Friday, March 30, 2012

NAMA LOUIS

Bayi kami baru saja diletakkan di perutku saat itu. Bidan Robin Lim sudah menutupi tubuh mungilnya dengan selimut. Sambil menunggu plasenta lahir Bidan Robin menyilakan suamiku untuk mengecek jenis kelamin bayi kami. Laki-laki. Lalu Bidan Robin bertanya tentang namanya. Suamiku mengaku masih bingung mau diberi nama siapa. Aku yang berbaring antara Bidan Robin dan suamiku langsung berkata,

Baby Louis
"I want to give him name Louis."

Ya, nama Louis sudah ada dalam pikiranku sejak beberapa bulan sebelumnya. Tetapi nama Louis ini bukan mengacu pada St. Louis karena aku sendiri belum pernah membaca sejarah hidup orang besar ini. Nama Louis yang menginspirasiku adalah seorang nenek berusia 85 tahun bernama Louise L. Hay, pemilik website Heal Your Life. Seandainya bayiku perempuan dia akan bernama Louise dan bila laki-laki, Louis.

Aku sangat mengagumi Louise L. Hay setelah membaca sedikit kisah hidupnya. Louise L. Hay mengalami masa kecil yang tidak mudah. Orang tua kandungnya bercerai ketika dia berusia 18 bulan. Lalu dia diperkosa ketika berusia 5 tahun. Ibu kandung dan ayah tirinya bukanlah orang tua yang lemah lembut. Dia sempat mengidap kanker. Sampai pada usia 40 tahun Louise L. Hay bertekad untuk mengubah hidupnya sehingga semakin tua usia semakin berlimpah hidupnya dengan kebaikan. Usia tua bukan lagi halangan untuk bertumbuh, dibuktikan pada usia 80 tahun dia mulai belajar menulis di blog. Ibu ini dikenal sebagai The Queen of Affirmations. Aku salah satu penggemar afirmasi-afirmasi yang dia bagikan setiap hari di website dan Facebook fan page.

Sejak mengenal Louise L. Hay, aku tidak lagi percaya bahwa usia muda adalah puncak kehidupan dan usia tua merupakan masa senja yang suram. Melihat hidupnya aku menjadi yakin bahwa semakin bertambah usia, seseorang bisa makin cemerlang. "The thoughts we think, the words we speak, the beliefs we accept, shape our tomorrows" itulah moto hidup Louise L. Hay.

Jika nama anak merupakan doa orang tuanya, maka doaku untuk Louis adalah agar dia bertumbuh menjadi seorang manusia yang mengerti bahwa kebahagiaan terletak pada dirinya sendiri, bukan pada orang lain dan keadaan, seperti yang diteladankan Louise L. Hay. 

Ternyata nama almarhum kakek suamiku Ert Louis. Beliau seorang petani cengkeh sukses dan pekerja keras di kampung Sonder, Sulawesi Utara. Semoga Louis-ku kelak adalah seorang pekerja keras dan mendapat keberhasilan sebagai buah pekerjaannya.




Thursday, March 29, 2012

MENABUR DAN MENUAI KEBAIKAN

Mbak Tini bekerja pada orang tuaku sejak Desember 1991 ketika kami mulai menempati rumah di Waru-Sidoarjo . Saat itu dia baru saja 'melarikan diri' dari perjodohan yang dipaksakan keluarganya. Dari awal bekerja, mamaku sudah merasa cocok dengannya sementara mama sendiri telah bertahun-tahun menjadi ibu rumah tangga tanpa pembantu. Pada saat mama meninggal dunia pada 28 Januari 2008, Mbak Tini sudah 18 tahun bekerja.

Dari cerita-ceritanya aku baru mengetahui bahwa Mbak Tini sangat menyayangi mama sehingga tidak pernah terbersit sedikit pun untuk keluar dan mencari majikan baru karena Mbak Tini merasa mamaku memperlakukannya dengan sangat baik. 

"Mama Dewi (begitu dia menyapa mamaku) itu selalu mengingatkan saya untuk makan meskipun Mama sedang berada di mall bersama teman-temannya. Saya merasa punya orang tua lagi," begitu kata Mbak Tini kepadaku.

Sekarang, ketika aku sementara 'menumpang' di rumah papa bersama Louis, Mbak Tini melayani kami dengan sangat baik. Aku benar-benar terbantu olehnya. Bukan hanya urusan makanan & pakaianku, Mbak Tini juga siap menggendong Louis jika menangis sementara aku masih di kamar mandi. 

