Tuesday, April 19, 2011

BATAS BENCI DAN CINTA


Batas antara benci dan cinta itu memang sangat tipis tetapi tidak mudah diseberangi  dengan menggunakan metode, trik, tip, teknik, atau sarana apa saja yang berasal dari logika manusia. Karena batas itu hanya bisa ditembus oleh hati yang sudah tercerahkan.-- T.R. Dewi, 2011

Sampai hari ini aku masih takjub dengan perubahan perasaanku terhadap iparku itu. Aku mencoba menyayanginya pada awal perkenalan kami, lalu berubah menjadi tidak suka padanya ketika semakin mengenal dia dan sekarang aku menyayanginya sejak melihat dan menggendong bayinya. Bukannya aku tidak berusaha mematikan rasa benciku. Sudah banyak kali aku berdebat dengan diriku sendiri. Setiap ada kesempatan untuk pengakuan dosa, selalu hal itu yang aku bawa di hadapan pastor. Tetapi semakin aku menekan rasa benci itu semakin kuat dia bertumbuh. Sampai-sampai aku merasa 'alergi' mendengar suaranya.

Ketika dia mulai hamil, aku memastikan dalam hatiku bahwa aku tidak akan dekat dengan anaknya seperti aku dekat dengan keponakan yang lain. Memang betul cinta tidak bisa dipaksakan tetapi ternyata juga tidak bisa ditolak kehadirannya. Pada saat aku memandang bayi mungil itu aku  jatuh cinta padanya dan cinta itu membasuh  semua rasa benci dalam hatiku.

Aku melihat bahwa iparku mengalami perubahan yang mirip denganku. Beberapa kali dia berkunjung ke toko buku dan membawa bayinya. Mengijinkanku menggendongnya sambil iparku itu bercerita tentang hari-harinya sebagai ibu baru. Aku melihat dia secara berbeda sekarang. Sebagai orang yang baru, untuk siapa pintu hatiku terbuka dan tersedia tempat baginya di dalam.

Bukan hanya dia yang aku lihat sebagai manusia baru tetapi aku juga melihat diriku sendiri sebagai manusia baru yang sudah bebas. Hatiku ringan dan lega karena sudah sembuh dari kebencian yang membelenggu dan membuatnya sakit. Disembuhkan oleh cinta yang  memerdekakan dan memulihkan.

Monday, April 11, 2011

MENTALITAS KEKURANGAN


Semakin hari semakin tak terhitung tayangan iklan yang mendominasi televisi-televisi swasta di Indonesia. Produk yang ditawarkan memang bermacam-macam tetapi hanya ada satu pesan yang disampaikan yaitu Anda kekurangan.
Kurang apa diri saya?
Kurang putih (produk pemutih kulit), kurang enak bau badannya (produk deodorant), kurang indah rambutnya (produk sampo dan pelembut rambut), kurang cerdas anak-anaknya (produk susu), kurang mulus kulit wajahnya (produk sabun wajah), kurang awet muda (produk krem anti penuaan), kurang bagus mobilnya (produk otomotif), kurang laju sepeda motornya (produk sepeda motor), kurang murah tarif pulsa HP nya (produk dari provider telekomunikasi), kurang terjamin masa depannya (produk asuransi), dan kurang-kurang lainnya.
Biasanya, saya hanya bisa menyediakan waktu 1 jam saja untuk menonton suatu acara, di mana kurang lebih 30 menit diisi dengan iklan. Berarti 30 menit dalam sehari saya diindoktrinasi dengan mentalitas kekurangan itu. Seminggu = 4.5 jam indoktrinasi, sebulan =18 jam indoktrinasi, setahun = 216 jam indoktrinasi.  Sementara saya sudah menonton televisi selama 20 tahun. Mereka mengindoktrinasi saya tentang kekurangan tanpa saya diberi kesempatan untuk membantah. Saya hanya bisa menelan saja.  Lalu perlahan-lahan saya mulai mempercayai doktrin tersebut. Saya memang kekurangan. Saya harus berusaha menutupi kekurangan-kekurangan itu dengan produk-produk yang mereka tawarkan. Sepertinya setelah itu saya akan bahagia dan tidak merasa kekurangan lagi. Itu janji mereka, kan?
Saya terbelenggu, terpenjara dalam mentalitas kekurangan dan terus-menerus merasa menderita sampai suatu saat  pintu penjara hati saya terbuka dan cahaya terang pencerahan  masuk menyinari diri saya dan membuat saya menyadari bahwa sebenarnya saya hanya kekurangan 1 hal saja, tidak lebih,  yaitu kurang mampu menikmati apa yang ada.
Kemudian saya membayangkan, seandainya televisi di Indonesia didominasi dengan tayangan iklan yang berisi dorongan untuk menikmati pantai-laut-gunung-hutan-danau-lembah- padang rumput-air terjun-sungai-flora-fauna yang ada di Indonesia, makanan khas Indonesia, tarian asli Indonesia, lagu-lagu rakyat Indonesia, produk-produk kerajinan lokal, warna kulit asli penduduk daerah tropis, sifat ramah dan kekeluargaan yang dulu dikenal oleh para penjelajah samudera dari Eropa....... ah, apa jadinya negara ini 20 tahun mendatang, ya? Masih adakah mentalitas kekurangan yang sekarang begitu mendominasi rakyat negeri ini?


