Tuesday, December 30, 2008

Cerpen : Kekasih Di Seberang Tebing

Aku ingin bersamamu tapi juga tidak ingin bersamamu. Entah kekuatan apa yang membuat kita bersama saat ini. Di dalam kamar kosmu yang tidak terlalu besar. Aku duduk di depan komputermu sementara kamu berdiri di belakangku sambil menyilangkan lenganmu di sandaran kursi yang aku duduki. Aku bisa merasakan hangatnya lenganmu tanpa bersentuhan sekalipun. Akhirnya hari kebersamaan kita ditutup dengan ciuman pertama untukku. “Liana, aku cinta kamu,” katamu yang sudah terulang berkali-kali. Aku hanya mendesah berat. “Tapi kita tidak bisa bersama,” jawabku terdengar tanpa perasaan meski hatiku berdarah juga ketika mengucapkannya. Lenganmu membelai rambutku, “Tidak usah kita pikirkan sekarang perbedaan itu. Yang penting kita saling mencintai dan tidak ada yang salah dengan cinta.” Kata-katamu terdengar bijak di telingaku dan juga di hatiku. Aku hanya bisa mengangguk, menyetujui,  dan menanam kata-katamu dalam lubuk hatiku tanpa sempat mencerna akibat-akibat yang mungkin timbul  karena menelan suatu ide tanpa memamahnya dalam pikiran yang jernih dan logis.

 

Sebenarnya kita berdua tidak berbuat kejahatan dengan menjalin cinta ini. Hanya ada sebuah jurang yang rasanya sulit sekali untuk dijembatani. Belum ada seorang insinyur pun yang bisa merancang sebuah jembatan indah tanpa menghancurkan salah satu atau kedua sisi tebing milik kita masing-masing. Aku sudah berjanji untuk memelihara tebing tempatku berpijak dengan setia, kamu pun sudah berjanji untuk itu. Jika kita nekat untuk bersatu itu berarti salah satu dari kita harus mengkhianati janji yang sudah kita buat kepada pokok pohon, kepada kulit kacang kita. Aku dan kamu tidak sanggup membayangkan akibatnya. Karena ada begitu banyak hati terluka, begitu banyak air mata akan tertumpah dan begitu banyak sumpah serapah akan terucap dari mulut orang-orang yang telah begitu menyayangi aku dan kamu. Tetapi kita juga tidak mampu memadamkan rasa ini. Kekuatan cinta murni yang diam-diam tumbuh dalam hati. Siapa yang harus kita salahkan? Siapa yang menaburkan benih dalam hatiku dan hatimu? Bukankah semua cinta yang murni berasal dari Sang Cinta sendiri? Apakah benih ini tercecer dan jatuh di tempat yang salah? Dan tempat yang salah itu adalah hatiku dan hatimu?

 

Aku dan kamu menjadi pasangan yang tidak logis sama sekali. Kita berdua membangun dan mengejar sesuatu yang sebenarnya dengan keyakinan 100% tidak akan berhasil. Impian itu seperti menggantung di awan-awan tanpa tangga menuju ke sana. Tangga yang hanya kita bangun dan lihat dalam lamunanku dan lamunanmu. Setiap kali kita bersama, satu luka kita goreskan dalam hati kita masing-masing. Menyadari bahwa hari-hari kita bersama berkurang satu. Hanya dua tahun saja, sampai salah satu dari kita meninggalkan kampus ini. Bagaimana mungkin aku dan kamu bisa begitu dibutakan sampai rela menjalani hubungan tanpa tujuan? Mengapa kita begitu bodoh dan membuang-buang waktu yang sangat berharga hanya untuk memuaskan kerinduan hati yang sebenarnya tidak benar-benar ingin kita perjuangkan? Mengapa aku dan kamu harus menyimpan rahasia besar ini rapat-rapat sementara tatapan curiga selalu mengikuti kita? Untuk apa aku dan kamu menanggung beban yang tidak perlu? Mungkin kita berdua termasuk manusia dungu yang lebih bodoh dari seekor keledai. “Sudahlah, Liana, jangan menangis. Kita mengalir saja seperti air,” begitu kamu selalu menghiburku. Dan aku hanya bisa mengangguk putus asa. Air yang mengalir turun ke bawah kah? Atau hilir yang bisa kembali ke hulu?

