Sunday, October 24, 2010

BANGKAI SEEKOR KUCING DI TERASKU


Pukul 07.15 WIT aku keluar untuk menghadiri misa di Paroki St. Agustinus yang hanya berjarak 50 meter dari rumahku. Tiba-tiba mataku menangkap bayangan hitam di sudut teras. Panjang membujur, bergeming, berbulu, tanpa kepala. Aku cukup terkejut dan mengenali bahwa benda itu adalah bangkai seekor kucing yang menjadi korban pembantaian para anjing. 

“Nanti saja setelah pulang dari misa baru aku urus bangkai kucing itu,” kataku dalam hati.

Aku mengikuti misa dengan pikiran yang terus berputar memilih tindakan yang bisa aku lakukan. Sebenarnya aku jijik, geli, sekaligus kasihan pada kucing tak bernyawa itu. Dua tindakan yang sempat aku pikirkan adalah :
Pertama : “Aku akan mengambil cikrak dan sapu lidi untuk memindahkan kucing itu ke tempat pembakaran sampah.”
Tapi aku tidak tega mengangkat tubuh kucing tersebut dengan cara seperti mengangkat sampah. Bagaimana pun bangkai ini adalah seekor mamalia (manusia juga mamalia).

Kedua : “Aku akan mengambil beberapa lembar koran bekas untuk menutupi tubuhnya, lalu memasukkannya ke dalam sebuah karton dan kemudian menaruhnya di tempat pembakaran sampah. Tentu dengan memakai kantong plastik pada kedua tanganku dan masker penutup hidung.”

Aku memutuskan untuk melakukan tindakan yang kedua.

Sepulang dari misa, aku melihat bangkai kucing berada di tempatnya. Aku memutuskan untuk sarapan dulu sebelum melakukan aksiku itu karena aku kuatir jika nanti aku bakal tidak bisa sarapan setelah melihat bangkai itu dari dekat.

Selesai sarapan, aku sudah bersiap-siap, mental dan peralatan. Aku membuka pintu dan menuju ke lokasi.  Ternyata…….. bangkai itu lenyap! Hanya beberapa bulu-bulu hitam yang melekat pada lantai Aku bersorak kegirangan. Entah siapa yang telah memindahkannya. Yang pasti siapapun orang yang baik hati itu, dia adalah malaikat bagiku.

Terus terang saja selama di gereja aku tidak berdoa supaya ada orang yang memindahkan bangkai kucing tersebut. Aku sibuk memikirkan cara yang bisa aku lakukan sendiri. Kejadian ini membuatku teringat pada kata-kata : “Tuhan tahu apa yang kita butuhkan dan akan memenuhi kebutuhan kita itu tepat pada waktuNya. Bahkan sebelum kita memintanya.”

Jika untuk memindahkan bangkai kucing saja Dia bersedia menolongku tepat pada waktuNya, apakah aku harus terus mengkuatirkan hidupku?

Friday, October 22, 2010

THE PATH

If you hope to expand
You should first learn how to contract.

If you hope to become strong
You should first understand weakness in yourself.

If your ambitions are to be exalted
Humiliation should always follow.

If you hold fast to something
It will surely be taken away from you.

This is the operation of the subtle law of the universe.
The law of the universe is subtle,
But it can be known.

The soft and the meek can overcome the hard and the strong.
The true strength of a country or a person is not on the outside.
Just as fish cannot leave the deep
One must never stray from one's true nature......

(From The Complete Works of Lao Tzu, Translation and Elucidation by Hua-Ching Ni)

Thursday, October 21, 2010

YANG TEWAS ITU YANG JAHAT?


