Tuesday, December 30, 2008

Cerpen : Kekasih Di Seberang Tebing

Aku ingin bersamamu tapi juga tidak ingin bersamamu. Entah kekuatan apa yang membuat kita bersama saat ini. Di dalam kamar kosmu yang tidak terlalu besar. Aku duduk di depan komputermu sementara kamu berdiri di belakangku sambil menyilangkan lenganmu di sandaran kursi yang aku duduki. Aku bisa merasakan hangatnya lenganmu tanpa bersentuhan sekalipun. Akhirnya hari kebersamaan kita ditutup dengan ciuman pertama untukku. “Liana, aku cinta kamu,” katamu yang sudah terulang berkali-kali. Aku hanya mendesah berat. “Tapi kita tidak bisa bersama,” jawabku terdengar tanpa perasaan meski hatiku berdarah juga ketika mengucapkannya. Lenganmu membelai rambutku, “Tidak usah kita pikirkan sekarang perbedaan itu. Yang penting kita saling mencintai dan tidak ada yang salah dengan cinta.” Kata-katamu terdengar bijak di telingaku dan juga di hatiku. Aku hanya bisa mengangguk, menyetujui,  dan menanam kata-katamu dalam lubuk hatiku tanpa sempat mencerna akibat-akibat yang mungkin timbul  karena menelan suatu ide tanpa memamahnya dalam pikiran yang jernih dan logis.

 

Sebenarnya kita berdua tidak berbuat kejahatan dengan menjalin cinta ini. Hanya ada sebuah jurang yang rasanya sulit sekali untuk dijembatani. Belum ada seorang insinyur pun yang bisa merancang sebuah jembatan indah tanpa menghancurkan salah satu atau kedua sisi tebing milik kita masing-masing. Aku sudah berjanji untuk memelihara tebing tempatku berpijak dengan setia, kamu pun sudah berjanji untuk itu. Jika kita nekat untuk bersatu itu berarti salah satu dari kita harus mengkhianati janji yang sudah kita buat kepada pokok pohon, kepada kulit kacang kita. Aku dan kamu tidak sanggup membayangkan akibatnya. Karena ada begitu banyak hati terluka, begitu banyak air mata akan tertumpah dan begitu banyak sumpah serapah akan terucap dari mulut orang-orang yang telah begitu menyayangi aku dan kamu. Tetapi kita juga tidak mampu memadamkan rasa ini. Kekuatan cinta murni yang diam-diam tumbuh dalam hati. Siapa yang harus kita salahkan? Siapa yang menaburkan benih dalam hatiku dan hatimu? Bukankah semua cinta yang murni berasal dari Sang Cinta sendiri? Apakah benih ini tercecer dan jatuh di tempat yang salah? Dan tempat yang salah itu adalah hatiku dan hatimu?

 

Aku dan kamu menjadi pasangan yang tidak logis sama sekali. Kita berdua membangun dan mengejar sesuatu yang sebenarnya dengan keyakinan 100% tidak akan berhasil. Impian itu seperti menggantung di awan-awan tanpa tangga menuju ke sana. Tangga yang hanya kita bangun dan lihat dalam lamunanku dan lamunanmu. Setiap kali kita bersama, satu luka kita goreskan dalam hati kita masing-masing. Menyadari bahwa hari-hari kita bersama berkurang satu. Hanya dua tahun saja, sampai salah satu dari kita meninggalkan kampus ini. Bagaimana mungkin aku dan kamu bisa begitu dibutakan sampai rela menjalani hubungan tanpa tujuan? Mengapa kita begitu bodoh dan membuang-buang waktu yang sangat berharga hanya untuk memuaskan kerinduan hati yang sebenarnya tidak benar-benar ingin kita perjuangkan? Mengapa aku dan kamu harus menyimpan rahasia besar ini rapat-rapat sementara tatapan curiga selalu mengikuti kita? Untuk apa aku dan kamu menanggung beban yang tidak perlu? Mungkin kita berdua termasuk manusia dungu yang lebih bodoh dari seekor keledai. “Sudahlah, Liana, jangan menangis. Kita mengalir saja seperti air,” begitu kamu selalu menghiburku. Dan aku hanya bisa mengangguk putus asa. Air yang mengalir turun ke bawah kah? Atau hilir yang bisa kembali ke hulu?

