Wednesday, September 29, 2010

MARKISA PERTAMA BUAT GRACIELA

Graciela berjalan menuju dapur yang pintunya sedang terbuka karena melihat aku ada di sana.


"Tante Dewi, ada kue?" pertanyaan yang selalu dia tanyakan setiap kali berada di dapurku.


"Mau markisa?" aku menawarkan setumpuk buah markisa yang kami dapat dari seorang teman yang tinggal di Kampung Kwau di pegunungan Arfak.


"Enak kah tidak?" gadis kecil berusia 6 tahun itu ragu-ragu.


"Enak. Rasanya manis asam. Cara makannya begini, buka kulitnya lalu makan semua biji-bijinya," aku menerangkan sambil mempraktekkan.


"Graciela mau!" serunya saat melihat aku menikmati markisa itu.


Lalu dia mengambil sebuah lagi dan  merengek kepadaku,


"Tante Dewi, tolong buka, kah?"


"Buka sendiri."


"Graciela tidak bisaaaa, " rengeknya.


"Tekan kulitnya sampai pecah!"


Ternyata dia bisa membukanya dan mulai menikmati biji-biji bersalut itu sambil berjalan-jalan.


Beberapa saat kemudian Graciela datang kepadaku dan berkata,


"Tante Dewi, pinjam kaca kecil." Rupanya dia ingin melihat biji-biji  yang berada di lidahnya. Setelah puas berkaca gadis kecil itu pergi.


Tidak berapa lama dia kembali lagi.


"Mama juga mau makan markisa."


Aku segera mengambil 3 buah lagi dan menerangkan kepadanya,


"Ini satu buat mama, satu buat bapak, dan satu lagi buat kakak."


Sambil tersenyum, dengan tangan penuh buah markisa, Graciela meninggalkan dapurku untuk membagi kenikmatan buah markisa – yang baru pertama kali dirasakannya – kepada orang-orang yang paling dia sayangi, orang tua dan kakaknya.


Wednesday, September 22, 2010

SUATU SORE DI RUANG TUNGGU

Ketika aku memasuki ruang tunggu tempat praktek drg. Indah sore itu hanya
kulihat satu orang ada di sana. Seorang laki-laki sedang berselonjor di sofa
panjang dan menghadap sebuah televisi yang tengah menyiarkan sebuah film dari
HBO.


"Selamat sore!" sapaku

Laki-laki itu bergeming.

"Selamat sore!" sapaku sekali lagi.

Dia tetap diam tidak bergerak. Aku segera menyadari bahwa laki-laki itu bukan
sedang menonton televisi tapi sedang ditonton televisi alias tertidur.

Lalu aku melihat ke sekeliling ruang tunggu yang digabung dengan apotik itu
untuk mencari-cari manusia lain. Tidak ada seorang pun. Lalu aku melihat ada
sebuah pengumuman ditempel di dinding dekat pintu ruang praktek drg. Indah,
tepat di samping sofa panjang tersebut. Rupanya gerakanku mendekati pintu itu
membangunkan laki-laki tersebut. Dia terbangun dalam terkejut. Matanya masih
merah dan terburu-buru bangkit dari sofa.

"Selamat sore," kataku.

Aku mendengar laki-laki itu bergumam,"……….. dokter, ya?"

"Iya," jawabku karena aku pikir dia bertanya apakah aku akan bertemu drg. Indah.

Laki-laki itu segera menuju lemari dan mulai mencari-cari sesuatu. Rupanya dia
mencari kunci. Setelah menemukan kunci dia segera membuka ruang prakter drg.
Indah dan bergumam lagi,

"Perawatnya belum datang."

"Oh, iya," jawabku

"Sendiri?" dia bertanya padaku

"Iya, saya sendiri," sahutku dengan maksud bahwa aku sendiri yang akan berobat.

Kemudian aku menduduki sofa panjang tadi dan mengambil majalah yang terletak di
meja di sampingnya.

