Monday, May 11, 2009

Menerima Identitas Orang Lain

Membaca tulisan seorang sahabat lama di Kompas Komunitas yang berjudul “Jangan Panggil Aku Cina”, telah membangkitkan memori yang sudah lama aku lupakan. Kenangan yang tidak terlalu menyenangkan di masa-masa aku tinggal di Surabaya. Mirip seperti yang sahabatku itu tulis begitu juga apa yang aku alami. Mulai dari yang kasar berupa pelecehan verbal seperti,”Hei Cina, pulang saja ke negaramu!” sampai hanya sekedar tatapan aneh tidak terlalu bersahabat. Orang tuaku, yang mungkin waktu itu masih trauma dengan peristiwa 1965, menganjurkan kepadaku untuk tidak terlalu menunjukkan bahwa aku Cina. Apalagi ditunjang dengan penampilan fisikku yang memang tidak terlalu Chinese look. Nama keluargaku yang dieja Tjan harus diubah menjadi Tjandra agar terdengar lebih Indonesia. Padahal artinya saja tidak bersinggungan sedikitpun.

 

Aku terbiasa untuk menyembunyikan identitas keturunan selama di sekolah. Entah teman-temanku tahu atau tidak tapi aku tidak pernah mau membicarakan secara terbuka bahwa aku Cina. Aku takut tidak bisa diterima di lingkungan sekolah-sekolah negeri yang mayoritas diisi oleh siswa-siswa pribumi. Karena terbiasa menyembunyikan identitas itulah aku mulai, secara diam-diam, membenci diriku karena telah terlahir sebagai orang Cina. Di masa remaja yang penuh gejolak pencarian identitas diri, aku mengalami penyangkalan identitas yang seharusnya aku belajar untuk menemukan dan mencintainya.

 

Suamiku, seorang Kawanua asli, adalah orang pertama yang membangkitkan rasa percaya diriku dengan identitasku itu. Tidak bosan-bosannya dia menceritakan bagaimana budaya orang Cina yang begitu tinggi di masa lalu yang membawa kemajuan luar biasa di masa sekarang. Suamiku dan aku suka menonton acara televisi Cina, Korea, Jepang yang berbahasa Inggris seperti CCTV 9, Arirang dan NHK. Semakin lama aku semakin dibuat kagum oleh budaya-budaya oriental yang dulu tidak aku sukai . Aku membayangkan, seandainya orang-orang di sekitarku dulu mengerti tentang hal ini tentu tidak akan ada pelecehan verbal yang diucapkan penuh kebencian tanpa alasan jelas. Seandainya dulu aku mengerti bahwa aku berasal dari bangsa berbudaya tinggi, tentu tidak perlu aku menyembunyikan identitasku di hadapan orang lain. Syukurlah masa pencerahan itu sudah tiba dan aku yakin sedikit demi sedikit telah terjadi perubahan dalam sistem masyarakat pribumi kita.

 

Saat ini aku dan suamiku tinggal di Manokwari, Papua Barat. Penduduk pribumi di tempat ini berkulit hitam, berambut keriting, berbadan besar dan primitif – sebutan dari kita orang-orang kota besar. Sebagian besar orang Papua asli tertinggal dalam pendidikan dan informasi. Tetapi ada satu hal menarik, mereka bisa menerima para pendatang yang hidup di tanah mereka. Orang Cina, Manado, Bugis, Ambon, Toraja, Jawa, Bali dan masih banyak lagi diterima dengan terbuka tanpa perlu mempertanyakan atau menghina identitas keturunannya asalkan bisa hidup dengan damai bersama mereka. Ketika sekarang orang bertanya kepadaku, tanpa beban aku bisa menjawab,”Saya orang Cina Surabaya.” Maksudnya keturunan Cina yang besar di Surabaya dan sekarang tinggal di Manokwari. Keterbukaan hati menerima identitas orang lain ternyata tidak ditentukan oleh seberapa majunya atau primitifnya suatu bangsa tetapi ditentukan oleh kesadaran bahwa semua bangsa yang berbeda-beda itu adalah karunia Tuhan untuk keindahan alam semesta. Seperti pelangi yang tidak pernah indah jika harnya satu warna saja.