 

Suatu hari aku mendapat ide cemerlang. Aku harus berjuang demi cinta ini. Aku tidak akan tinggal diam melihat diriku dan dirimu semakin hari menuju ke arah perpisahan. Aku akan membangun jembatan itu. Ya. Aku akan menjelma menjadi sang insinyur yang akan membangun jembatan untuk menghubungkan tebingmu dan tebingku. Tapi maaf, aku akan menghancurkan tebingmu. Aku harus memilih dua pilihan yang berat dan aku memilih untuk membawamu ke tebingku dan menghancurkan tebingmu. “Gus, bagaimana kalau kamu yang ikut aku?” tanyaku sambil berbaring di pangkuanmu. “Ikut kamu?” dengan wajah bingung dirimu balik bertanya. “Iya, daripada kita tidak punya masa depan, bagaimana kalau salah satu dari kita mengalah. Terus terang saja aku tidak bisa ikut kamu. Karena bagiku tebing tempaku berpijak adalah yang benar,” kataku berusaha merayumu. Kamu menggeleng-gelengkan kepalamu. “Aku juga tidak bisa mengikutimu. Bagiku tebingku juga yang benar,” jawabmu dengan mantap. “Lalu bagaimana dengan kita, dengan hubungan kita, masa depan kita?” aku bertanya sambil menahan tangis yang tiba-tiba menyesakkan dada. Kamu  membelai rambutku. Itulah yang selalu kamu lakukan untuk menenangkan hatiku yang resah. “Liana, aku mencintaimu apa adanya. Aku tidak ingin memaksamu untuk mengikutiku, tapi aku juga tidak bisa mengikutimu. Saat ini aku belum tahu apa yang harus kita lakukan.” Kamu berusaha menjawab dengan tenang walaupun ada kilatan luka yang tampak di kedua matamu yang teduh. Aku tidak dapat menahan lagi gejolak tangis di dadaku dan akhirnya aku tumpahkan di dadamu yang hangat. Kita sama-sama menangis. Menangisi cinta yang tidak bisa bersatu. Menangisi hari-hari kebersamaan kita yang semakin dekat pada ajalnya. Seperti seorang pasien dengan penyakit terminal dan semua dokter sudah  mengangkat tangan, aku dan kamu memandang masa depan cinta kita. Sejak saat itu aku dan kamu berhenti berusaha membangun jembatan itu. Kita berdua tetap berjalan pada tebing kita masing-masing sambil memandang satu sama lain dari kejauhan. Secara fisik aku dan kamu tidak bisa mengelak untuk bersama meski pun hati kita semakin hari semakin menjauh.

 

Akhirnya hari kematian pun tiba. Malaikat maut pencabut nyawa kebersamaan ini sudah datang dan menagih janji yang telah kita sepakati. Dua tahun berlalu seperti kilat saja kecepatannya. Rasanya baru kemarin kita merasakan benih-benih cinta tumbuh dalam hatiku dan hatimu. Menguncup, memekarkan bunga-bunga harum dan sekarang tiba waktunya untuk mongering, gugur ke tanah. “Terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini, maafkan semua kesalahanku, dan aku akan selalu mengingatmu, mengingat cinta kita.” Itulah kata-kata perpisahan yang kita ucapkan. Mataku dan matamu basah oleh air mata. Di dalam kamar kosmu kita memulai perjalanan singkat ini, di kamar kosmu pula kita mengakhiri semuanya. Walaupun kita sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari tetapi rasanya seperti berjuta sembilu menembus hatiku dan hatimu. Aku bisa melihat darah bercucuran di matamu. Dan kamu juga melihat mataku dengan luka menganga. Meski begitu aku dan kamu sudah ikhlas. Pasrah pada nasib yang ternyata tidak berpihak pada kita. “Kita berdua tidak jodoh,” kataku, “Semoga kamu bisa mendapatkan penggantiku yang lebih baik yang bisa berjalan di tebingmu,” ucapmu di antara isak tangis kita berdua. Dua tahun kita bersama dan ritual perpisahan kita dua jam lamanya. Aku menyusutkan air mata yang tersisa, berdiri, memandangmu untuk terakhir kalinya dan pergi berjalan menyusuri tebingku dengan perasaan kosong. Aku menyadari konsekuensi pilihanku untuk tetap berada di pijakanku. Kehilangan dirimu, kekasih pertamaku.

