sampai melakukan kesalahan di depan mereka. Aku berharap memiliki dapur sendiri supaya aku bisa belajar memasak tanpa takut dicemoohkan.


Rupanya Tuhan mendengar doaku. Akhirnya aku dan suamiku menempati bagian rumah yang terpisah lengkap dengan dapur dan kamar mandi sendiri. Aku bersorak kegirangan. Tiba-tiba aku menjadi ratu di dapurku sendiri. Aku mulai mempraktekkan resep demi resep. Kesalahan demi kesalahan aku lakukan tetapi aku tahu bahwa dalam memasak berlaku practice makes perfect. Jika masakanku kurang berkenan di lidahnya, suamiku hanya meminta menu tambahan semangkuk mie instan. Apapun rasa masakanku, rasa mie instan bisa menutupi kekurangannya. Semakin lama, permintaan tambahan mie instan semakin berkurang karena aku semakin mengenal seleranya. Saat-saat memasak membuatku mampu melupakan waktu yang berlalu seolah-olah aku sedang mengadakan percobaan di laboratorium sains. Ilmu kimia, fisika, matematika, biologi, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris bisa diterapkan di dapur. Jika ditambah dengan semangat mengekplorasi dan kreativitas maka jadilah keajaiban yang memberi sensasi di lidah dan menguatkan badan. Buku-buku resepku sudah cukup banyak. Melaluinya aku belajar membuat masakan Manado, masakan Jawa, Chinese food, kue-kue tradisional dan masakan-masakan yang aku tidak ingat asalnya. Sekarang waktu yang aku butuhkan untuk memasak kian singkat. Jika dulu aku harus membaca resep berulang-ulang agar mengerti – ini yang menghabiskan waktu - sekarang aku hanya membaca tiga kali untuk resep baru, satu kali untuk resep yang sudah pernah aku praktekkan dan tidak perlu membaca lagi untuk masakan yang sering aku masak.


Aku bersyukur, walaupun agak terlambat, aku bisa memasak. Kemampuan memasak sangat tinggi nilainya di kota Manokwari. Tidak heran jika harga makanan di warung kecil bisa dua kali lipat harga di Jawa. Aku mendisplin diriku untuk memasak setiap hari karena dengan memasak aku mendapatkan keuntungan ganda yaitu penghematan dan bertambahnya kebanggaan diri. Aku akan memasak sampai tua karena bisa memasak itu anugerah.

PRESTASI

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa bangun pagi dengan hati bersyukur

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa semakin mengasihi diriku sendiri

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa mengarahkan pikiranku pada kebajikan

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa melayani keluargaku dengan kasih

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa mengerjakan tugas-panggilanku dengan gembira

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa menyayangi orang lain sebagaimana adanya mereka

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa menjawab dengan sabar orang yang sedang marah

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa menggunakan uang secara bijaksana

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa merasakan keajaiban-keajaiban kecil yang hadir setiap hari

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa tidak gugup, marah, atau sedih melihat orang lain mendapatkan apa yang aku sendiri inginkan

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa memaafkan masa lalu, mensyukuri hari ini, dan mengharapkan yang terbaik pada hari esok

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa tidak membandingkan diriku dengan siapapun juga

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa menemukan diriku lebih baik daripada diriku sebelumnya

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa merasakan bahwa Tuhan sayang padaku

Saturday, September 19, 2009

Mutiara Hidupku

Orang-orang yang biasa aku temui sering kulihat memiliki kegelisahan. Ketidaktenangan jiwa yang berusaha mereka tenangkan dengan berbagai rutinitas dan kesibukan sehari-hari. Jika sedang bekerja, mereka berharap akhir pekan segera tiba. Ketika berada di akhir pekan pun orang-orang itu tidak terlalu menikmati karena besok sudah harus bekerja kembali.

Liburan panjang adalah hari-hari yang mereka tunggu. Banyak rencana yang sudah dibuat untuk menyegarkan kembali jiwa dan raga setelah penat dan jenuh bekerja. Tetapi ketika hari-hari libur itu tiba dan berlalu dengan kecepatan yang tidak pernah diduga, kesegaran jiwa dan raga tidak jua dicapai. Yang ada hanyalah kelelahan karena baru pulang dari bepergian ke tempat-tempat yang jauh.