Saturday, May 2, 2009

Tetap Berbahagia Ketika Suami Terpikat Wanita Lain

Sifat yang paling kita – para istri – inginkan dari suami-suami adalah kesetiannya. Istri, biasanya, bisa bertahan pada kondisi kekurangan materi atau suami yang sakit tetapi, kebanyakan, tidak bisa bertahan ketika suami sudah terpikat pada wanita lain. Kecemburuan, kemarahan, dan kesedihan  bercampur aduk dalam hati dan keluar dalam berbagai wujud tindakan-tindakan yang lebih banyak negatif daripada positifnya. Rentetan tindakan yang pada akhirnya mempercepat hancurnya sebuah pernikahan yang sedang mendapat serangan dari luar itu.

Sebenarnya tidak ada seorang istri yang menginginkan rumah tangganya runtuh. Suami yang sadar dan kembali mencintai keluarga itulah yang diinginkan. Tetapi istri juga tidak bisa mengendalikan hati suami agar jangan terpikat pada wanita lain karena sang suamilah yang memutuskan mau terpikat atau mengabaikan daya tarik itu. Karena itu, ketika suami terpikat pada wanita lain, pertama-tama, istri harus berhati-hati pada dirinya sendiri. Mengendalikan kemarahan itu sangat penting agar tidak menghasilkan tindakan-tindakan yang kontraproduktif dan akhirnya akan mempermalukan diri sendiri.

Daripada menenggelamkan diri pada kesedihan, atau merengek-rengek minta perhatian suami, atau memikirkan cara-cara untuk membalas dendam dengan mencari pria lain, atau memikirkan kemungkinan untuk menyakiti suami, yang mana jika dilakukan tidak akan membuat istri berbahagia, lebih baik menata hati dan pikiran agar bisa tetap berbahagia .

1.       Sadarilah bahwa setiap orang itu unik, termasuk wanita lain itu. Keunikan yang tertangkap oleh hati suami sebagai daya pkat yang membuatnya lupa kalau statusnya bukan lagi bujangan. Istri janganlah membuang-buang waktu dengan membandingkan diri dengan wanita lain itu. Melakukan analisa SWOT tentang wanita lain itu hanya akan membuat istri semakin merana karena keputusan hati suami tidak bisa dimengerti dengan otak. Hati memiliki logikanya sendiri.

2.       Sadarilah bahwa hati suami tidak pernah kebal terhadap daya pikat wanita lain, sama seperti tubuhnya juga tidak pernah kebal terhadap penyakit. Karena itu anggaplah kondisi hati suami yang tidak stabil ini sebagai keadaan yang mirip dengan sakit jasmani. Suami yang sakit membutuhkan perawatan yang penuh kesabaran dan kasih sayang supaya cepat sembuh. Istri yang sedang marah dan cemburu tidak akan bisa merawat hati suami dengan baik. Malahan akan memperparah situasi karena hati suami semakin condong kepada wanita lain itu.

3.       Syukurilah bahwa bukan istri yang terpikat pada pria lain. Setidaknya istri berada dalam posisi sebagai yang benar . Percayalah Tuhan berpihak pada yang benar.

4.       Syukurilah karena sudah datang kesempatan bagi istri untuk membuktikan diri sebagai istri yang luar biasa. Jika istri baik ketika suami setia, maka kebaikan istri itu adalah wajar-wajar saja. Tetapi kalau istri tetap baik kendati suaminya tidak setia, maka kebaikan itu adalah kebaikan yang luar biasa. Tuhan melihat kebaikan itu dan akan membalasnya.

5.       Syukurilah bahwa ini adalah kesempatan bagi istri untuk lebih dekat kepada Tuhan. Anggap saja ini sebagai sapaan Tuhan yang rindu istri dekat kepadaNya. Dekat kepada Tuhan adalah suasana berkat yang tidak bisa dibandingkan dengan kedekatan manapun.

6.       Syukurilah bahwa ini adalah kesempatan untuk belajar meningkatkan kualitas diri sendiri baik dalam urusan pribadi, rumah tangga, kerohanian, sosial dan keterampilan lainnya. Kesempatan untuk belajar kembali menjadi istri yang ideal di mata suami.

Suami yang mudah terpikat sebenarnya merindukan kebahagiaan dan mencarinya di luar keluarga. Seorang istri yang berbahagia bisa memikat hati suami kembali  kepadanya. Karena sesungguhnya kebahagiaan itu sudah tersedia di rumah.