Jika Anda menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh, Anda hanya membutuhkan sedikit. – Anthony de Mello

Foto karya : Aan P. Nirwana

Friday, April 8, 2011

DIKTATOR DALAM DIRIKU

Membaca kata diktator membuatku membayangkan beberapa wajah seperti Ferdinand

Marcos, Soeharto, Musolini, Hitler, dan yang sedang populer sekarang Moammar Khadafi. Mereka disebut diktator karena beberapa alasan. Yang pertama mereka memegang kekuasaan untuk waktu yang lama. Kedua, mereka menggunakan kekuasaan itu untuk keuntungan diri dan keluarga mereka sendiri. Ketiga, mereka enggan turun dari tahta dan mereka tidak segan-segan menghabisi nyawa orang-orang yang mencoba mengusik kekuasaan mereka. Ada satu kesamaan universal dari para diktator tersebut, yaitu mereka jago memaksa. Tentu saja aku pribadi, sama seperti semua orang yang lain, tidak menyukai para diktator dan mendukung orang-orang yang berusaha mengakhiri kekuasaan mereka.

Seandainya.... seandainya lho..... aku ditakdirkan menjadi seorang pemimpin suatu negara, apakah aku juga mempunyai kecenderungan untuk menjadi diktator? Oh, pasti tidak! Jawabku mantap. Tunggu dulu......bukankah kadang-kadang aku juga suka memaksakan kehendakku kepada orang lain? Di atas tadi aku sendiri mengatakan bahwa sifat dasar seorang diktator adalah jago memaksa. Hehehe... iya ya.

Dalam bukunya yang berjudul Awareness, pada bab yang berjudul Keinginan untuk Mengubah Sebagai Suatu Keserakahan, Anthony de Mello mengatakan bahwa kita semua pada dasarnya memiliki sifat diktator. Sifat ini muncul ketika kita dengan segala macam cara berusaha untuk memaksakan sesuatu pada orang lain. Beliau memberi contoh : Pada saat seorang teman tidak lagi suka bersama kita, maka kita menjadi marah dan mengatakan teman tersebut egois, mementingkan diri sendiri, karena telah meninggalkan kita. Anthony de Mello menanyakan, siapa sebenarnya yang egois? Teman tersebut bukan egois, tetapi dia sedang jujur pada dirinya sendiri dan kita bahwa kebersamaan dengan kita sudah tidak dapat dinikmatinya. Yang egois adalah diri kita. Karena kita menuntut teman tersebut untuk tetap menikmati kebersamaan dengan kita karena kita masih menikmati kebersamaan dengannya. Kita menuntut orang lain untuk hidup dengan cara seperti yang kita anggap sesuai untuknya. Di mana sebenarnya cara hidup “yang sesuai untuknya “ itu adalah sesuai dengan seleraku, atau untuk kebanggaanku, atau untuk keuntunganku, atau untuk kesenanganku. Miripkan dengan para diktator itu?

Baik, Pastor de Mello , contoh Anda sangat jelas bagi saya. Dan tiba-tiba aku teringat akan semua “kediktatoran” yang pernah aku lakukan pada keluarga dan teman-teman dan juga “kediktatoran” yang pernah mereka lakukan padaku. Ternyata kami adalah sekumpulan diktator yang berusaha saling menguasai. Pantas saja dunia ini sulit menjadi damai.

Bersediakah aku melepaskan sang diktator dalam diriku agar aku bisa menikmati damai?

Berhentilah menjadi seorang diktator. Berhentilah memaksakan diri Anda untuk mendapatkan sesuatu. Kemudian pada suatu saat Anda akan mengerti bahwa hanya dengan "menyadari" Anda sudah mencapai apa yang Anda usahakan mati-matian. -- Anthony de Mello, S.J.

Sunday, April 3, 2011

ENERGI SEORANG BAYI


Beberapa menit sebelum memasuki kamar mereka, aku masih merasakan keengganan karena perasaan tidak suka kepada adik iparku yang - rasanya - sudah berurat akar dan sulit sekali aku hilangkan. Tetapi aku harus masuk untuk menjenguk dia dan bayi yang baru dilahirkannya 5 hari yang lalu - demi kesopanan. Ketika pintu kamar itu terkuak, aku merasakan suasana yang lain, ketenangan dan cinta. Aku melihat iparku itu sedang berbaring di ranjang sambil menyusui bayinya. Seorang bayi mungil, masih merah, sedang menyusu dengan tenang, dan sesekali tangan serta kakinya yang kecil bergerak-gerak.

Mataku tidak bisa lepas menatap makhluk mungil itu. Semakin lama aku menatapnya, aku bisa merasakan semakin berkurang rasa tidak sukaku pada ibunya dan akhirnya hilang menguap seperti asap. Adik iparku bercerita tentang proses kelahirannya yang lebih awal satu bulan dan ASInya yang baru lancar hari itu. Biasanya, aku tidak tahan berlama-lama berada di dekatnya. Tetapi hari itu, aura sang bayi yang penuh cinta telah mengalahkan semua energi negatif yang terjadi di antara aku dan ibunya.

Ketika kembali ke rumah, aku tergerak membuka-buka file e-book merajut untuk pakaian bayi. Aku merasa ingin memberikan sesuatu bagi keponakan baruku itu. Bayi itu, dengan segala kepolosan dan kelemahannya, sudah membangkitkan rasa sayangku. Aku baru menyadari ternyata energi seorang bayi memang luar biasa untuk menghilangkan kebencian.