Pekerjaan yang mereka jalani sekarang bagi mereka adalah pekerjaan ‘terpaksa’ yang suatu saat akan mereka tinggalkan jika : mendapat pekerjaan yang membayar mereka lebih baik, pensiun, PHK, atau mati. Sungguh suatu kondisi yang menyedihkan, orang-orang ini menyerahkan 8-9 jam waktu mereka dalam sehari untuk suatu kegiatan yang sebenarnya tidak ingin mereka lakukan. Apa bedanya dengan kerja paksa di jaman penjajahan ya? Ada beberapa orang yang berani mengambil tindakan ekstrim dengan tetap dalam kondisi sebagai ‘pengacara’ a.k.a pengangguran banyak acara dengan alasan belum mendapat pekerjaan yang sesuai minat mereka. Biasanya yang termasuk dalam golongan ini adalah para lajang atau suami istri yang pasangannya juga bekerja dan belum memiliki anak-anak atau orang-orang yang memiliki orang tua murah hati yang tidak berkeberatan ditumpangi tidur dan makan.

Setiap hari mereka bangun dengan kekesalan di hati karena harus pergi ke tempat dan mengerjakan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu mereka minati. Mereka menggunakan rasa tanggung jawab kepada keluarga sebagai pendorong yang membuat mereka mampu bangun dari ranjang dan segera bersiap untuk bekerja. Meskipun dalam hati mereka berharap bahwa anak-anak segera dewasa dan mandiri sehingga mereka tidak perlu lagi bekerja keras membiayai anak-anak itu.

Jawaban dari pertanyaan : di mana aku mendapatkan kepuasan hidup? terus-menerus berdengung dalam hati orang-orang malang ini. Mengapa tidak ada tempat yang bisa membuat mereka benar-benar hadir tubuh, jiwa, dan roh seutuhnya sehingga mereka tidak lagi memimpikan negeri di awan yang lain? Salah satu dari orang-orang itu adalah aku.

Pada saat aku berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana teknik seharusnya aku puas. Tetapi kenyataannya aku merasa kosong dan tidak memiliki kemampuan apa-apa untuk bekerja di bidang ini. Seperti para sarjana yang lain aku mulai mengirimkan CV dan surat lamaranku ke berbagai perusahaan yang menayangkan iklan lowongan kerja mereka. Ketika mendapatkan pekerjaan itu aku hanya merasa senang sekitar 4-6 bulan. Setelah itu rasa jenuh mulai merasuki hatiku dan aku kembali bertanya : adakah tempat yang lebih baik di luar sana? Aku kembali mengirimkan CV dan surat lamaran ke institusi lain. Walaupun akhirnya aku berhasil pindah, siklus kejenuhan itu kembali melanda. Bagaikan hidup dalam kutukan yang aku tidak tahu kapan akan berakhir. Aku bekerja karena aku merasa harus membiayai hidupku sendiri agar orang lain tidak memandang rendah diriku. Meskipun ruang kosong dalam hatiku terus-menerus menganga, haus akan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu bagaimana memuaskannya.

Saat ini aku mengelola sebuah toko buku kecil (berukuran 6 x 10 m), di sebuah kota kecil (berpenduduk sekitar 150.000 jiwa), di daerah yang bisa digolongkan terpencil di wilayah Indonesia (Manokwari, Papua Barat). Sebuah pekerjaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku bekerja mulai jam 09.00 – 13.30 WIT dan dilanjutkan pukul 16.00 – 21.30 WIT didampingi pasangan hidupku. Dari Senin sampai Sabtu dilanjutkan hari Minggu buka sore hingga malam saja. Suatu durasi kerja yang melampuai jam kerja standard para karyawan. Tidak ada istilah libur akhir pekan, libur lebaran, libur natal – tahun baru, libur imlek, libur paskah dan libur-libur yang lain. Toko kami buka terus. Tetapi aneh bin ajaib aku, pribadi, tidak merasa jenuh dan penat. Aku betah berjam-jam di toko, mengelap debu yang menempel di buku-buku, mengatur susunan buku-buku di rak sambil berdoa untuk buku-buku yang sudah lama terpajang di rak tetapi belum laku - seolah-olah aku berdoa bagi gadis-gadis agar segera mendapatkan jodoh mereka. Aku menikmati sebagai kasir melihat pengunjung menemukan buku-buku yang mereka butuhkan dan membayar tanpa ragu-ragu agar bisa membawa pulang sumber pengetahuan tersebut. Sering ku dapati diriku tersenyum kegirangan ketika berkoli-koli buku baru tiba. Sementara aku membuka karton-karton besar itu aku seperti membuka kotak ajaib yang akan memunculkan berbagai kejutan. Aku bersyukur karena saat ini aku bisa membeli buku dalam jumlah besar, membaca yang ingin aku baca, dan tetap bisa menghidupi diriku serta keluargaku. Pada saat aku bekerja di toko buku aku merasakan Sang Pemberi Hidup Maha Bijaksana hadir yang secara ajaib memberitahukan apa yang penting untuk aku lakukan pada hari itu dan mengingatkan aku ketika ada langkahku yang salah. Aku menemukan surga yang tidak perlu ku cari kemana-mana. Bagiku inilah pekerjaan yang ingin aku lakukan sampai kapan pun tanpa ingin mencari yang lain. Kekosongan yang menganga dalam jiwaku lenyap sudah. Apakah ini panggilan hidupku? Aku yakin inilah tugas dan pelayanan yang harus aku kerjakan seumur hidup. Aku merasa beruntung karena aku telah menemukannya walau membutuhkan 16 tahun bagiku untuk mendapatkan mutiara ini. Permata yang terlalu berharga untuk aku sia-siakan.

