Friday, January 23, 2009

Arti Kedatangan Seorang Presiden

Kamis, 22 Januari 2009, merupakan salah satu hari bersejarah bagi kota Manokwari. Pasalnya pada hari itu presiden RI, SBY, berkenan hadir di Manokwari, tepatnya di pulau Mansinam. Persiapan yang dilakukan oleh pemerintah propinsi Papua Barat mulai terasa sejak seminggu yang lalu. Aku tidak tahu pasti apa saja yang dilakukan pemprov tetapi yang aku rasakan adanya aura kesibukan yang lebih tinggi daripada hari-hari biasanya. Dengung helicopter, entah milik angkatan mana, selama dua hari sebelumnya beberapa kali melintasi kota Manokwari. Di markas Polisi Militer aku melihat banyak mobil diparkir di lapangan parkir mereka. Hal yang tidak biasa terjadi. Di gereja pun pastor sudah menunjuk 20 orang wakil untuk menghadiri tatap muka dengan SBY dan mereka diminta siap pada hari kamis pukul 05.00 wit. Entah kenapa aku bersyukur aku tidak termasuk 20 orang tersebut. Susah bangun sepagi itu……..

 

Kamis pagi tiba. Aparat keamanan sudah terlihat di sudut-sudut jalan yang mungkin akan dilalui oleh mobil-mobil rombongan SBY. Siswa-siswa dari SD, SMP, dan SMA dipersiapkan untuk berdiri di sepanjang jalan sambil mengibar-ngibarkan bendera merah putih kecil. Cuaca cukup cerah saat itu. Yang menonjol adalah bertebarannya baliho-baliho besar yang bertuliskan: Selamat datang bagi Bapak Presiden dan Ibu Negara dari berbagai lembaga. Juga tidak ketinggalan bendera-bendera partai Demokrat yang hari itu menjadi ‘raja di jalan-jalan kota Manokwari’.

 

Karena sudah merencanakan untuk pergi ke kantor Dispenda guna membayar pajak daerah tahun 2009, suamiku pun pergi dengan menggunakan ojek. Kira-kira 10 menit kemudian suamiku kembali dengan menggerutu,”Jalan ke Dispenda ditutup. Kantornya juga tutup. Buang-buang uang ojek saja.” Tadi aku sempat berpikir kemungkinan itu terjadi. Tetapi aku kembali berpikir apakah karena seorang presiden akan datang maka kantor-kantor layanan masyarakat harus tutup? Ternyata memang tutup, libur.

 

Antara pukul 11 dan 12 siang, rombongan presiden tiba di pulau Mansinam. Kami menonton dari televisi Mandiri Papua yang menyiarkan acara tersebut secara live. Banyak juga undangan yang hadir di sana. Entah sejak jam berapa mereka sudah duduk manis di deretan kursi-kursi undangan. Rata-rata berbaju batik. Sepertinya itu dress code untuk acara tersebut. Udara cukup panas. Terlihat dari banyaknya orang yang ‘kipas-kipas’. Pulau Mansinam yang biasanya sepi dan sederhana, hari itu terlihat meriah dengan dekorasi yang cukup membuat orang terkagum-kagum. Acara berlangsung dengan lancar tanpa gangguan sedikitpun. Sekitar pukul 14.30 wit acara benar-benar selesai. Presiden dan rombongan meninggalkan pulau Mansinam kembali ke Manokwari.