 

Suatu hari aku mendapat ide cemerlang. Aku harus berjuang demi cinta ini. Aku tidak akan tinggal diam melihat diriku dan dirimu semakin hari menuju ke arah perpisahan. Aku akan membangun jembatan itu. Ya. Aku akan menjelma menjadi sang insinyur yang akan membangun jembatan untuk menghubungkan tebingmu dan tebingku. Tapi maaf, aku akan menghancurkan tebingmu. Aku harus memilih dua pilihan yang berat dan aku memilih untuk membawamu ke tebingku dan menghancurkan tebingmu. “Gus, bagaimana kalau kamu yang ikut aku?” tanyaku sambil berbaring di pangkuanmu. “Ikut kamu?” dengan wajah bingung dirimu balik bertanya. “Iya, daripada kita tidak punya masa depan, bagaimana kalau salah satu dari kita mengalah. Terus terang saja aku tidak bisa ikut kamu. Karena bagiku tebing tempaku berpijak adalah yang benar,” kataku berusaha merayumu. Kamu menggeleng-gelengkan kepalamu. “Aku juga tidak bisa mengikutimu. Bagiku tebingku juga yang benar,” jawabmu dengan mantap. “Lalu bagaimana dengan kita, dengan hubungan kita, masa depan kita?” aku bertanya sambil menahan tangis yang tiba-tiba menyesakkan dada. Kamu  membelai rambutku. Itulah yang selalu kamu lakukan untuk menenangkan hatiku yang resah. “Liana, aku mencintaimu apa adanya. Aku tidak ingin memaksamu untuk mengikutiku, tapi aku juga tidak bisa mengikutimu. Saat ini aku belum tahu apa yang harus kita lakukan.” Kamu berusaha menjawab dengan tenang walaupun ada kilatan luka yang tampak di kedua matamu yang teduh. Aku tidak dapat menahan lagi gejolak tangis di dadaku dan akhirnya aku tumpahkan di dadamu yang hangat. Kita sama-sama menangis. Menangisi cinta yang tidak bisa bersatu. Menangisi hari-hari kebersamaan kita yang semakin dekat pada ajalnya. Seperti seorang pasien dengan penyakit terminal dan semua dokter sudah  mengangkat tangan, aku dan kamu memandang masa depan cinta kita. Sejak saat itu aku dan kamu berhenti berusaha membangun jembatan itu. Kita berdua tetap berjalan pada tebing kita masing-masing sambil memandang satu sama lain dari kejauhan. Secara fisik aku dan kamu tidak bisa mengelak untuk bersama meski pun hati kita semakin hari semakin menjauh.

 

Akhirnya hari kematian pun tiba. Malaikat maut pencabut nyawa kebersamaan ini sudah datang dan menagih janji yang telah kita sepakati. Dua tahun berlalu seperti kilat saja kecepatannya. Rasanya baru kemarin kita merasakan benih-benih cinta tumbuh dalam hatiku dan hatimu. Menguncup, memekarkan bunga-bunga harum dan sekarang tiba waktunya untuk mongering, gugur ke tanah. “Terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini, maafkan semua kesalahanku, dan aku akan selalu mengingatmu, mengingat cinta kita.” Itulah kata-kata perpisahan yang kita ucapkan. Mataku dan matamu basah oleh air mata. Di dalam kamar kosmu kita memulai perjalanan singkat ini, di kamar kosmu pula kita mengakhiri semuanya. Walaupun kita sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari tetapi rasanya seperti berjuta sembilu menembus hatiku dan hatimu. Aku bisa melihat darah bercucuran di matamu. Dan kamu juga melihat mataku dengan luka menganga. Meski begitu aku dan kamu sudah ikhlas. Pasrah pada nasib yang ternyata tidak berpihak pada kita. “Kita berdua tidak jodoh,” kataku, “Semoga kamu bisa mendapatkan penggantiku yang lebih baik yang bisa berjalan di tebingmu,” ucapmu di antara isak tangis kita berdua. Dua tahun kita bersama dan ritual perpisahan kita dua jam lamanya. Aku menyusutkan air mata yang tersisa, berdiri, memandangmu untuk terakhir kalinya dan pergi berjalan menyusuri tebingku dengan perasaan kosong. Aku menyadari konsekuensi pilihanku untuk tetap berada di pijakanku. Kehilangan dirimu, kekasih pertamaku.

