Friday, August 28, 2009

Sahabatku, Oaseku (3)

Irene, biasa aku sapa Kak In, adalah seorang idealis, yang sudah bisa mengubah pola pikir sehingga bagi dia uang bukanlah ukuran keberhasilan juga bukan segala-galanya. Di sinilah titik temu aku dan dia. Berbicara dengan Kak In membuatku menyadari bahwa diriku pun bisa digolongkan idealis. Pengalaman hidup kami berdua menunjukkan bahwa kami lebih suka memilih jalan-jalan yang sukar daripada jalan-jalan yang mudah. Cenderung menempatkan diri pada kondisi yang berat, menantang tugas-tugas yang membutuhkan lebih banyak komitmen, daripada menerima kenyamanan. Dulu Kak In harus mengerjakan skripsinya lebih dari 3 tahun karena dia sengaja memilih dosen pembimbing perfeksionist dan materi yang sulit. Padahal sebelumnya Kak In sudah mendapatkan dosen pembimbing yang lebih senang mahasiswanya lulus cepat. Aku, dulu, sudah diterima di fakultas ekonomi manajemen Unair tetapi memilih belajar untuk UMPTN lagi demi bisa menjadi mahasiswa teknik ITS. Semua itu kami lakukan karena merasa tertantang untuk membuktikan bahwa dalam ukuran kemampuan, kami layak mendapat yang lebih. Kalau Bunda Teresa memilih yang sulit karena kerendahan hatinya tetapi kami berdua memilih yang sulit karena kesombongan. Buahnya adalah kami saat ini belum bisa menikmati hasil pekerjaan karena sibuk menaklukan tantangan demi tantangan yang mengaburkan fokus hidup kami. Hidup bukan lagi untuk berpetualang, itu kesadaran kami sekarang. Kami mau lebih memfokuskan energi pada apa yang sedang kami, masing-masing, kerjakan.

Kak In adalah perempuan gudang ide. Ide-idenya bagus dan banyak sampai-sampai dia tidak mempunyai cukup waktu untuk mewujudkannya. Hatinya mudah tersentuh melihat orang dalam kesulitan. Memang bukan uang yang dia sumbangkan, tetapi pikiran, tenaga, dan waktunya untuk mengatasi masalah tersebut. Ada seseorang yang mengalami kesulitan ekonomi, Kak In datang dengan ide bisnis warung makan sekaligus pendampingan. Meskipun akhirnya harus kecewa karena orang yang dibantu tidak sesemangat dirinya tetapi Kak In tidak pernah jera menyumbangkan solusi bagi orang-orang yang membutuhkan.

Bagiku, Kak In adalah partner diskusi tema-tema ‘berat’ seperti humanisme, perspektif gender, esensi kehidupan, teologi, tokoh-tokoh seperti Mangunwijaya, Henri Nouwen, Arswendo, Ayu Utami dan lain-lain. Dalam suasana santai dan ala girls talk, biasanya kami berbincang di dapurku sambil menikmati makan siang, masakanku, yang katanya bisa dia nikmati demi persaudaraan. “Kalau mau cari cita rasa ya kita makan di depot aja,” katanya.

Sebagai wanita lajang di usia yang mendekati 40, Kak In memiliki kestabilan emosi cukup bagus dalam menghadapi pertanyaan, sindiran maupun ejekan tentang pernikahan yang datang kepadanya. Sama seperti pandangannya tentang uang demikian pula tentang pernikahan, dia tidak mengikuti pendapat umum. Ketika suatu hari aku mengeluh karena tiba-tiba dilanda rasa minder karena kondisi ekonomi, Kak In mengingatkanku untuk tidak mengalami degradasi pola pikir tentang ukuran kesuksesan.

Kak In adalah jawaban doaku setelah hampir 3 tahun mencari seseorang yang bisa ‘klik’ denganku di sini. Perjuanganku seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Akhirnya aku bertemu juga dengannya, Irene, sepupu suamiku, sahabatku, oaseku.