Tiba-tiba aku mendengar laki-laki itu berkata, "Saya kira Ibu dokter pengganti
drg. Indah. Karena drg. Indah berangkat ke Jakarta pagi ini."

"Hah? Bukan, saya mau kontrol," jawabku

Aku jadi berpikir hanya ada dua kemungkinan mengapa orang itu sampai mengira aku
dokter pengganti. Yang pertama karena penampilanku memang seperti seorang dokter
dan yang kedua – yang lebih masuk akal – orang itu nyawanya belum ngumpul semua
karena terbangun dengan kaget.

Friday, September 17, 2010

KETIKA SENJA

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 18.30 WIT
Ketika langit di atasku sudah menggelap
Ketika di sebelah barat sana masih bisa 'ku lihat secercah cahaya keemasan
Ketika alam perlahan berubah dari kondisi "yang" menjadi "yin"
Ketika kicauan burung mulai berganti kerikan jangkrik
Ketika bulan dan bintang-bintang mulai terbangun menggantikan mentari

Ketika senja telah tiba………..

Saat-saat itulah kerinduanku menyeruak kepada mereka yang 'ku sayangi
Yang berada di wilayah waktu Indonesia bagian barat
Karena tidak seutuhnya hatiku bisa aku pindahkan ke sini.

Tuesday, September 14, 2010

MENCEGAH LAHIRNYA SEORANG KORUPTOR

Pagi ini dua orang bapak yang pernah mencoba menyogokku tempo hari, datang lagi. Dengan tujuan yang sama mereka mau membeli buku Agama Kristen SD. Setelah
mendapatkan buku-buku yang mereka butuhkan dan ketika akan membayar, sekali lagi, mereka bertanya padaku, "Bisa kasih naik harga?" Hahaha… rupanya tidak
mudah putus asa juga mereka berdua. Aku sudah bisa menjawab dengan santai, "Tidak bisa. Ini sudah tertulis bahwa kami tidak bisa membuat nota kosong dan
mengubah harga buku," sambil menunjukkan selembar pengumuman yang aku tempel di monitor komputer kasir. Ternyata mempunyai peraturan tertulis itu memudahkan
aku sendiri. Karena aku tidak perlu lagi beradu urat leher seperti waktu pertama kali mereka datang. Hari ini kedua orang itu berbelanja Rp 81.000,-

Setelah mencetak faktur, men-stempel, dan menandatanganinya aku menyerahkan
faktur tersebut kepada salah seorang dari mereka. Mereka berdua masih belum
beranjak dari toko bukuku. Kelihatannya sedang memperbincangkan faktur tersebut.
Mereka berbicara dalam bahasa daerah tapi aku menangkap kata-kata "dua ratus
ribu", dan "tip-ex". Lalu aku mencoba menafsirkan pembicaraan yang tidak aku mengerti itu begini, mereka sepakat untuk menaikkan harga sampai dua ratus ribu rupiah dan akan menggunakan tip-ex untuk menghapus harga yang sebenarnya. Wuih, dari Rp 81.000,- bisa menjadi Rp 200.000,- itu kira-kira 150% mark up-nya. Kalau Rp 1 milyar di-mark-up 150% bisa jadi Rp 2.5 milyar. Hehehe… Pantas para koruptor kaya raya.

Sebenarnya aku sedih memikirkan kedua orang itu – para guru SD dari pedalaman -
sudah terbiasa melakukan korupsi. Tapi aku tidak bisa melarang mereka. Aku hanya bisa tidak mau membantu mereka, bahkan aku sudah berniat tidak akan meminjamkan tip-ex ku pada mereka seandainya mereka meminta. Aku meyakini bahwa dengan tidak mau membantu tindakan mereka itu, aku sudah mencegah lahirnya seorang koruptor baru, yaitu diriku sendiri.


Personally I don't think solving corruption is such a big problem. ~Imran Khan~