Monday, April 30, 2012

AKU YAKIN

Tidak seperti masa kehamilan dan melahirkan yang relatif mudah, menyusui merupakan proses yang cukup menantang bagiku. Ketika memutuskan untuk menyusui langsung bayiku, aku belum memiliki bayangan apa saja yang bakal ada di depan. Aku juga tidak banyak membaca tentang menyusui atau mengikuti kelas edukasi yang biasanya diadakan oleh AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia). Pikirku, proses menyusui sama alamiahnya dengan kehamilan dan melahirkan. Pasti aku tidak akan menemui kesulitan. Apalagi ketika masih di Ubud aku sering melintasi Monkey Forest dan melihat induk monyet yang sedang menyusui bayi monyet dengan mudah. Tentu bagiku akan sama mudahnya. 


Lalu tibalah saat menyusui dan tantangan pertama datang dari diriku sendiri yaitu aku merasa tidak nyaman harus membuka kancing baju dan mengeluarkan anggota badan (baca: payudara) di depan orang lain. Rasa tidak nyaman ini sangat mengganggu proses belajar menyusuiku dan Louis sepanjang bulan pertama. Bila Louis tiba-tiba menangis dan kami sedang berada di luar kamar atau di tempat umum aku menjadi sangat segan menyusuinya. Aku pikir demam yang aku alami setiap minggunya bersumber dari rasa tidak nyaman ini. Aku mulai bisa tidak menjadi malu menyusui Louis di depan orang lain ketika memasuki bulan ke-3. 


Setelah melahirkan aku merasakan perubahan hormon yang mempengaruhi emosi. Aku menjadi sangat sensitif terutama terhadap orang-orang yang ketika melihat Louis masih menangis setelah menyusu lalu berkata,"Susunya kurang itu. Harus ditambahkan susu kaleng (atau pisang)." Bagiku, kata-kata mereka yang sebenarnya diucapkan tanpa tendensi apa-apa, terasa begitu mengintimidasi. Sampai-sampai aku menghindar untuk bertemu mereka yang aku pikir bakal memberikan nasehat seperti itu. Termasuk ibu pemilik homestay tempat kami tinggal selama di Bali. Karena itulah aku berkeras segera pulang ke Surabaya. Aku tidak tahan bertemu dengan si ibu tersebut. Tetapi setelah tiba di rumah orang tuaku, aku masih bertemu nasehat yang tidak jauh berbeda. Aku benar-benar merana dan sendirian. Merasa tidak ada orang yang mau sepenuh hati mendukung tekadku memberikan ASI eksklusif bagi Louis. 


Rasa tidak nyaman, merana, kesepian, dan rasa-rasa negatif lainnya tanpa aku sadari menguasai diriku dan mulai mempengaruhi proses menyusui yang aku usahakan. Berat badan Louis tidak bertambah secara signifikan. Dr Bobbi, dokter akupunktur di Bumi Sehat, adalah orang pertama yang mengatakan bahwa aku nervous. Aku tidak bisa membantah. Saat itu aku memang a nervous mother. Nervous ini tetap terbawa sampai di Surabaya. Memasuki bulan kedua, Louis menolak menyusu di payudara kananku tanpa sebab yang jelas. Aku semakin down karena desakan untuk memberikan susu formula atau pisang bergema kembali. ASI-ku ikut terpengaruh kuantitasnya.


Sacred Tea
Di tengah-tengah kondisi down aku hanya bisa bertanya pada hatiku sendiri tentang apa yang harus aku lakukan. Aku percaya bahwa jawaban itu sebenarnya sudah ada. Aku hanya perlu mempertajam pendengaran batinku. Lalu muncullah kata Milmor, suplemen penambah ASI yang cukup terkenal. Tanpa menunda lagi aku segera memesannya dari apotek. Milmor cukup efektif menambah ASI. Tidak hanya berhenti di situ. Pencarianku akan suplemen penambah ASI membawaku pada keputusan membeli Sacred Tea secara online. Memiliki dua jenis suplemen penambah ASI di tangan belum juga membuat nervous-ku lenyap. 


Tanpa disangka seorang sahabat menyapaku di YM dan kami pun bertukar cerita. Dia mengatakan kepadaku bahwa apapun keputusan yang aku ambil, aku harus merasa nyaman dengan itu tanpa peduli pendapat orang lain. Sebuah pencerahan bagi hatiku yang sedang kelam. Sahabatku tersebut juga memiliki bayi dan dengan kesadarannya dia memutuskan untuk tidak memberi ASI tanpa peduli pendapat orang lain atas keputusannya itu. 


Segala 'permasalahan' yang aku hadapi dalam menyusui Louis ternyata bersumber pada hatiku sendiri. Aku sudah berhasil - walaupun terseok-seok - melewati 3 bulan pertama. Untuk berhasil melanjutkan sampai 6 bulan aku harus membereskan semua 'penyakit' dalam hatiku. Apalagi jika aku ingin bisa tetap menyusuinya sampai usia 2 tahun.


Sekarang tangisan Louis minta menyusu bukan lagi teror bagiku. Aku sudah bisa berkata dengan santai, "Susu formula adalah pilihan paling akhir untuk Louis." Tetapi perjalananku masih panjang. Entah apalagi tantangan yang akan hadir. Namun demikian hatiku sudah mantap, tanpa keraguan dan tiada lagi rasa tidak nyaman. Aku tahu tidak ada yang mustahil bagi orang yang yakin (percaya).