Thursday, July 29, 2010

Bagai Asap Dupa

Dirimu bagai asap dupa
Memenuhi seluruh rongga dadaku
Menyesakkan tetapi harum
Membuatku bertahan untuk tidak berlalu

Aku akan tetap di sini
Menutup mata dan terus bernapas
Untuk menikmati wangimu
Walau itu membuatku sesak

Aku tidak ingin mengusirmu
Aku juga tidak ingin menjauh darimu
Biarlah angin yang mengusirmu
Biarlah kamu meredup dengan sendirinya

Tuesday, July 27, 2010

Backpackers

Kata ini mulai aku kenal ketika aku membaca cerita-cerita perjalanan. Tetapi
siang ini aku mendapat kesempatan berkomunikasi langsung dengan 2 orang
backpacker dari Eropa – Igor dan Sien. Mereka baru turun dari KM SInabung yang
berlayar dari Bitung ke Manokwari tadi pagi. Igor dan Sien datang ke toko buku
untuk mencari informasi tentang rute perjalanan ke gunung Arfak secara lebih
mendetail daripada yang mereka baca di http://manokwaripapua.blogspot.com.
Mereka masing-masing membawa ransel setinggi setengah dari ukuran badan mereka
yang kelihatan berat dan bau. Meskipun begitu semua barang yang mereka simpan
dalam ransel selalu dilapisi dengan plastik atau dimasukkan dalam kantong
plastik.

Igor sudah berada di Indonesia sejak 8 bulan yang lalu sedangkan Sien telah 1
tahun berkeliling Indonesia. Mereka sama-sama mau menjadikan Papua sebagai rute
terakhir perjalanan mereka sebelum pulang ke Eropa. Suamiku sibuk menjelaskan
perjalanan ke gunung Arfak menggunakan Google Earth karena peta yang mereka
miliki informasinya kurang memadai. Sementara aku lebih tertarik menanyakan
perjalanan yang sudah mereka lalui. Hal terburuk yang pernah dialami Igor adalah
kehilangan tas dan seluruh barang bawaannya ketika menumpang truk di Bima (NTB)
sedang Sien pernah terjangkit TBC saat berada di Jakarta. Tetapi Sien
memperkirakan penyakit itu didapatnya ketika berada di Kamboja. Mereka berdua
sudah fasih berbahasa Indonesia yang mereka pelajari dari jalanan.


Sebagai backpacker sejati, Igor dan Sien tidak mau menginap di hotel. Mereka
membawa tenda dan berencana untuk bermalam di sekitar hutan dekat kampus
Universitas Negeri Papua. Untuk transportasi mereka hanya mau naik kapal,
kendaraan umum atau menumpang truk. Aku terheran-heran mendengar ini, ternyata
ada orang bule yang mau menjalani hidup sengsara seperti itu :p.

Igor mengatakan bahwa mereka tidak makan hewan ketika suamiku menceritakan
tentang lobster yang ada di daerah Pantura Manokwari. Alasannya sederhana tapi
cukup mengejutkan. Katanya,"Karena mereka saudara. Semua makhluk hidup yang
mempunya mata adalah saudara, jadi tidak boleh saling memakan."


Untuk turis-turis asing yang hendak menjelajahi Papua, mereka harus memiliki
Surat Keterangan Perjalanan dari Kepolisian, hal yang tidak akan diminta di
daerah lain di Indonesia. Suamiku membantu mereka mempersiapkan kelengkapan
administrasi yang diperlukan untuk mendapatkan Surat Jalan itu dan beberapa jam
kemudia Igor dan Sien kembali lagi ke toko buku dengan Surat Jalan di tangan dan
sekantong gorengan yang mereka mau bagi untuk kami. Kata mereka polisi tidak
meminta uang untuk pembuatan Surat Jalan tersebut. Mungkin polisi juga merasa
kasihan melihat penampilan mereka yang kumal. Ayah mertuaku berbaik hati
menyediakan kamar kosong untuk mereka tidur malam ini setelah suamiku berkata
bahwa mereka berdua tidak mempunyai uang untuk membayar penginapan.


Aku juga menyukai travelling, tetapi jika aku harus menjadi backpacker seperti
mereka rasanya aku akan berpikir seribu kali dulu. Alasannya ada 2, pertama tas
ranselnya terlalu berat bagiku, dan kedua aku merasa kasur di rumah masih lebih
enak…:)

Tuesday, July 20, 2010

Ternyata Dapurnya Tidak Memenuhi Syarat

Miris hatiku melihat Ridho yang baru berusia 4 tahun harus mengalami luka bakar
pada wajahnya dan kemungkinan besar tidak bisa dipulihkan lagi akibat ledakan
gas elpiji 3 kg. Begitu juga dengan seorang bapak di Kemayoran yang kehilangan
istri dan anak-anaknya karena ledakan gas elpiji 3 kg (lagi). Aku mengetahui
semuanya itu dari acara Apa Kabar Indonesia Malam di saluran TVOne. Sang
reporter berusaha merekronstruksi kejadian ledakan tersebut dengan memasuki
rumah korban dan dapur tempat tabung elpiji berada ketika peristiwa naas itu
terjadi. Akhirnya sang reporter memutuskan untuk tidak memasuki dapur karena
merasa dapur itu terlalu sempit.


