Dari lantai dua tempat tinggal kami, aku dan suamiku duduk menunggu detik-detik pergantian tahun 2008 ke 2009. Sejak dua jam yang lalu sudah terdengar suara letusan-letusan kembang api memenuhi penjuru kota Manokwari. Bahkan sudah sejak awal bulan Desember 2008, kembang api sering terlihat di langit Manokwari pada malam hari. Tetapi tanggal 31 Desember 2008 pukul 24.00 WIT langit menjadi seterang siang karena ratusan kembang api dinyalakan hampir bersamaan dari timur, barat, utara, dan selatan kota dan berlangsung selama kurang lebih 2 jam setelah pukul 00.00 WIT. Luar biasa indahnya. Walaupun hanya beberapa detik saja bisa kami nikmati untuk setiap kembang api yang diluncurkan. Seiring keindahannya memudar, bekas kembang api meninggalkan asap belerang yang membuat langit cerah Manokwari menjadi berkabut dan berbau. Rambut di kepala kami menjadi kaku seperti terkenal hairspray. Mungkin ini salah satu efek asap belerang.
Sementara suamiku memotret kembang api yang tengah berpendaran di langit, aku bertanya-tanya dalam hatiku, “Berapa banyak uang yang sudah dikeluarkan oleh masyarakat Manokwari dalam menyambut tahun baru hanya untuk kembang api? Rasanya pasti ratusan juta. Belum terhitung kembang api yang dibakar ketika malam Natal dan hari-hari sepanjang bulan Desember. Bisa jadi mencapai milyar.” Untuk ukuran kota dengan jumlah penduduk yang kira-kira belum mencapai 1 juta orang rasanya sangat mengejutkan bila masyarakat bisa mengeluarkan 1 milyar demi pesta kembang api. Padahal di hari Raya Natal dan Tahun Baru setiap keluarga memasak dalam jumlah besar demi menjamu tamu-tamu yang berdatangan pada hari Natal pertama dan kedua juga Tahun Baru pertama dan kedua. Bagi keluarga kecil, mereka memasak kira-kira untuk 30 orang. Bagi keluarga penting di Manokwari, mereka harus menyediakan hidangan bagi 3000 orang. Pesta kembang api, makanan berlimpah, baju-baju baru dan liburan. Itulah Manokwari antara Natal dan Tahun Baru.
Di media-media tingkat kemakmuran penduduk suatu kota diukur dari pendapatan perkapita mereka. Mungkin untuk lebih mudahnya UMR yang berlaku di kota itu. UMR kota Manokwari kurang lebih Rp 1.100.000,-. Dengan harga barang-barang yang lebih mahal daripada di Jawa, gaji 1 juta-an tidak terlalu berarti. Walaupun sudah ditambah THR 1 bulan, tetap saja terasa ngepres. Bisa dipastikan bukan masyarakat pekerja yang mau membuang-buang uang membeli kembang api. “Itu para kontraktor, pengusaha, dan pejabat pemerintah yang membakar kembang api,” kata suamiku. Kalau mereka yang “membakar uang” sih tidak terlalu mengherankan. Proyek-proyek yang ditangani para kontraktor nilainya milyar. Perdagangan yang dijalankan para pengusaha juga tidak bisa dibilang kecil omset tahunannya apalagi komisi-komisi proyek yang diterima oleh pejabat pemerintah dari para kontraktor dan pengusaha tersebut. Bisa membuat mereka makmur sepanjang tahun tanpa perlu berpikir dan bekerja terlalu keras mendapatkan uang.
Pukul 00.30 WIT aku dan suamiku memutuskan untuk turun dari lantai dua dan menyalami setiap anggota keluarga. Aku berjalan dengan hati yang dipenuhi berbagai perasaan campur aduk. Aku tidak tahu apakah aku bangga dan senang dengan apa yang baru aku lihat di langit Manokwari. Tetapi yang pasti aku mendapatkan bahwa untuk mengukur kemakmuran suatu kota jangan hanya melihat pada pendapatan perkapitanya saja tetapi hitunglah juga dari berapa banyak kembang api yang bisa dibakar setiap hari raya dan pada malam tahun baru.
No comments:
Post a Comment