Friday, August 28, 2009

Sahabatku, Oaseku (3)

Irene, biasa aku sapa Kak In, adalah seorang idealis, yang sudah bisa mengubah pola pikir sehingga bagi dia uang bukanlah ukuran keberhasilan juga bukan segala-galanya. Di sinilah titik temu aku dan dia. Berbicara dengan Kak In membuatku menyadari bahwa diriku pun bisa digolongkan idealis. Pengalaman hidup kami berdua menunjukkan bahwa kami lebih suka memilih jalan-jalan yang sukar daripada jalan-jalan yang mudah. Cenderung menempatkan diri pada kondisi yang berat, menantang tugas-tugas yang membutuhkan lebih banyak komitmen, daripada menerima kenyamanan. Dulu Kak In harus mengerjakan skripsinya lebih dari 3 tahun karena dia sengaja memilih dosen pembimbing perfeksionist dan materi yang sulit. Padahal sebelumnya Kak In sudah mendapatkan dosen pembimbing yang lebih senang mahasiswanya lulus cepat. Aku, dulu, sudah diterima di fakultas ekonomi manajemen Unair tetapi memilih belajar untuk UMPTN lagi demi bisa menjadi mahasiswa teknik ITS. Semua itu kami lakukan karena merasa tertantang untuk membuktikan bahwa dalam ukuran kemampuan, kami layak mendapat yang lebih. Kalau Bunda Teresa memilih yang sulit karena kerendahan hatinya tetapi kami berdua memilih yang sulit karena kesombongan. Buahnya adalah kami saat ini belum bisa menikmati hasil pekerjaan karena sibuk menaklukan tantangan demi tantangan yang mengaburkan fokus hidup kami. Hidup bukan lagi untuk berpetualang, itu kesadaran kami sekarang. Kami mau lebih memfokuskan energi pada apa yang sedang kami, masing-masing, kerjakan.

Kak In adalah perempuan gudang ide. Ide-idenya bagus dan banyak sampai-sampai dia tidak mempunyai cukup waktu untuk mewujudkannya. Hatinya mudah tersentuh melihat orang dalam kesulitan. Memang bukan uang yang dia sumbangkan, tetapi pikiran, tenaga, dan waktunya untuk mengatasi masalah tersebut. Ada seseorang yang mengalami kesulitan ekonomi, Kak In datang dengan ide bisnis warung makan sekaligus pendampingan. Meskipun akhirnya harus kecewa karena orang yang dibantu tidak sesemangat dirinya tetapi Kak In tidak pernah jera menyumbangkan solusi bagi orang-orang yang membutuhkan.

Bagiku, Kak In adalah partner diskusi tema-tema ‘berat’ seperti humanisme, perspektif gender, esensi kehidupan, teologi, tokoh-tokoh seperti Mangunwijaya, Henri Nouwen, Arswendo, Ayu Utami dan lain-lain. Dalam suasana santai dan ala girls talk, biasanya kami berbincang di dapurku sambil menikmati makan siang, masakanku, yang katanya bisa dia nikmati demi persaudaraan. “Kalau mau cari cita rasa ya kita makan di depot aja,” katanya.