Tuesday, August 25, 2009

Sahabatku, Oaseku (2)

Iman manusia kepada Sang Pencipta adalah bagaikan batu karang tempat berpijak ketika gelombang kehidupan menerpa. Tetapi kekuatan iman itu juga diuji oleh gelombang kehidupan. Hidup memang tidak pernah bisa diduga. Apa yang akan terjadi bisa saja tidak sesuai dengan rencana dan harapan. Suatu hari ketika tiba giliranku menerima terjangan gelombang kehidupan yang paling kuat dalam sejarah hidupku batu karangku goyah. Gelombang itu begitu tinggi sehingga batu karang tempatku berpijak tenggelam dan aku yang berdiri di atasnya seperti hendak hanyut bersama gelombang itu. Ketika aku hampir menyerah dalam kekuatan yang aku pikir melebihi kekuatanku seorang sahabat, Retno, membantuku untuk menemukan kembali imanku.

Bertemu pertama kali dengannya, ketika aku sedang berkunjung ke rumah sepupu calon suamiku, tidaklah meninggalkan kesan apapun. Yang aku tahu Retno adalah seorang aktivis organisasi PMKRI Surabaya dengan seabrek kegiatan. Bersahabat dengan seorang aktivis organisasi bukanlah pilihan yang menarik saat itu karena bagiku seorang aktivis lebih banyak ngomong daripada kerja. Ternyata itu tidak terjadi pada diri Retno. Dia seorang organisatoris matang yang mampu berkomunikasi dengan berbagai tipe orang. Kalau aku mengeluh tentang sulitnya masuk ke lingkungan baru, Retno berkata,”Wi, mengembiklah jika berada di tengah-tengah kambing dan mengeonglah jika berada di tengah-tengah kucing.” Itu nasihatnya supaya bisa diterima di tengah-tengah komunitas baru. Dan aku hanya menjawab iseng,”Bunglon dong!” Walau begitu aku bisa menyetujui saran itu.

Di balik sosoknya yang aktif dan percaya diri ternyata imannya bahwa Yesus Kristus selalu memberikan yang terbaik sangatlah dalam dan kuat. Kala itu hpnya sering penuh dengan sms-sms keluhanku yang sehari bisa sampai sepuluh kali. Jawaban-jawabannya selalu membuatku terdiam dan merenungkan hidupku.

Selain itu Retno menyarankan aku membaca buku-buku karya Tenney dan Joel Osteen yang begitu memotivasi dalam menjalani kehidupan yang sulit. Sampai dia rela meminjamkan buku-bukunya kepadaku yang tinggal di Manokwari ini. Suatu hari aku bertanya,”Kok jawaban kamu selalu pas dengan pergumulanku, sih?” Aku sering dibuatnya heran. “Karena aku bertanya dulu pada JC (Jesus Christ) sebelum menjawab,” begitu katanya.

Sedikit demi sedikit aku menemukan kembali imanku, batu karangku, yang ternyata tidak pernah hilang dari diriku. Hanya gelombang tinggi itu telah menutupinya dan mataku terlalu rabun untuk melihat apa yang tidak kelihatan walaupun sebenarnya ada.

Untuk mbak Retno (dia pernah komplain aku panggil ‘mbak’ karena gak mau keliatan tua, he he he) terima kasih telah menjadi salah satu oaseku di tengah padang gurun yang harus aku lalui. Kamu selalu mengatakan bahwa ketika kita menderita dan mendapatkan penghiburan tujuannya adalah supaya kita bisa menghibur orang lain yang mengalami kondisi yang pernah kita alami. Sekarang aku siap untuk menjadi berkat bagi orang lain seperti dulu kamu menjadi berkat buatku.

Sunday, August 23, 2009

Sahabatku, Oaseku (1)

Anita, Retno, dan Irene. Tiga orang wanita unik dengan karakter berbeda, berlatarbelakang berbeda dan berada di kota berbeda. Kesamaan mereka cuma satu yaitu suka membaca buku walaupun jenis bukunya berbeda.  Tetapi mengobrol dengan mereka adalah oase bagiku karena aku menemukan bagian diriku dalam diri mereka.

