Thursday, September 24, 2009

Doa Pagi

Sudah seminggu ini sejak hari Senin aku pergi ke gereja – di dekat rumahku - pada pukul 06.00 WIT dan kembali ke rumah pukul 06.30 WIT. Jika ada misa aku ikut. Tetapi jika tidak ada misa aku ber-Rosario di gua Maria. Alam di sekitarku masih sunyi dan sejuk. Hanya terdengar kicauan burung sementara matahari baru menampakkan terangnya yang lembut.

Hatiku terpanggil untuk mendekat pada Tuhan bukan karena aku sedang menginginkan sesuatu. Aku hanya ingin dekat denganNya. Ingin mengerti isi hatiNya. Supaya aku bisa mengikuti rancangan-rancanganNya yang bagaikan langit dan bumi dengan keinginan hatiku.

A Morning Prayer

By Lisa TerKeurst

Lord, may nothing separate me from You today.

Teach me how to choose only Your way today so each step will lead me closer to You.

Help me walk by the truth and not my feelings.

Help me to keep my heart pure and undivided.

Protect me from my own careless thoughts, words and actions.

And keep me from being distracted by MY wants, MY desires, MY thoughts on how things should be.

Help me to embrace what comes my way as an opportunity...rather than a personal inconvenience.

And finally, help me to rest in the truth of Psalm 86:13a, "Great is your love toward me."

You already see all the many ways I will surely fall short and mess up.

But right now, I consciously tuck Your whisper of absolute love for me into the deepest part of my heart.

I recognize Your love for me is not based on my performance.

You love me warts and all.

Have mercy, that's amazing.

But what's most amazing is that the God of the Universe, the Savior of the world, would desire a few minutes with me this morning.

Lord, help me to forever remember what a gift it is to sit with You like this. Amen.

Wednesday, September 23, 2009

Bisa Memasak Itu Anugerah

Memasak adalah suatu pekerjaan yang mampu menghadirkan keajaiban. Dari bahan baku mentah yang sangat sulit untuk dikonsumsi langsung, manusia bisa mengubahnya menjadi hidangan yang mengundang selera. Seperti siang itu, aku duduk di meja makan, menatap ikan goreng, sup brenebon, tumis kangkung, dan sambal terasi yang lahir dari tangan-tanganku. Walaupun sudah bisa menduga bagaimana hasil akhir dari masakanku, aku tetap saja tertegun kagum ternyata aku salah satu dari pembuat keajaiban itu.


Belajar memasak adalah proses yang mendewasakan bagiku karena di dalamnya terdapat air mata kesedihan, kekecewaan, sakit hati, kegembiraan, antusiasme, dan kebanggaan. Entah mengapa almarhumah ibuku tidak mendekatkan aku pada dapur. Seingatku, ibu selalu berusaha memasak bagi kami sekeluarga setiap hari. Bahkan di hari-hari istimewa ibuku membuat cake yang lezat. Ketika aku masih di sekolah dasar, aku senang membantunya memasak atau membuat kue. Semakin dewasa aku semakin jarang masuk dapur. Mula-mula disebabkan oleh jadual sekolah, kuliah, dan pekerjaan yang begitu menyita waktuku sehingga aku hanya ingin makan dan beristirahat begitu tiba di rumah. Rupanya ibu menganggap bahwa perempuan yang bisa mengenyam pendidikan universitas dan bekerja di kantor tidak harus bisa memasak karena masuk dapur identik dengan kulit tangan kasar dan kuku kusam. Saat itu aku setuju.


Aku tidak merasa ketidakmampuanku memasak merupakan suatu kekurangan yang harus aku perbaiki karena selama ini teman-temanku juga tidak ada yang jago memasak. Semuanya jago makan saja. Aku juga tidak pernah menutupi bahwa aku belum bisa memasak. Termasuk kepada mantan pacarku (yang sekarang jadi suamiku) aku berterus terang. Saat itu dia hanya menjawab : kamu kan bisa learning by doing. Ah, kata-katanya seperti embun sejuk di pagi hari. Aku tidak tahu pasti apakah dia memang yakin aku bakal bisa memasak ketika sudah menjadi istrinya atau hanya untuk menghibur diriku. Tetapi dia belum menyadari kata-kata itu membawanya menjadi ‘kelinci percobaan’ rasa masakanku di kemudian hari.