Sebagai wanita lajang di usia yang mendekati 40, Kak In memiliki kestabilan emosi cukup bagus dalam menghadapi pertanyaan, sindiran maupun ejekan tentang pernikahan yang datang kepadanya. Sama seperti pandangannya tentang uang demikian pula tentang pernikahan, dia tidak mengikuti pendapat umum. Ketika suatu hari aku mengeluh karena tiba-tiba dilanda rasa minder karena kondisi ekonomi, Kak In mengingatkanku untuk tidak mengalami degradasi pola pikir tentang ukuran kesuksesan.

Kak In adalah jawaban doaku setelah hampir 3 tahun mencari seseorang yang bisa ‘klik’ denganku di sini. Perjuanganku seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Akhirnya aku bertemu juga dengannya, Irene, sepupu suamiku, sahabatku, oaseku.

Tuesday, August 25, 2009

Sahabatku, Oaseku (2)

Iman manusia kepada Sang Pencipta adalah bagaikan batu karang tempat berpijak ketika gelombang kehidupan menerpa. Tetapi kekuatan iman itu juga diuji oleh gelombang kehidupan. Hidup memang tidak pernah bisa diduga. Apa yang akan terjadi bisa saja tidak sesuai dengan rencana dan harapan. Suatu hari ketika tiba giliranku menerima terjangan gelombang kehidupan yang paling kuat dalam sejarah hidupku batu karangku goyah. Gelombang itu begitu tinggi sehingga batu karang tempatku berpijak tenggelam dan aku yang berdiri di atasnya seperti hendak hanyut bersama gelombang itu. Ketika aku hampir menyerah dalam kekuatan yang aku pikir melebihi kekuatanku seorang sahabat, Retno, membantuku untuk menemukan kembali imanku.

Bertemu pertama kali dengannya, ketika aku sedang berkunjung ke rumah sepupu calon suamiku, tidaklah meninggalkan kesan apapun. Yang aku tahu Retno adalah seorang aktivis organisasi PMKRI Surabaya dengan seabrek kegiatan. Bersahabat dengan seorang aktivis organisasi bukanlah pilihan yang menarik saat itu karena bagiku seorang aktivis lebih banyak ngomong daripada kerja. Ternyata itu tidak terjadi pada diri Retno. Dia seorang organisatoris matang yang mampu berkomunikasi dengan berbagai tipe orang. Kalau aku mengeluh tentang sulitnya masuk ke lingkungan baru, Retno berkata,”Wi, mengembiklah jika berada di tengah-tengah kambing dan mengeonglah jika berada di tengah-tengah kucing.” Itu nasihatnya supaya bisa diterima di tengah-tengah komunitas baru. Dan aku hanya menjawab iseng,”Bunglon dong!” Walau begitu aku bisa menyetujui saran itu.

Di balik sosoknya yang aktif dan percaya diri ternyata imannya bahwa Yesus Kristus selalu memberikan yang terbaik sangatlah dalam dan kuat. Kala itu hpnya sering penuh dengan sms-sms keluhanku yang sehari bisa sampai sepuluh kali. Jawaban-jawabannya selalu membuatku terdiam dan merenungkan hidupku.

Selain itu Retno menyarankan aku membaca buku-buku karya Tenney dan Joel Osteen yang begitu memotivasi dalam menjalani kehidupan yang sulit. Sampai dia rela meminjamkan buku-bukunya kepadaku yang tinggal di Manokwari ini. Suatu hari aku bertanya,”Kok jawaban kamu selalu pas dengan pergumulanku, sih?” Aku sering dibuatnya heran. “Karena aku bertanya dulu pada JC (Jesus Christ) sebelum menjawab,” begitu katanya.

Sedikit demi sedikit aku menemukan kembali imanku, batu karangku, yang ternyata tidak pernah hilang dari diriku. Hanya gelombang tinggi itu telah menutupinya dan mataku terlalu rabun untuk melihat apa yang tidak kelihatan walaupun sebenarnya ada.

Untuk mbak Retno (dia pernah komplain aku panggil ‘mbak’ karena gak mau keliatan tua, he he he) terima kasih telah menjadi salah satu oaseku di tengah padang gurun yang harus aku lalui. Kamu selalu mengatakan bahwa ketika kita menderita dan mendapatkan penghiburan tujuannya adalah supaya kita bisa menghibur orang lain yang mengalami kondisi yang pernah kita alami. Sekarang aku siap untuk menjadi berkat bagi orang lain seperti dulu kamu menjadi berkat buatku.