 

Anita adalah teman sekolahku di SMP. Pertama kali mengenalnya ketika kami satu kelas di kelas 1. Pembawaannya yang ceria dan heboh kala itu membuatku tidak tertarik untuk dekat dengannya. Diriku yang serius dan cenderung pendiam merasa tidak nyaman berada dekat seseorang seheboh Anita. Rupanya takdir berkata lain. Kelas 2 SMP kami sekelas lagi. Suatu hari aku dan Anita sedang menunggu angkot sepulang sekolah. Entah mengapa angkotnya lama sekali tidak datang. Lalu ada seorang tukang becak yang menawarkan jasanya kepadaku. Aku ragu-ragu. Di samping uangku tidak cukup untuk membayar, aku juga agak ngeri naik becak sendirian. Takut dibawa kabur sama tukang becaknya. Tiba-tiba Anita mengusulkan kami untuk naik becak berdua karena rumah kami searah. Aku pun setuju karena sudah lelah menunggu angkot. Dalam perjalanan yang hanya sekitar 15 menit itu aku mendapati Anita adalah seorang teman yang menyenangkan. Anaknya lucu. Sepanjang perjalanan aku dibuatnya tersenyum sampai tertawa ngakak. Itulah awalnya. Semenjak itu kami sering pulang bersama naik becak.

 

Ketika itu kami berdua sama-sama suka membaca novel detektif. Mulai dari Lima Sekawan, SPOT, Trio Detektif sampai karya-karya Agatha Christie. Aneh, diriku yang serius dan pendiam ini akhirnya bisa juga membalas lelucon-lelucon Anita. Ternyata sisi diriku yang humoris dan santai tergali ketika aku bersama Anita. Sayangnya, tamat SMP Anita harus pindah ke Jakarta. Sebelum pergi Anita sempat membuat sebuah novelette cerita detektif yang tokoh detektifnya adalah diriku. Membaca karyanya itu membuatku tertawa sampai menangis meskipun  jengkel karena dalam cerita itu aku menjadi sang detektif yang cerdik tapi  gendut karena suka makan, padahal ketika itu aku benci dibilang gendut. Persahabatan kami dilanjutkan melalui surat. Aku sangat menantikan surat-suratnya kala itu karena Anita selalu mempunyai cerita lucu tentang sekolah dan teman-teman barunya. Tetapi lama-kelamaan surat-suratnya semakin jarang dan kami pun tidak pernah berkomunikasi lagi. Aku tenggelam dalam kegiatan sekolah dan kembali menjadi seorang Dewi yang serius dan pendiam.

 

Tahun ini aku ditemukan kembali oleh Anita melalui facebook. Anita sudah menikah dan punya seorang jagoan kecil yang ganteng. Anita masih seperti yang dulu. Lucu dan heboh. Komunikasi kami kembali terjalin melalui telepon (pada jam-jam murah), sms, e-mail, dan facebook. Aku kembali menemukan oaseku. Sisi diriku yang humoris dan santai seolah hidup lagi setelah sekian tahun mati suri. Suatu hari aku ber-sms ria dengan Anita dan membahas tentang mendidik anak. Aku menulis teori-teori psikologi yang pernah aku baca. Anita membalas dengan kata-kata,”Aku mumet, Wi. Gak biasa mikir yang rumit-rumit begitu.” Jawabannya itu membuatku penasaran. Aku ini seorang yang suka berpikir rumit kok bisa dekat dengan Anita? Anita hanya menjawab,”Aku juga tidak tahu, tapi yang pasti aku nyaman dekat kamu.”  Suatu hari aku merasa sedih karena baru saja mendapat sms yang berisi pelecehan seksual dari seseorang. Aku merasa direndahkan. Aku marah sekali. Tiba-tiba Anita mengirimkan sebuah cerita lucu berjudul Sosis Man yang isinya membuatku tidak lagi merasa menjadi korban. Saat ini kami suka membahas novel-novel karya Kahlil Gibran, Paulo Coelho, Dee dan lain-lain selain saling menyemangati untuk menulis di blog masing-masing. Blog milik Anita yang baru launching minggu lalu diberinya nama : aliranrasa-natya.blogspot.com. Nama unik yang memberiku alasan untuk menggodanya.

 

Itulah Anita yang selalu ceria walau hidupnya tidak selalu mudah. Anita yang sering dibuat pusing kalau anaknya pulang membawa banyak PR dan ulangan tetapi kreatif dan sabar mengajari buah hatinya. Anita yang menjadikan menulis sebagai terapi bagi jiwanya. Anita, salah satu orang yang aku kagumi, sahabatku, oaseku.