Tahun-tahun awal pernikahan kami habiskan di kota Malang, Jawa Timur. Kami tinggal dekat sebuah sekolah tinggi ilmu ekonomi dan kompleks sekolah katolik di mana warung-warung makan tersebar di berbagai penjuru. Aku sudah mulai belajar memasak dari majalah dan buku-buku resep. Tetapi sering kali masakanku tidak lolos sensor lidah suamiku. Jika sudah demikian dia akan mengajakku makan di warung atau depot atau restoran kalau kami baru gajian. Untung harga makanan di Malang termasuk murah meriah. Sambil makan biasanya aku berpikir kenapa aku masih gagal menghasilkan masakan yang enak padahal semua langkah di buku resep sudah aku ikuti sampai titik komanya? Belakangan baru aku ketahui bahwa buku-buku resep, mayoritas, diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah terbiasa memasak bukan untuk pemula sepertiku. Banyak trik-trik dan sifat-sifat bahan makanan yang belum aku pahami. Seperti ketika aku mencoba resep nasi goreng selalu terjadi salah satu dari dua hal ini: nasi terasa basah karena minyak goreng kebanyakan atau nasi kering sampai lengket di wajan. Masakanku tidak bisa masuk ke mulut tapi masuk ke tong sampah. Seharusnya aku melihat secara langsung orang memasak terlebih dulu sebelum mempraktekkannya.


Karena satu dan lain hal suamiku memutuskan bahwa kami harus pindah ke kampung halamannya, Manokwari. Tinggal bersama ayah, ibu, kakak, kakak ipar, dan adik-adiknya. Ditambah sepupu dan pekerja, orang-orang di rumah ini kira-kira ada 10 jumlahnya. Ibu mertuaku jago masak. Adik perempuan suamiku yang lebih muda 8 tahun dariku sudah terbiasa memasak untuk banyak orang. Istri kakak iparku juga bisa diandalkan dalam memasak. Di samping itu pembantu rumah ini yang datang dari kampung di Minahasa sehari-hari bertugas memasak. Semua wanita di rumah tidak menemui kesulitan dalam menyiapkan makanan, kecuali aku. Kenyataan ini membuatku terserang rendah diri akut. Aku semakin takut masuk dapur. Ibu mertuaku tidak terlalu mempermasalahkannya karena beliau mengerti latar belakangku tetapi pandangan dan komentar merendahkan sering terlontar dari pihak ipar-iparku. Seolah-olah aku hanya menjadi benalu di rumah. Tukang makan tapi tidak mau memasak. “Dewi memang perempuan intelek, tapi kalau tidak bisa masak buat apa.” Sebenarnya aku ingin belajar memasak dari mereka tetapi aku terlalu malu jika sampai melakukan kesalahan di depan mereka. Aku berharap memiliki dapur sendiri supaya aku bisa belajar memasak tanpa takut dicemoohkan.


Rupanya Tuhan mendengar doaku. Akhirnya aku dan suamiku menempati bagian rumah yang terpisah lengkap dengan dapur dan kamar mandi sendiri. Aku bersorak kegirangan. Tiba-tiba aku menjadi ratu di dapurku sendiri. Aku mulai mempraktekkan resep demi resep. Kesalahan demi kesalahan aku lakukan tetapi aku tahu bahwa dalam memasak berlaku practice makes perfect. Jika masakanku kurang berkenan di lidahnya, suamiku hanya meminta menu tambahan semangkuk mie instan. Apapun rasa masakanku, rasa mie instan bisa menutupi kekurangannya. Semakin lama, permintaan tambahan mie instan semakin berkurang karena aku semakin mengenal seleranya. Saat-saat memasak membuatku mampu melupakan waktu yang berlalu seolah-olah aku sedang mengadakan percobaan di laboratorium sains. Ilmu kimia, fisika, matematika, biologi, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris bisa diterapkan di dapur. Jika ditambah dengan semangat mengekplorasi dan kreativitas maka jadilah keajaiban yang memberi sensasi di lidah dan menguatkan badan. Buku-buku resepku sudah cukup banyak. Melaluinya aku belajar membuat masakan Manado, masakan Jawa, Chinese food, kue-kue tradisional dan masakan-masakan yang aku tidak ingat asalnya. Sekarang waktu yang aku butuhkan untuk memasak kian singkat. Jika dulu aku harus membaca resep berulang-ulang agar mengerti – ini yang menghabiskan waktu - sekarang aku hanya membaca tiga kali untuk resep baru, satu kali untuk resep yang sudah pernah aku praktekkan dan tidak perlu membaca lagi untuk masakan yang sering aku masak.