Sejak tanggal  5 Oktober 2010 – hari kedua setelah banjir bandang di Wasior – aku sudah menunggu pernyataan beliau yang satu ini di surat kabar. Tetapi sampai hari ini belum aku jumpai satu kalimat pun dari orang nomor satu di Kabupaten Wondama itu tentang bencana banjir bandang tersebut. Aku sungguh penasaran dan bertanya-tanya : Apakah beliau selamat? Mungkinkah beliau salah satu dari korban tewas yang belum ditemukan? Tetapi jika memang beliau termasuk yang dinyatakan hilang atau meninggal, pasti beritanya sudah tersebar. Tidak ada berita, tidak ada pernyataan –menurutku – beliau ada bae-bae saja.

Pagi ini ketika seorang wartawan radio bertandang ke toko buku rasa penasaranku mencuat lagi. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya tentang beliau yang satu itu. Sang wartawan radio  mengatakan bahwa  Wondama-1 dalam keadaan sehat, selamat, tidak kurang suatu apapun dan sempat bertemu di kantor gubernur. 

“Lalu pernyataan apa yang beliau katakan tentang musibah di Wasior?” tanyaku

 “Di depan gubernur, beliau berkata dengan sedikit bangga bahwa orang-orang yang tewas itu adalah orang-orang yang berseberangan dengannya dalam pilkada lalu. Bahwa air bah itu seolah-olah memiliki mata dan hanya mengejar mereka yang tidak mencontreng nama beliau di pilkada lalu.” Begitulah cerita sang wartawan radio.

Sejuta kata makian bagi beliau sudah ada di kepalaku.  Untungnya lidahku tidak terbiasa mengeluarkannya menjadi kata-kata.  Aku hanya merasakan jantungku berdebar lebih keras. MIris, sedih, kecewa, marah.  Dan yang lebih mengguncangku adalah beliau menang lagi untuk periode yang kedua. Bagi beliau bencana itu tidak berarti apa-apa selain tanda hukuman bagi orang-orang yang tidak mendukungnya.

Mungkin aku memang berhak untuk marah, sedih, kecewa karena pernyataan beliau. Tetapi  bukankah pikiran seperti itu yang sering muncul di benakku ketika melihat sesuatu yang buruk menimpa orang lain?
Ada orang yang kecopetan atau dirampok atau kehilangan materi, aku bilang mereka selama ini serakah, tidak mau berbagi. Benakah?

Jika seseorang mengalami kecelakaan atau ditimpa penyakit berat, aku menduga bahwa mereka kurang beribadah. Pastikah?

Lalu apakah yang tewas dalam banjir bandang di Wasior itu hidupnya lebih jahat daripada yang selamat? Atau  yang selamat dari banjir itu hidupnya lebih suci daripada yang meninggal?

Apakah kebaikan atau keburukan yang datang dalam hidup manusia adalah sekedar bayaran dari apa yang sudah mereka lakukan selama ini?

Aku tidak tahu jawaban pastinya, tetapi hanya ini yang aku tahu : jika esok ketika ayam berkokok dan matahari terbit aku masih bisa membuka mata serta bernapas berarti masih ada tugas yang harus aku kerjakan dan kesempatan bagiku untuk memperbaiki diri.

Wednesday, October 6, 2010

KETIKA HATIMU TERLUKA

Jangan pernah berkata,"Aku baik-baik saja."

Ketika hatimu terluka

Lebih baik jujur mengaku,"Aku terluka karenamu."

Karena luka bukan untuk disembunyikan

 

Hatimu bukanlah batu pualam

Hatimu tidak terbuat dari baja

Hatimu bisa tergores dan berdarah

Karena hatimu adalah bagian dari tubuhmu

 

Mengakui hatimu terluka

Bukan berarti dirimu lemah

Menunjukkan hatimu berdarah

Adalah bentuk kejujuran yang ksatria

 

Dalam perjalanan hidup ini

Setiap kita pasti dilukai serta melukai

Menyembunyikan luka bisa menjadi alasan untuk membalas

Tetapi mengakui luka adalah jalan tercepat menuju kesembuhan


TAK TERGANTIKAN


Seorang teman, beberapa hari yang lalu melalui chat, bercerita padaku tentang alasannya meninggalkan pekerjaan mapan dan bergengsi di sebuah perusahaan bonafit negeri ini. Dalam chat kami itu, temanku menulis begini :

"Seumpama perusahaan adalah sebuah jam raksasa, aku ini hanyalah salah satu komponen kecilnya. Memang adanya diriku membuat jam itu berjalan mulus, tetapi ketika aku tidak ada maka dengan mudah perusahaan menemukan orang-orang yang siap menggantikan aku."