 

Manokwari, 20 Juli 2008, 18.50 WIT

 

Thursday, December 18, 2008

Mentalitas Anak Sekolah

Masih ingatkah kita semua akan masa-masa menjadi siswa atau mahasiswa? Ketika bapak atau ibu guru memberi tugas yang membutuhkan waktu beberapa hari/minggu/bulan kepada kita. Batas waktu untuk mengumpulkan hasil kerja kita sudah ditetapkan. Biasanya dan yang sering terjadi siswa menunda-nuda untuk mengerjakannya sampai 1 atau 2 hari sebelum batas waktu. Entah karena sibuk, atau malas, atau ilham baru muncul ketika dalam keadaan terdesak. Saya mengaku dulu pun sering melakukan hal itu. Hasil kerja yang kita serahkan biasanya asal-asalan, tidak ada nilai lebih apapun karena ketika mengerjakannya yang ada dalam pikiran kita hanyalah: yang penting dikumpulkan. Lebih parah lagi ada siswa/mahasiswa yang entah mengapa ilham tidak juga turun meskipun dalam keadaan terdesak, akhirnya mengambil jalan pintas………nyontek. Menyedihkan.

 

Tapi itu dulu ketika kita masih duduk di bangku sekolah. Eh, jangan salah, mentalitas seperti itu tetap ada dan semakin “kreatif” pada orang-orang dewasa terutama yang bekerja sebagai PNS (maaf bukan bermaksud menjelek-jelekkan suatu golongan, hanya menceritakan apa yang saya lihat). Suatu proyek, katakanlah pembuatan situs di tempat bersejarah. Proses berulang seperti waktu sekolah terjadi :

1)      Ada tugas dari pimpinan.

2)      Batas waktu diberikan.

3)      Karena “belanda masih jauh” belum ada tindakan apa-apa.

4)      Baru sadar ketika batas waktu sudah di depan mata.

5)      Perintah anak buah untuk bergerak walaupun tidak tahu mau bergerak ke mana yang penting ada hasil.

6)      Secara ajaib – entah bagaimana prosesnya – hasil sudah ada di tangan dan siap dikumpulkan.

7)      Lega…… toh yang penting ngumpulin. Urusan kualitas hasil kerja itu nomor kesekian.

 

Usia boleh bertambah. Jabatan bisa semakin tinggi tetapi mentalitas anak sekolah sepertinya sulit untuk ditinggalkan. Seharusnya sebagai orang-orang dewasa yang keputusannya memiliki efek jangka panjang, mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati dan pikiran itu wajib hukumnya. Kalau batas waktu tidak masuk akal silakan minta perpanjangan dengan alasan yang logis dan demi keberhasilan proyek itu sendiri. Tetapi sunggu disayangkan para bapak/ibu tersebut sepertinya tidak terlalu suka mendapat tugas, apalagi tugas yang berat. Lalu apa fungsinya menjadi PNS/abdi masyarakat? Bukan hanya untuk memakai seragam dengan segala atributnya dan upacara setiap Senin, datang ke kantor, terima gaji dan terima pensiun, bukan?

 

Sistem pendidikan kita bisa salah, lingkungan juga memberikan pengaruh buruk yang kuat tetapi marilah kita melatih diri sedemikian rupa sehingga menjadi lebih dewasa dan bertanggung jawab atas tugas-tugas kita sementara kita masih hidup di dunia ini. Jangan lupa akan ada Hakim Agung yang meminta pertanggungjawaban kita kelak. Hidup ini memiliki kesinambungan dan tidak berhenti ketika kita meninggal dunia. Jadi hiduplah dengan bertanggung jawab.

 

Dengan Kasih dari Hati

Pria Papua yang satu ini memang berbeda. Dari gerak-geriknya aku bisa menduga bahwa dia seorang yang rajin bekerja. Perut tidak buncit, tidak merokok, sinar matanya tajam, tutur bahasanya sopan dan tegas. Secara keseluruhan rapi.

 

Tadi pagi dia bercerita tentang prinsip hidupnya yang membuatku geleng-geleng kepala karena heran: ada ya orang Papua, PNS lagi, yang mempunya pikiran sangat sehat seperti itu. Dia berkata,” Saya dibayar karena kemampuan saya, bukan karena saya putera daerah.” Lalu bapak muda ini melanjutkan cerita mengapa dia sampai menjadi PNS padahal ketika bekerja sebagai marketing kontraktor besar, gajinya tidak bisa dibilang kecil. Alasannya ternyata sederhana tetapi berat: untuk mengabdi. “Kalau bukan kami sebagai putera daerah siapa lagi?” jelasnya.

 

Setelah menjadi PNS pun tidak serta merta dia bisa menikmati posisi barunya itu. “Dalam lingkungan PNS saya seperti jalan di tempat. Saya terbiasa dengan target yang tinggi dan ritme kerja yang cepat. Di sini jauh lebih santai. Tetapi saya harus belajar untuk menyesuaikan diri.”

 

“Saya tahu betul bagi teman-teman sesama PNS, yang mereka pikirkan hanya hari ini saya dapat uang berapa dan mau dibelanjakan untuk apa. Sampai ketika saya ditempatkan di distrik mereka bertanya kok saya mau berada di tempat “kering”. Saya berkata: Di mana pun Tuhan tempatkan saya, tempat “kering” bisa diubahkanNya menjadi tempat “basah”.”