Secara pribadi, aku tidak berani memastikan apakah memang ada kesalahan di
tabung elpijinya atau kesalahan pada orang yang menggunakannya. Tetapi yang bisa
aku lihat dengan jelas bahwa sebenarnya rumah korban itu, terlebih lagi
dapurnya, tidak memenuhi syarat untuk menggunakan kompor elpiji. Dapur itu
hanyalah sebuah bilik kecil, yang kelihatannya lebih kecil daripada ruang tamu
mereka yang sudah kecil itu. Aku merasa dapur mereka tidak dilengkapi dengan
ventilasi yang memadai seperti sebuah jendela yang besar. Padahal di salah satu
iklan sosialisasi cara pemakaian gas elpiji untuk memasak, dikatakan : "Jika
tercium bau gas, matikan api dan bukalah jendela lebar-lebar." Bagaimana bapak
tersebut mau membuka jendela lebar-lebar, lha wong jendelanya saja tidak ada?
Yang dilakukan malah menceburkan tabung gas ke dalam gentong berisi air.


Ketika diceritakan bahwa istri dan beberapa orang anaknya yang tidak berada di
dapur ternyata terbakar lebih dahulu, aku juga tidak heran. Itu berarti gas
sudah menyebar ke seluruh rumah. Mungkin saja istri atau anak-anaknya sedang
menghidupkan peralatan elektronik dan tidak menyadari bahwa udara di rumah sudah
dipenuhi gas.


Melihat dari pengalaman di rumah orang tuaku sendiri, ibuku memakai kompor
elpiji kurang lebih 10 tahun sebelum beliau wafat dan belum pernah sekalipun
terjadi kebakaran di dapurnya. Selain ibuku seorang yang sangat berhati-hati
dengan api, kondisi dapurnya juga memiliki 2 pintu (mengarah ke dalam rumah dan
mengarah ke halaman belakang) dan penghisap asap tepat di atas kompor.

Kebijakan Pemerintah untuk melakukan konversi minyak tanah ke elpiji sudah
sesuai dengan kondisi keterbatasan sumber daya energi di dunia saat ini. Tetapi
sepertinya, Pemerintah lupa bahwa tidak semua masyarakat memiliki dapur yang
memenuhi syarat keamanan dan kesehatan bagi penggunaan gas elpiji. Mungkin
seharusnya calon pemakai kompor gas elpiji menjalani pengecekan kondisi dapur
terlebih dahulu oleh produsen tabung gas.


Sampai saat ini, orang Indonesia memang sangat kurang memperhatikan keselamatan
diri sendiri. Jika di angkutan umum saja sudah 'berani mati' tidak mengherankan
di dapur pun mereka bersedia mempertaruhkan jiwa raga demi mengisi perut
keluarga.

Monday, July 12, 2010

Mau Disogok di Toko Sendiri

Dua orang bapak-bapak memasuki toko buku sore itu. Seperti biasa aku mengucapkan salam, “Selamat sore.” Sambil tersenyum dengan sopan.

Bapak 1 : “Buku agama Kristen ada?

Aku : “Untuk kelas berapa?

Bapak 1 : “Kelas 1 sampai 6 SD.

Aku : “Ada. Di rak yang ini. Silakan Bapak pilih.

Aku segera kembali ke singgasanaku di meja kasir. Tak berapa lama kemudian Bapak tersebut membawa 3 buku agama Kristen untuk kelas 4, 5, dan 6 SD.

Bapak 1 : “Ibu, nanti tolong buat nota kosong sudah ada cap toko, ya.

Aku : “Maaf, Bapak, saya tidak berani. Kita hanya toko kecil.

Bapak 1 : “Tidak apa-apa, nanti kita isi sendiri harganya.

Aku : “Maaf, saya tidak berani.

Bapak 1 dan bapak 2 berbicara satu sama lain dalam bahasa daerah (Papua) mereka yang tidak aku mengerti. Tetapi intinya mereka sedang mencoba membujuk aku agar mau membantu mereka berkorupsi.

Bapak 2 : “Toko-toko lain mau bikin nota kosong. Kenapa di sini tidak mau?

Aku : “Maaf, saya tidak berani. Kita cuma toko kecil.

Bapak 2 : “Kalau begitu Ibu bikin saja nota, kita beli buku kelas 1 sampai 6 SD.

Aku : “Maaf, Bapak, saya tidak bisa karena itu akan mengganggu sistem administrasi toko kami.

Bapak 2 : “Toko kecil kan tidak diperiksa.

Aku : “Kami periksa sendiri.

Bapak 2 : “Tolonglah, Ibu. Nanti saya kasih Ibu sedikit.

Aku agak terkejut. Baru kali ini ada orang mencoba menyogokku di tokoku sendiri. Terus terang aku mau tertawa.

Aku : “Bapak, saya yang punya toko.

Setelah beberapa saat berdiskusi antar mereka sendiri akhirnya kedua bapak-bapak tersebut membayar ketiga buku itu dan aku mencetak faktur sesuai dengan harga yang mereka bayar.

Phiew…….. Uang yang mereka keluarkan tidak sampai seratus ribu. Tapi sudah berniat korupsi sampai, kemungkinan besar, tiga kali atau empat kali lipat.

Untungnya tidak tiap hari ada orang mau menyogokku untuk membuat nota kosong. Kalau banyak, aku cuma bisa bilang : “Cape deh……….” Tetapi aku lega karena berani untuk menolak permintaan mereka, yang kalau aku pikir-pikir, aku dan mereka tadi hanya bertanding siapa yang lebih kuat mentalnya.

Reaksi suamiku ketika aku ceritakan : “Enak aja, gak kerja keras tapi mau dapat uang banyak.