"Karena Louis ini cucunya Mama Dewi maka saya sayang," kata Mbak Tini.

Mengamati Mbak Tini aku teringat pada hukum tabur tuai. Kebaikan yang ditaburkan mama kepadanya ternyata dituai olehku dan Louis. Mbak Tini memang tidak sempat merawat mama ketika terbaring koma di Samarinda setelah tertabrak sepeda motor. Dia menggantikannya dengan merawat anak dan cucu mama.  Aku semakin menyadari kebaikan yang dilakukan seseorang tidak pernah sia-sia. Bila bukan orang tersebut yang menuai pasti orang-orang terdekatnya yang akan menikmati buah dari kebaikan itu.

Tetaplah berbuat baik.

Remember there's no such thing as a small act of kindness. Every act creates a ripple with no logical end -Adams

Sunday, March 25, 2012

"BAYINYA SIAPA?"

Setelah 3 minggu berada di Surabaya, baru pagi ini aku membawa Louis jalan-jalan pagi mencari udara segar. Louis aku gendong menggunakan gendongan samping. Aku, masih dengan baju tidur batik, berjalan ke kompleks sebelah yang memiliki taman untuk umum. Sekitar 15 menit aku berjalan sementara Louis sudah pulas lagi dalam gendongan. Pada saat berjalan pulang, kami berpapasan dengan dua orang ibu yang sepertinya sedang berangkat bekerja. Salah satu ibu bertanya kepadaku,
"Bayinya siapa?"
Sedikit terkejut atas pertanyaan tersebut aku menjawab, "Bayi saya."
"Ooo, lucu ya, " kata ibu tersebut sambil berlalu pergi.

Pertanyaan ibu tersebut membuatku penasaran. Apakah penampilanku yang masih berbaju tidur batik itu mengigatkannya pada penampilan mbak-mbak babysitter atau memang tidak lazim seorang ibu menggendong bayinya sendiri sambil berjalan kaki di kompleks itu? Jika alasan pertama yang membuat si ibu bertanya aku terima nasib saja dianggap mbak babysitter (salah sendiri jalan keluar masih dengan baju tidur). Tetapi bila alasan kedua penyebabnya aku menjadi miris. Kompleks rumah ayahku ini memang termasuk milik golongan ekonomi menengah atas di mana sebuah keluarga mampu mempekerjakan seorang pengasuh bagi bayi atau balita mereka. Tetapi aku berpendapat bahwa bayi sangat merindukan dan membutuhkan pelukan ibunya dan salah satu cara yaitu dengan menggendong. Aku sendiri tidak keberatan sering menggendong Louis saat ini karena ini memang saatnya. Suatu hari nanti akan datang masanya Louis sudah tidak membutuhkan gendonganku lagi. Aku mau Louis semakin mengenal aroma yang menentramkan yaitu aroma tubuh ibunya.

drmomma.org
Sebuah artikel menarik berjudul Why African Babies Don't Cry mengatakan :
When I went home I observed. I looked out for mothers and babies and they were everywhere (though not very young African ones - those under six weeks were mainly at home). The first thing I noticed is that despite their ubiquitousness it is actually quite difficult to actually "see" a Kenyan baby. They are usually incredibly well wrapped up before being carried or strapped onto their mother (sometimes father).
Even older babies already strapped onto a back are then further protected from the elements by a large blanket. You would be lucky to catch a limb, never mind an eye or nose. It is almost a womb-like replication in the wrapping. The babies are literally cocooned from the stresses of the outside world into which they are entering.
Bayi-bayi Africa digendong oleh ibu atau ayahnya ketika mereka keluar rumah - bukan ditaruh dalam stroller lalu didorong oleh babysitter. Inilah yang membuat bayi-bayi Afrika tidak banyak menangis.

Menggendong bayi memang bisa melelahkan, aku tidak menyangkalnya. Tetapi jika dengan itu bayiku menjadi lebih tenang dan merasa aman, aku akan melakukannya dengan gembira. Karena masa-masa inilah secure feeling-nya terbentuk.

Para ibu dan ayah, bila Anda  menginginkan bayi atau balita Anda tumbuh dengan rasa aman dan keyakinan kuat bahwa ibu dan ayah mencintai mereka maka jangan segan untuk sering memeluk dan menggendong mereka. (Jangan kuatir tentang "bayi bau tangan", itu hanya mitos. Karena ada masanya anak Anda tidak mau lagi Anda gendong).