 

Senyum terkembang dari bibir saya secara reflek. Saya kagum. Saya bangga. Saya terharu. Ternyata di tempat yang menurut survey memiliki tingkat korupsi paling tinggi se Indonesia masih ada orang yang mempunyai terang Tuhan dalam hatinya.

 

“Uang bukanlah solusi untuk kekurangan tenaga guru di pedalaman. Buktinya teman-teman saya di pelayanan PESAT rela mengajar anak-anak di kampung-kampung tanpa dibayar. Sedangkan tunjangan guru (sekali lagi PNS) sudah dinaikkan setiap tahun, tetapi tetap saja mereka minta dipindahkan ke kota.”

 

Saya terdiam dengan wajah penuh tanda tanya.  Kembali dia melanjutkan, “Semua itu tergantung ada tidaknya kita memiliki hati yang mengasihi orang-orang yang mau kita layani. Itu saja cukup.”

 

Saya setuju. Saya teringat ungkapan bijak yang mengatakan: Banyak kekuatan di alam semesta ini tetapi kekuatan yang terbesar adalah kasih. Dengan kasih rintangan bisa diatasi, gunung bisa didaki, sungai dan laut bisa diseberangi, dan jurang bisa dijembatani. Karena kasih adalah penggerak utama kehidupan ini. Adakah kasih yang menjadi motor hidup kita?

Wednesday, December 17, 2008

Posesif

“Saya dulu kuliah di sini aja, Bu,” jawab sang teller muda dan cantik ketika aku tanyakan di mana dia dulu berkuliah. “Enak ya, nggak perlu jauh-jauh kerjanya,” sahutku. “Memang saya tidak mau jauh-jauh. Tidak bisa jauh dari mama,” jelasnya sambil tersenyum. “Puteri satu-satunya ya, atau anak tunggal?” tanyaku lebih jauh. “Saudara saya ada empat, tapi saya puteri satu-satunya. Ini buku tabungannya, Bu, terima kasih,” katanya sambil menyerahkan buku tabunganku sekaligus menutup pembicaraan kami.

 

Sepanjang perjalanan pulang aku termenung memikirkan percakapanku dengan sang teller tadi. Aku teringat mama. Aku juga puteri satu-satunya mama, tidak ada yang lain. Karena itulah mama agak posesif terhadapku. Di mulai dari membatasiku keluar rumah dan berteman, sampai aku mau kuliah pun tidak diijinkan ke luar kota. Bagi mama, sangat penting untuk bisa melihatku setiap hari. Tapi akhirnya datang juga waktuku untuk pergi jauh dari mama. Ya, setelah menikah.

 

Sikap posesif mama membuatku tidak nyaman. Yang pasti pengalamanku bergaul jadi terbatas. Karena itu aku sering terlalu naïf dalam menilai orang lain. Yah……… itulah mama. Masalahnya sekarang aku merasa aku pun secara tidak sadar sudah meniru sifat posesif itu. Apa ini ‘penyakit keturunan’? Yang menjadi korbanku adalah…………suamiku, belum ada yang lain, karena aku belum punya anak. Mau tahu satu contoh dari sifat posesifku? Aku suka mengatur-atur apa yang boleh dan tidak boleh dimakan suamiku. Jika suamiku melanggar, maka aku akan mengkritiknya langsung. Dan masih ada lagi contoh-contoh yang lain. Hasilnya, suamiku merasa ‘tertindas’ dengan sikapku ini. Akhirnya bisa ditebak…… pemberontakan.

 

Kesadaranku baru muncul hari ini. Ketika tiba-tiba terlintas dalam pikiranku perumpamaan Anak yang Hilang (The Prodigal Son). Yang menarik hatiku adalah tokoh sang Bapa yang baik itu. Ada beribu alasan bagi sang Bapa untuk menjadi posesif terhadap anak-anakNya. Tapi apa yang dilakukanNya adalah menghormati pilihan si anak, melepaskan dengan hati yang tetap berharap dan terbuka bagi anakNya untuk kembali. Itulah hati Bapa di surge. Jika Bapa yang maha kuasa dan sang pencipta tidak posesif terhadap anak-anakNya, kenapa aku malah bertingkah-laku sebaliknya? Tidak, aku mau meneladani Bapa di surge. Aku mau tidak menjadi posesif terhadap apapun yang boleh aku miliki saat ini.

 

Syukur atas pencerahan yang membebaskanku dari belenggu sifat posesif.