 

Pukul 18.00 wit aku pergi ke dokter gigi di Wosi dengan menggunakan ojek karena memang sudah jadwalku untuk ganti karet bracket. Biasanya dokter datang pukul 19.30, tetapi menjelang pukul 19.30 sang resepsionis memberitahuku bahwa dokter tidak bisa praktek hari ini karena kecapekan setelah mengikuti acara di pulau Mansinam. Aku yang sudah menunggu sekitar 2 jam rasanya ingin marah tetapi marah sama siapa. Ini bukan salah sang resepsionis. Salah si dokter karena tidak memberi kabar lebih awal? Mungkin juga. Atau salah pemprov yang mengharuskan dokter-dokter untuk menghadiri acara di pulau Mansinam sampai kecapekan dan tidak bisa praktek? Mungkin salah Presiden yang datang dalam rangka kunjungan kerja tetapi membuat seluruh kota sibuk berat ? Atau mungkin salahku sendiri yang tidak bisa memperkirakan bahwa hal itu akan terjadi? Entahlah, tapi yang pasti aku terpaksa harus kembali minggu depan.

 

Akhirnya aku pulang, kembali menggunakan ojek. Sesampainya di depan Swiss bel-hotel, tempat rombongan presiden menginap tampak berjajar mobil-mobil mewah. Sepertinya ada Gala Dinner dengan para petinggi propinsi Papua Barat di sana. Ketika aku melewati restoran Abresso dan Billy Restaurant, terlihat juga berjajar mobil-mobil mewah. Aku jadi bertanya-tanya, apa Gala Dinnernya diadakan di beberapa tempat? Atau memang seperti itulah kegiatan malam para pejabat pemerintah propinsi Papua Barat yaitu makan malam di restaurant mewah?

 

Malam itu, sesampainya di rumah, aku membaca surat kabar Cahaya Papua yang memuat berita tentang : Kota Manokwari, untuk tingkat korupsi, adalah peringkat ketiga di Indonesia. Sambil membaca aku kembali mengingat acara yang berlangsung di Mansinam, ketika bapak gubernur Papua Barat memberikan laporan kepada Presiden. Di dalam laporan itu bapak gubernur sempat mengatakan semoga SBY terpilih kembali dalam pemilihan presiden tahun 2009 ini. Hatiku kembali bertanya kenapa bapak gubernur ingin SBY terpilih kembali menjadi presiden? Apakah karena memang program kerja SBY sangat bagus? Atau karena kebijakan SBY tentang Otsus di Papua yang berarti uang begitu melimpah dicurahkan ke propinsi ini yang akan sampai terlebih dahulu di tangan para pejabat propinsi sebelum sampai di tangan rakyat? Lalu apa artinya Manokwari menduduki peringkat ketiga kota terkorup di Indonesia? Apa artinya pegawai propinsi yang baru satu tahun bekerja sudah bisa memiliki sebuah Avanza atau Innova? Aku hanya bisa mengira-ngira, menebak, melihat gejala, dan membaca situasi.

 

Jumat, 23 Januari 2009, pukul 08.30 wit aku menyempatkan diri untuk pergi ke Hadi Mall yang bersebelahan dengan Swiss bel-hotel untuk berbelanja. Angkot yang aku tumpangi tidak bisa berhenti tepat di depan Hadi Mall seperti biasanya karena jalan ditutup. Persiapan rombongan Presiden untuk meninggalkan Manokwari kembali ke Jakarta. Dari seberang jalan hotel rakyat berdiri menonton. Apa yang ada dalam pikiran mereka? Apakah mereka memang merindukan kedatangannya? Apakah presiden juga rindu untuk bertemu langsung dengan rakyat Papua Barat?  Lalu apa artinya kunjungan ini baik bagi rakyat Papua Barat maupun bagi presiden sendiri? Bisakah terlihat kondisi masyarakat yang sebenarnya selain apa yang dilaporkan oleh para pejabat propinsi? Aku hanya bisa berharap semoga presiden sebagai bapak bisa merasakan apa yang menjadi keinginan hati terdalam dari rakyat sebagai anak-anaknya.

 

 

Thursday, January 1, 2009

Manokwari : Salah satu kota termakmur di Indonesia?