Sunday, August 23, 2009

Sahabatku, Oaseku (1)

Anita, Retno, dan Irene. Tiga orang wanita unik dengan karakter berbeda, berlatarbelakang berbeda dan berada di kota berbeda. Kesamaan mereka cuma satu yaitu suka membaca buku walaupun jenis bukunya berbeda.  Tetapi mengobrol dengan mereka adalah oase bagiku karena aku menemukan bagian diriku dalam diri mereka.

 

Anita adalah teman sekolahku di SMP. Pertama kali mengenalnya ketika kami satu kelas di kelas 1. Pembawaannya yang ceria dan heboh kala itu membuatku tidak tertarik untuk dekat dengannya. Diriku yang serius dan cenderung pendiam merasa tidak nyaman berada dekat seseorang seheboh Anita. Rupanya takdir berkata lain. Kelas 2 SMP kami sekelas lagi. Suatu hari aku dan Anita sedang menunggu angkot sepulang sekolah. Entah mengapa angkotnya lama sekali tidak datang. Lalu ada seorang tukang becak yang menawarkan jasanya kepadaku. Aku ragu-ragu. Di samping uangku tidak cukup untuk membayar, aku juga agak ngeri naik becak sendirian. Takut dibawa kabur sama tukang becaknya. Tiba-tiba Anita mengusulkan kami untuk naik becak berdua karena rumah kami searah. Aku pun setuju karena sudah lelah menunggu angkot. Dalam perjalanan yang hanya sekitar 15 menit itu aku mendapati Anita adalah seorang teman yang menyenangkan. Anaknya lucu. Sepanjang perjalanan aku dibuatnya tersenyum sampai tertawa ngakak. Itulah awalnya. Semenjak itu kami sering pulang bersama naik becak.

 

Ketika itu kami berdua sama-sama suka membaca novel detektif. Mulai dari Lima Sekawan, SPOT, Trio Detektif sampai karya-karya Agatha Christie. Aneh, diriku yang serius dan pendiam ini akhirnya bisa juga membalas lelucon-lelucon Anita. Ternyata sisi diriku yang humoris dan santai tergali ketika aku bersama Anita. Sayangnya, tamat SMP Anita harus pindah ke Jakarta. Sebelum pergi Anita sempat membuat sebuah novelette cerita detektif yang tokoh detektifnya adalah diriku. Membaca karyanya itu membuatku tertawa sampai menangis meskipun  jengkel karena dalam cerita itu aku menjadi sang detektif yang cerdik tapi  gendut karena suka makan, padahal ketika itu aku benci dibilang gendut. Persahabatan kami dilanjutkan melalui surat. Aku sangat menantikan surat-suratnya kala itu karena Anita selalu mempunyai cerita lucu tentang sekolah dan teman-teman barunya. Tetapi lama-kelamaan surat-suratnya semakin jarang dan kami pun tidak pernah berkomunikasi lagi. Aku tenggelam dalam kegiatan sekolah dan kembali menjadi seorang Dewi yang serius dan pendiam.

 

Tahun ini aku ditemukan kembali oleh Anita melalui facebook. Anita sudah menikah dan punya seorang jagoan kecil yang ganteng. Anita masih seperti yang dulu. Lucu dan heboh. Komunikasi kami kembali terjalin melalui telepon (pada jam-jam murah), sms, e-mail, dan facebook. Aku kembali menemukan oaseku. Sisi diriku yang humoris dan santai seolah hidup lagi setelah sekian tahun mati suri. Suatu hari aku ber-sms ria dengan Anita dan membahas tentang mendidik anak. Aku menulis teori-teori psikologi yang pernah aku baca. Anita membalas dengan kata-kata,”Aku mumet, Wi. Gak biasa mikir yang rumit-rumit begitu.” Jawabannya itu membuatku penasaran. Aku ini seorang yang suka berpikir rumit kok bisa dekat dengan Anita? Anita hanya menjawab,”Aku juga tidak tahu, tapi yang pasti aku nyaman dekat kamu.”  Suatu hari aku merasa sedih karena baru saja mendapat sms yang berisi pelecehan seksual dari seseorang. Aku merasa direndahkan. Aku marah sekali. Tiba-tiba Anita mengirimkan sebuah cerita lucu berjudul Sosis Man yang isinya membuatku tidak lagi merasa menjadi korban. Saat ini kami suka membahas novel-novel karya Kahlil Gibran, Paulo Coelho, Dee dan lain-lain selain saling menyemangati untuk menulis di blog masing-masing. Blog milik Anita yang baru launching minggu lalu diberinya nama : aliranrasa-natya.blogspot.com. Nama unik yang memberiku alasan untuk menggodanya.