 

Manokwari, 20 Juli 2008, 18.50 WIT

 

Thursday, December 18, 2008

Mentalitas Anak Sekolah

Masih ingatkah kita semua akan masa-masa menjadi siswa atau mahasiswa? Ketika bapak atau ibu guru memberi tugas yang membutuhkan waktu beberapa hari/minggu/bulan kepada kita. Batas waktu untuk mengumpulkan hasil kerja kita sudah ditetapkan. Biasanya dan yang sering terjadi siswa menunda-nuda untuk mengerjakannya sampai 1 atau 2 hari sebelum batas waktu. Entah karena sibuk, atau malas, atau ilham baru muncul ketika dalam keadaan terdesak. Saya mengaku dulu pun sering melakukan hal itu. Hasil kerja yang kita serahkan biasanya asal-asalan, tidak ada nilai lebih apapun karena ketika mengerjakannya yang ada dalam pikiran kita hanyalah: yang penting dikumpulkan. Lebih parah lagi ada siswa/mahasiswa yang entah mengapa ilham tidak juga turun meskipun dalam keadaan terdesak, akhirnya mengambil jalan pintas………nyontek. Menyedihkan.

 

Tapi itu dulu ketika kita masih duduk di bangku sekolah. Eh, jangan salah, mentalitas seperti itu tetap ada dan semakin “kreatif” pada orang-orang dewasa terutama yang bekerja sebagai PNS (maaf bukan bermaksud menjelek-jelekkan suatu golongan, hanya menceritakan apa yang saya lihat). Suatu proyek, katakanlah pembuatan situs di tempat bersejarah. Proses berulang seperti waktu sekolah terjadi :

1)      Ada tugas dari pimpinan.

2)      Batas waktu diberikan.

3)      Karena “belanda masih jauh” belum ada tindakan apa-apa.

4)      Baru sadar ketika batas waktu sudah di depan mata.

5)      Perintah anak buah untuk bergerak walaupun tidak tahu mau bergerak ke mana yang penting ada hasil.

6)      Secara ajaib – entah bagaimana prosesnya – hasil sudah ada di tangan dan siap dikumpulkan.

7)      Lega…… toh yang penting ngumpulin. Urusan kualitas hasil kerja itu nomor kesekian.

 

Usia boleh bertambah. Jabatan bisa semakin tinggi tetapi mentalitas anak sekolah sepertinya sulit untuk ditinggalkan. Seharusnya sebagai orang-orang dewasa yang keputusannya memiliki efek jangka panjang, mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati dan pikiran itu wajib hukumnya. Kalau batas waktu tidak masuk akal silakan minta perpanjangan dengan alasan yang logis dan demi keberhasilan proyek itu sendiri. Tetapi sunggu disayangkan para bapak/ibu tersebut sepertinya tidak terlalu suka mendapat tugas, apalagi tugas yang berat. Lalu apa fungsinya menjadi PNS/abdi masyarakat? Bukan hanya untuk memakai seragam dengan segala atributnya dan upacara setiap Senin, datang ke kantor, terima gaji dan terima pensiun, bukan?

 

Sistem pendidikan kita bisa salah, lingkungan juga memberikan pengaruh buruk yang kuat tetapi marilah kita melatih diri sedemikian rupa sehingga menjadi lebih dewasa dan bertanggung jawab atas tugas-tugas kita sementara kita masih hidup di dunia ini. Jangan lupa akan ada Hakim Agung yang meminta pertanggungjawaban kita kelak. Hidup ini memiliki kesinambungan dan tidak berhenti ketika kita meninggal dunia. Jadi hiduplah dengan bertanggung jawab.