Dari lantai dua tempat tinggal kami, aku dan suamiku duduk menunggu detik-detik pergantian tahun 2008 ke 2009. Sejak dua jam yang lalu sudah terdengar suara letusan-letusan kembang api memenuhi penjuru kota Manokwari. Bahkan sudah sejak awal bulan Desember 2008, kembang api sering terlihat di langit Manokwari pada malam hari. Tetapi tanggal 31 Desember 2008 pukul 24.00 WIT langit menjadi seterang siang karena ratusan kembang api dinyalakan hampir bersamaan dari timur, barat, utara, dan selatan kota dan berlangsung selama kurang lebih 2 jam setelah pukul 00.00 WIT. Luar biasa indahnya. Walaupun hanya beberapa detik saja bisa kami nikmati untuk setiap kembang api yang diluncurkan. Seiring keindahannya memudar, bekas kembang api meninggalkan asap belerang yang membuat langit cerah Manokwari menjadi berkabut dan berbau. Rambut di kepala kami menjadi kaku seperti terkenal hairspray. Mungkin ini salah satu efek asap belerang.

 

Sementara suamiku memotret kembang api yang tengah berpendaran di langit, aku bertanya-tanya dalam hatiku, “Berapa banyak uang yang sudah dikeluarkan oleh masyarakat Manokwari dalam menyambut tahun baru hanya untuk kembang api? Rasanya pasti ratusan juta. Belum terhitung kembang api yang dibakar ketika malam Natal dan hari-hari sepanjang bulan Desember. Bisa jadi mencapai milyar.” Untuk ukuran kota dengan jumlah penduduk yang kira-kira belum mencapai 1 juta orang rasanya sangat mengejutkan bila masyarakat bisa mengeluarkan 1 milyar demi pesta kembang api. Padahal di hari Raya Natal dan Tahun Baru setiap keluarga memasak dalam jumlah besar demi menjamu tamu-tamu yang berdatangan pada hari Natal pertama dan kedua juga Tahun Baru pertama dan kedua. Bagi keluarga kecil, mereka memasak kira-kira untuk 30 orang. Bagi keluarga penting di Manokwari, mereka harus menyediakan hidangan bagi 3000 orang.  Pesta kembang api, makanan berlimpah, baju-baju baru dan liburan. Itulah Manokwari antara Natal dan Tahun Baru.

 

Di media-media tingkat kemakmuran penduduk suatu kota diukur dari pendapatan perkapita mereka. Mungkin untuk lebih mudahnya UMR yang berlaku di kota itu. UMR kota Manokwari kurang lebih Rp 1.100.000,-. Dengan harga barang-barang yang lebih  mahal daripada di Jawa, gaji 1 juta-an tidak terlalu berarti. Walaupun sudah ditambah THR 1 bulan, tetap saja terasa ngepres. Bisa dipastikan bukan masyarakat pekerja yang mau membuang-buang uang membeli kembang api. “Itu para kontraktor, pengusaha, dan pejabat pemerintah yang membakar kembang api,” kata suamiku. Kalau mereka yang “membakar uang” sih tidak terlalu mengherankan. Proyek-proyek yang ditangani para kontraktor nilainya milyar. Perdagangan yang dijalankan para pengusaha juga tidak bisa dibilang kecil omset tahunannya apalagi komisi-komisi proyek yang diterima oleh pejabat pemerintah dari para kontraktor dan pengusaha tersebut. Bisa membuat mereka makmur sepanjang tahun tanpa perlu berpikir dan bekerja terlalu keras mendapatkan uang.  

 

Pukul 00.30 WIT aku dan suamiku memutuskan untuk turun dari lantai dua dan menyalami setiap anggota keluarga. Aku berjalan dengan hati yang dipenuhi berbagai perasaan campur aduk. Aku tidak tahu apakah aku bangga dan senang dengan apa yang baru aku lihat di langit Manokwari. Tetapi yang pasti aku mendapatkan bahwa untuk mengukur kemakmuran suatu kota jangan hanya melihat pada pendapatan perkapitanya saja tetapi hitunglah juga dari berapa banyak kembang api yang bisa dibakar setiap hari raya dan pada malam tahun baru.