Aku bersyukur, walaupun agak terlambat, aku bisa memasak. Kemampuan memasak sangat tinggi nilainya di kota Manokwari. Tidak heran jika harga makanan di warung kecil bisa dua kali lipat harga di Jawa. Aku mendisplin diriku untuk memasak setiap hari karena dengan memasak aku mendapatkan keuntungan ganda yaitu penghematan dan bertambahnya kebanggaan diri. Aku akan memasak sampai tua karena bisa memasak itu anugerah.

PRESTASI

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa bangun pagi dengan hati bersyukur

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa semakin mengasihi diriku sendiri

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa mengarahkan pikiranku pada kebajikan

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa melayani keluargaku dengan kasih

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa mengerjakan tugas-panggilanku dengan gembira

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa menyayangi orang lain sebagaimana adanya mereka

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa menjawab dengan sabar orang yang sedang marah

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa menggunakan uang secara bijaksana

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa merasakan keajaiban-keajaiban kecil yang hadir setiap hari

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa tidak gugup, marah, atau sedih melihat orang lain mendapatkan apa yang aku sendiri inginkan

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa memaafkan masa lalu, mensyukuri hari ini, dan mengharapkan yang terbaik pada hari esok

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa tidak membandingkan diriku dengan siapapun juga

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa menemukan diriku lebih baik daripada diriku sebelumnya

Bagiku adalah sebuah prestasi

Jika aku bisa merasakan bahwa Tuhan sayang padaku

Saturday, September 19, 2009

Mutiara Hidupku

Orang-orang yang biasa aku temui sering kulihat memiliki kegelisahan. Ketidaktenangan jiwa yang berusaha mereka tenangkan dengan berbagai rutinitas dan kesibukan sehari-hari. Jika sedang bekerja, mereka berharap akhir pekan segera tiba. Ketika berada di akhir pekan pun orang-orang itu tidak terlalu menikmati karena besok sudah harus bekerja kembali.

Liburan panjang adalah hari-hari yang mereka tunggu. Banyak rencana yang sudah dibuat untuk menyegarkan kembali jiwa dan raga setelah penat dan jenuh bekerja. Tetapi ketika hari-hari libur itu tiba dan berlalu dengan kecepatan yang tidak pernah diduga, kesegaran jiwa dan raga tidak jua dicapai. Yang ada hanyalah kelelahan karena baru pulang dari bepergian ke tempat-tempat yang jauh.

Pekerjaan yang mereka jalani sekarang bagi mereka adalah pekerjaan ‘terpaksa’ yang suatu saat akan mereka tinggalkan jika : mendapat pekerjaan yang membayar mereka lebih baik, pensiun, PHK, atau mati. Sungguh suatu kondisi yang menyedihkan, orang-orang ini menyerahkan 8-9 jam waktu mereka dalam sehari untuk suatu kegiatan yang sebenarnya tidak ingin mereka lakukan. Apa bedanya dengan kerja paksa di jaman penjajahan ya? Ada beberapa orang yang berani mengambil tindakan ekstrim dengan tetap dalam kondisi sebagai ‘pengacara’ a.k.a pengangguran banyak acara dengan alasan belum mendapat pekerjaan yang sesuai minat mereka. Biasanya yang termasuk dalam golongan ini adalah para lajang atau suami istri yang pasangannya juga bekerja dan belum memiliki anak-anak atau orang-orang yang memiliki orang tua murah hati yang tidak berkeberatan ditumpangi tidur dan makan.

Setiap hari mereka bangun dengan kekesalan di hati karena harus pergi ke tempat dan mengerjakan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu mereka minati. Mereka menggunakan rasa tanggung jawab kepada keluarga sebagai pendorong yang membuat mereka mampu bangun dari ranjang dan segera bersiap untuk bekerja. Meskipun dalam hati mereka berharap bahwa anak-anak segera dewasa dan mandiri sehingga mereka tidak perlu lagi bekerja keras membiayai anak-anak itu.