 

Dengan Kasih dari Hati

Pria Papua yang satu ini memang berbeda. Dari gerak-geriknya aku bisa menduga bahwa dia seorang yang rajin bekerja. Perut tidak buncit, tidak merokok, sinar matanya tajam, tutur bahasanya sopan dan tegas. Secara keseluruhan rapi.

 

Tadi pagi dia bercerita tentang prinsip hidupnya yang membuatku geleng-geleng kepala karena heran: ada ya orang Papua, PNS lagi, yang mempunya pikiran sangat sehat seperti itu. Dia berkata,” Saya dibayar karena kemampuan saya, bukan karena saya putera daerah.” Lalu bapak muda ini melanjutkan cerita mengapa dia sampai menjadi PNS padahal ketika bekerja sebagai marketing kontraktor besar, gajinya tidak bisa dibilang kecil. Alasannya ternyata sederhana tetapi berat: untuk mengabdi. “Kalau bukan kami sebagai putera daerah siapa lagi?” jelasnya.

 

Setelah menjadi PNS pun tidak serta merta dia bisa menikmati posisi barunya itu. “Dalam lingkungan PNS saya seperti jalan di tempat. Saya terbiasa dengan target yang tinggi dan ritme kerja yang cepat. Di sini jauh lebih santai. Tetapi saya harus belajar untuk menyesuaikan diri.”

 

“Saya tahu betul bagi teman-teman sesama PNS, yang mereka pikirkan hanya hari ini saya dapat uang berapa dan mau dibelanjakan untuk apa. Sampai ketika saya ditempatkan di distrik mereka bertanya kok saya mau berada di tempat “kering”. Saya berkata: Di mana pun Tuhan tempatkan saya, tempat “kering” bisa diubahkanNya menjadi tempat “basah”.”

 

Senyum terkembang dari bibir saya secara reflek. Saya kagum. Saya bangga. Saya terharu. Ternyata di tempat yang menurut survey memiliki tingkat korupsi paling tinggi se Indonesia masih ada orang yang mempunyai terang Tuhan dalam hatinya.

 

“Uang bukanlah solusi untuk kekurangan tenaga guru di pedalaman. Buktinya teman-teman saya di pelayanan PESAT rela mengajar anak-anak di kampung-kampung tanpa dibayar. Sedangkan tunjangan guru (sekali lagi PNS) sudah dinaikkan setiap tahun, tetapi tetap saja mereka minta dipindahkan ke kota.”

 

Saya terdiam dengan wajah penuh tanda tanya.  Kembali dia melanjutkan, “Semua itu tergantung ada tidaknya kita memiliki hati yang mengasihi orang-orang yang mau kita layani. Itu saja cukup.”

 

Saya setuju. Saya teringat ungkapan bijak yang mengatakan: Banyak kekuatan di alam semesta ini tetapi kekuatan yang terbesar adalah kasih. Dengan kasih rintangan bisa diatasi, gunung bisa didaki, sungai dan laut bisa diseberangi, dan jurang bisa dijembatani. Karena kasih adalah penggerak utama kehidupan ini. Adakah kasih yang menjadi motor hidup kita?

Wednesday, December 17, 2008

Posesif

“Saya dulu kuliah di sini aja, Bu,” jawab sang teller muda dan cantik ketika aku tanyakan di mana dia dulu berkuliah. “Enak ya, nggak perlu jauh-jauh kerjanya,” sahutku. “Memang saya tidak mau jauh-jauh. Tidak bisa jauh dari mama,” jelasnya sambil tersenyum. “Puteri satu-satunya ya, atau anak tunggal?” tanyaku lebih jauh. “Saudara saya ada empat, tapi saya puteri satu-satunya. Ini buku tabungannya, Bu, terima kasih,” katanya sambil menyerahkan buku tabunganku sekaligus menutup pembicaraan kami.

 

Sepanjang perjalanan pulang aku termenung memikirkan percakapanku dengan sang teller tadi. Aku teringat mama. Aku juga puteri satu-satunya mama, tidak ada yang lain. Karena itulah mama agak posesif terhadapku. Di mulai dari membatasiku keluar rumah dan berteman, sampai aku mau kuliah pun tidak diijinkan ke luar kota. Bagi mama, sangat penting untuk bisa melihatku setiap hari. Tapi akhirnya datang juga waktuku untuk pergi jauh dari mama. Ya, setelah menikah.