 

Itulah Anita yang selalu ceria walau hidupnya tidak selalu mudah. Anita yang sering dibuat pusing kalau anaknya pulang membawa banyak PR dan ulangan tetapi kreatif dan sabar mengajari buah hatinya. Anita yang menjadikan menulis sebagai terapi bagi jiwanya. Anita, salah satu orang yang aku kagumi, sahabatku, oaseku.

 



Sunday, June 14, 2009

Masa Hidup

Facebook memang luar biasa. Dalam waktu singkat aku bisa kontak lagi dengan teman-teman yang sudah lama berlalu dari hidupku. Mulai dari teman SD, SMP, SMA, kuliah, teman kerja di Surabaya, di Malang dan teman-teman lain. Salah satu kegiatan yang paling aku sukai adalah saling share foto-foto zaman dulu. Rasanya takjub menyadari ternyata ada dokumentasi diriku di masa lalu yang aku sendiri tidak punyai.

 

Membandingkan foto-fotoku dari satu masa ke masa lain, aku jadi bertanya-tanya, mengapa wajahku tidak pernah sama. Ada suatu masa di mana wajaku terlihat suram, tidak cerah. Sepertinya saat itu aku sedang mempunyai masalah berat yang aku sendiri sudah tidak ingat. Tetapi aku juga menemukan foto-fotoku yang sangat menyenangkan untuk dilihat. Wajahku cerah, bersinar, optimis, pokoknya semua yang positif ada di situ. Aku juga menemukan foto-foto di mana aku terlihat tanpa ekspresi, tidak gembira tetapi juga tidak sedih. Air mukaku terlihat datar saja.

 

Aku terdorong untuk membuka kembali kenangan dalam alam bawah sadarku tentang masa-masa di foto-foto itu. Setelah merenung sejenak aku bisa kembali merasakan apa yang aku rasa pada waktu foto-foto itu diambil. Ketika aku merasa sedih, gembira, maupun biasa-biasa saja.

 

Ternyata hidupku terbagi atas dua masa yaitu pertama, ketika aku berada di antara orang-orang yang tidak terlalu peduli apakah aku ada atau tidak ada di antara mereka dan aku dapati wajahku suram, tidak cerah. Ketika aku bisa tampil dengan wajah cerah, bersinar, optimis, aku sedang berada di antara orang-orang yang positif, orang-orang yang peduli akan diriku. Suatu lingkungan yang membuat aku mampu mengeksplorasi seluruh potensiku tanpa takut. Tempat di mana aku bisa tampil apa adanya tanpa kuatir dikucilkan.

 

Tentu saja aku ingin bisa tetap berada di lingkungan yang membuat aku cerah, tetapi seringkali aku tidak bisa memilih dengan siapa saat ini aku berada. Ketika beruntung aku berjumpa dengan orang-orang yang bisa menyuntikkan semangat dan optimisme dalam diriku. Membuat aku kembali disegarkan walaupun berbincang lama dengan mereka. Tetapi sering juga aku harus berada di antara kubangan pikiran-pikiran negatif yang berusaha meracuni aku secara perlahan-lahan. Orang-orang yang membuat aku lelah walau hanya 5 menit bersama mereka.

 

Agar memenuhi rasa keadilan aku pun bertanya pada diriku sendiri, orang seperti apakah aku bagi orang lain? Orang yang bisa membuat manusia lain menjadi cerah atau malah yang membuat wajah orang-orang di sekitarku menjadi suram? Untuk ini bukan aku yang berhak menjawab, melainkan mereka yang pernah bersamaku. Tentu aku berharap orang-orang itu tidak pernah menyesali hari-hari mereka denganku.

 

Terima kasih untuk orang-orang yang telah membuat hari-hariku bersama mereka menjadi cerah dan terima kasih pula untuk orang-orang yang belum mampu menggembirakan diriku ketika aku bersama mereka. Kalian tetap adalah harta karun yang tak ternilai harganya bagi hidupku.