Wednesday, April 14, 2010

Susahnya Punya Dolar ‘Nanggung’ di Manokwari


Sore itu suamiku pulang dengan rambut klimis karena baru saja mengantar seorang turis snorkeling di pulau dekat Manokwari. Kulitnya merah terbakar matahari. Walaupun kelihatan lelah tapi dari sinar matanya aku tahu bahwa hati suamiku sedang gembira. Dia pulang membawa sekantong rambutan dan sekotak kue. Tidak hanya itu, suamiku membuka dompetnya dan menyerahkan selembar uang USD 50 kepadaku. Sang turis memberikan tambahan USD 50 kepadanya. Kami berdua senang. Suamiku meminta aku untuk menyimpan uang dolar itu baik-baik agar nilainya tidak berkurang ketika ditukarkan nanti. Aku menaruhnya dalam sebuah dompet plastik mika.

Setelah lewat dua minggu, suamiku memintaku untuk menukarkan uang dolar itu di bank. Aku segera pergi ke Bank Mandiri. Di sana aku berbicara dengan seorang Customer Service yang mengatakan bahwa mereka tidak menerima penukaran uang dolar fisik. Alasannya karena di Manokwari belum ada Bank Indonesia dan mereka belum memiliki alat pendeteksi uang palsu khusus untuk dolar. CS tersebut menyarankan aku ke bank lain. Aku segera meninggalkan Bank Mandiri dan menuju tetangganya, Bank BRI. Sekali lagi aku harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak bisa menukarkan dolar. Mereka menyarankan aku ke Bank Danamon. Sesampainya di Danamon, sang CS yang aku temui juga mengatakan alasan yang sama dengan yang aku dengar di Bank Mandiri. Mereka belum mempunyai alat pendeteksi uang palsu untuk dolar. Aku disarankan ke Bank BNI. Mula-mula aku ragu, tapi aku pikir sekalian aja, nothing to loose lah kalau memang tidak bisa.

Bank BNI terletak persis di seberang Hadi Mall sehingga aku masih bisa jalan-jalan sebentar jika ternyata dolar itu tidak bisa ditukarkan. Sudah hampir 5 bulan aku tidak mengunjungi Bank BNI semenjak hutang kredit modal kerja kami lunas November 2009 yang lalu. Aku segera menuju ke meja CS yang bernama Yuliana.

Aku : “Selamat sore, Mbak, apa bisa tukar uang dolar fisik?”

Yuliana : “Sore. Bisa.” (Sambil tersenyum ramah)

Aku : “Satu dolarnya berapa?” (Merasa bersemangat seolah-olah ada lampu bersinar di atas kepalaku)

Yuliana : “Kalau di kita delapan ribu rupiah.”

Aku : “Ya udah gak apa-apa.” (Rugi-rugi dikit gak masalah yang penting duit bisa dipakai).

Aku pun segera mengeluarkan selembar USD 50 yang masih tersimpan rapi dalam dompet plastik mikaku.

Yuliana : “Wah, mbak, kami hanya menerima satuan 100 dolar. Itu pun juga harus yang seri tahun 2006 ke atas.”
Lampu di kepalaku langsung pecah. Plop.

Aku : “Jadi nggak bisa ya, Mbak?” (Berharap-harap semoga si CS mempunyai solusi yang lain).

Yuliana : “Maaf, Mbak, gak bisa. Karena kami menyimpan dolar cukup lama. Nanti kalau ada yang mau berangkat ke Jayapura baru ditukarkan di Bank Indonesia di sana. Mbak nyimpan uangnya bagus, lho.” (Rupanya dia berusaha menghibur hatiku).

Aku : “Oke deh, Makasih ya.”

Aku pergi dengan hati geli.

Sesampainya di rumah aku segera berkata kepada suamiku :
“Sayang, kalau turis mau kasih uang dolar lagi tolong bilang minimal 100 dolar mister. Kurang dari itu mending dikasih rupiah aja. Biar nggak ngrepotin.”
Suamiku pun tertawa mendengarkan pengalamanku di sore itu.

Di Manokwari memang belum ada money changer sehingga turis-turis lebih suka mengambil uang langsung dari ATM daripada menukarkannya di bank.