Aku terhenyak membaca kata-katanya. Lalu ia melanjutkan :

"Pada saat aku harus bedrest selama 3 bulan setelah operasi aku mulai menyadari bahwa apa yang aku banggakan selama ini (gaji, kedudukan, perjalanan dinas ke luar negeri, fasilitas, hormat dari bawahan) sebenarnya semu dan pada kenyataaannya diriku tidak mempunyai apa-apa karena terlepas dari nama besar perusahaan semua kenyamanan itu bukan milikku lagi."

Ya, memang begitulah nasib karyawan. Semua yang bisa dinikmati adalah milik perusahaan yang bisa diambil jika karyawana itu tidak lagi menguntungkan perusahaan. Pikirku.

Temanku itu sekarang sudah yakin berada di jalur yang memang seharusnya dia berada, yaitu menjadi seorang ilmuwan.

Percakapan via Yahoo Messenger tersebut melekat kuat dalam ingatanku. Aku mulai bertanya-tanya apakah memang seorang manusia bisa dengan mudah digantikan manusia lain, seperti suatu komponen yang bisa digantikan komponen sejenis karena memang komponen adalah produk masal? Bukankah tidak ada dua orang yang sama persis bahkan anak kembar identik sekalipun? Bukankah selama ini aku percaya bahwa setiap jiwa adalah unik dan tidak ada duanya? Sebagai konsekuensinya maka seharusnya tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan seseorang secara tepat.  Tetapi sepertinya hukum di dunia tidak seperti itu, terutama dalam dunia industri, kapitalisme, di mana sumber daya manusia tidak berbeda dengan aset-aset yang lain. Bisa bahkan harus bisa digantikan demi kelanggengan suatu organisasi.

Tidak mudah bagiku untuk menyelaraskan apa yang aku percaya tentang keunikan manusia dan kenyataan yang aku lihat. Tetapi ada satu jembatan yang bisa aku pakai yaitu pertanyaan dasar yang harus dijawab oleh setiap manusia karena pertanyaan ini selalu bergema dalam jiwa sampai manusia itu bisa menjawab dengan benar, yaitu : Mengapa aku ada di dunia ini?

Menjawab pertanyaan itu dengan mantap bukanlah pekerjaan mudah tetapi bukan tidak mungkin untuk menjawabnya. Diperlukan perenungan yang tidak sebentar, bahkan bisa memakan waktu seumur hidup. Lalu aku teringat pada beberapa nama seperti Mahatma Gandhi, Mother Teresa, Thomas Alva Edison, Dalai Lama, dan nama-nama lain baik yang terkenal maupun yang tidak banyak diketahui orang. Apakah mereka bisa menjawab pertanyaan dasar itu dengan yakin? Aku pribadi tidak meragukannya karena mereka adalah orang-orang yang tahu pasti apa yang harus mereka kerjakan dalam hidup mereka dan tidak takut menghadapi tantangan serta penderitaan yang menyertainya. Manusia dengan karakter seperti merekalah yang tidak tergantikan.

Aku percaya pada kemahakreatifan Tuhan Sang Pencipta sehingga setiap manusia yang boleh hadir di dunia ini adalah spesial, unik, bukan produk masal, tidak ada duanya, seperti yang tergambar dalam puisi dari seorang pujangga Yahudi beberapa abad sebelum Masehi :

    Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku
    Menenun aku dalam kandungan ibuku
    Aku bersyukur kepadaMu
    Oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib  

Terima kasih, Tuhan, karena aku unik, tidak ada duanya, dan tak tergantikan di mataMu.