Jawaban dari pertanyaan : di mana aku mendapatkan kepuasan hidup? terus-menerus berdengung dalam hati orang-orang malang ini. Mengapa tidak ada tempat yang bisa membuat mereka benar-benar hadir tubuh, jiwa, dan roh seutuhnya sehingga mereka tidak lagi memimpikan negeri di awan yang lain? Salah satu dari orang-orang itu adalah aku.

Pada saat aku berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana teknik seharusnya aku puas. Tetapi kenyataannya aku merasa kosong dan tidak memiliki kemampuan apa-apa untuk bekerja di bidang ini. Seperti para sarjana yang lain aku mulai mengirimkan CV dan surat lamaranku ke berbagai perusahaan yang menayangkan iklan lowongan kerja mereka. Ketika mendapatkan pekerjaan itu aku hanya merasa senang sekitar 4-6 bulan. Setelah itu rasa jenuh mulai merasuki hatiku dan aku kembali bertanya : adakah tempat yang lebih baik di luar sana? Aku kembali mengirimkan CV dan surat lamaran ke institusi lain. Walaupun akhirnya aku berhasil pindah, siklus kejenuhan itu kembali melanda. Bagaikan hidup dalam kutukan yang aku tidak tahu kapan akan berakhir. Aku bekerja karena aku merasa harus membiayai hidupku sendiri agar orang lain tidak memandang rendah diriku. Meskipun ruang kosong dalam hatiku terus-menerus menganga, haus akan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu bagaimana memuaskannya.

Saat ini aku mengelola sebuah toko buku kecil (berukuran 6 x 10 m), di sebuah kota kecil (berpenduduk sekitar 150.000 jiwa), di daerah yang bisa digolongkan terpencil di wilayah Indonesia (Manokwari, Papua Barat). Sebuah pekerjaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku bekerja mulai jam 09.00 – 13.30 WIT dan dilanjutkan pukul 16.00 – 21.30 WIT didampingi pasangan hidupku. Dari Senin sampai Sabtu dilanjutkan hari Minggu buka sore hingga malam saja. Suatu durasi kerja yang melampuai jam kerja standard para karyawan. Tidak ada istilah libur akhir pekan, libur lebaran, libur natal – tahun baru, libur imlek, libur paskah dan libur-libur yang lain. Toko kami buka terus. Tetapi aneh bin ajaib aku, pribadi, tidak merasa jenuh dan penat. Aku betah berjam-jam di toko, mengelap debu yang menempel di buku-buku, mengatur susunan buku-buku di rak sambil berdoa untuk buku-buku yang sudah lama terpajang di rak tetapi belum laku - seolah-olah aku berdoa bagi gadis-gadis agar segera mendapatkan jodoh mereka. Aku menikmati sebagai kasir melihat pengunjung menemukan buku-buku yang mereka butuhkan dan membayar tanpa ragu-ragu agar bisa membawa pulang sumber pengetahuan tersebut. Sering ku dapati diriku tersenyum kegirangan ketika berkoli-koli buku baru tiba. Sementara aku membuka karton-karton besar itu aku seperti membuka kotak ajaib yang akan memunculkan berbagai kejutan. Aku bersyukur karena saat ini aku bisa membeli buku dalam jumlah besar, membaca yang ingin aku baca, dan tetap bisa menghidupi diriku serta keluargaku. Pada saat aku bekerja di toko buku aku merasakan Sang Pemberi Hidup Maha Bijaksana hadir yang secara ajaib memberitahukan apa yang penting untuk aku lakukan pada hari itu dan mengingatkan aku ketika ada langkahku yang salah. Aku menemukan surga yang tidak perlu ku cari kemana-mana. Bagiku inilah pekerjaan yang ingin aku lakukan sampai kapan pun tanpa ingin mencari yang lain. Kekosongan yang menganga dalam jiwaku lenyap sudah. Apakah ini panggilan hidupku? Aku yakin inilah tugas dan pelayanan yang harus aku kerjakan seumur hidup. Aku merasa beruntung karena aku telah menemukannya walau membutuhkan 16 tahun bagiku untuk mendapatkan mutiara ini. Permata yang terlalu berharga untuk aku sia-siakan.