 

Sikap posesif mama membuatku tidak nyaman. Yang pasti pengalamanku bergaul jadi terbatas. Karena itu aku sering terlalu naïf dalam menilai orang lain. Yah……… itulah mama. Masalahnya sekarang aku merasa aku pun secara tidak sadar sudah meniru sifat posesif itu. Apa ini ‘penyakit keturunan’? Yang menjadi korbanku adalah…………suamiku, belum ada yang lain, karena aku belum punya anak. Mau tahu satu contoh dari sifat posesifku? Aku suka mengatur-atur apa yang boleh dan tidak boleh dimakan suamiku. Jika suamiku melanggar, maka aku akan mengkritiknya langsung. Dan masih ada lagi contoh-contoh yang lain. Hasilnya, suamiku merasa ‘tertindas’ dengan sikapku ini. Akhirnya bisa ditebak…… pemberontakan.

 

Kesadaranku baru muncul hari ini. Ketika tiba-tiba terlintas dalam pikiranku perumpamaan Anak yang Hilang (The Prodigal Son). Yang menarik hatiku adalah tokoh sang Bapa yang baik itu. Ada beribu alasan bagi sang Bapa untuk menjadi posesif terhadap anak-anakNya. Tapi apa yang dilakukanNya adalah menghormati pilihan si anak, melepaskan dengan hati yang tetap berharap dan terbuka bagi anakNya untuk kembali. Itulah hati Bapa di surge. Jika Bapa yang maha kuasa dan sang pencipta tidak posesif terhadap anak-anakNya, kenapa aku malah bertingkah-laku sebaliknya? Tidak, aku mau meneladani Bapa di surge. Aku mau tidak menjadi posesif terhadap apapun yang boleh aku miliki saat ini.

 

Syukur atas pencerahan yang membebaskanku dari belenggu sifat posesif.

 

Sunday, September 14, 2008

Ngomel?..........No Way!!!!!

Taksi – sebutan angkot untuk kota Manokwari – yang aku naiki memperlambat jalannya di depan seorang ibu berusia sekitar 50 tahunan yang berdiri bersama seorang anak balita. Sang ibu naik dan segera duduk di bangku belakang bersama anak kecil tersebut. Karena aku duduk dekat pintu, secara refleks aku menjulurkan tangan hendak menutup pintu mobil. Gerakkanku tertahan oleh seorang pria yang membawa sekotak tile dan memberikan kotak itu kepada ibu yang duduk di belakangku sambil berkata,”Hati-hati ya, Bu. Kalau angkat harus pegang bagian bawah ini.” Si ibu mengangguk dan berterima kasih.

 

Sambil menjalankan mobil, sang sopir angkot tiba-tiba berkata,”Bagian bawah tile itu tidak ada kartonnya. Kenapa ibu terima saja dikasih tile yang kotaknya tidak utuh. Kalau salah angkat bisa pecah semua. Kenapa Ibu mau?!.” Tentu saja dengan nada ngomel. Aku tidak mendengar si ibu menjawab komentar sopir angkot. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa geram dengan sang sopir yang sok bijaksana. Memangnya kenapa sih kalau ibu itu menerima saja tile dengan kotak yang tidak utuh. Siapa tahu memang tidak ada pilihan yang lain.  Lha wong dia beli pakai uangnya sendiri, bukan minta pak sopir. Apa dengan mengomel begitu, kotak tile bisa menjadi utuh secara tiba-tiba. Kan kasihan sang ibu, pagi-pagi sudah diomeli sama orang yang tidak dikenalnya. Duh…duh…. Kok aku yang jadi senewen.

 

Aku turun dari taksi, masuk ke rumah, sarapan dan mulai membuka toko buku. Seorang laki-laki Papua masuk bersama 2 remaja pria dan menanyakan tentang buku-buku pelajaran SD seraya menyerahkan kertas kumal berisi tulisan tentang nama-nama buku yang dia inginkan:

Matematika, PPKN, Bahasa Indonesia, Sains, IPS semuanya untuk kelas 4. Aku menunjukkan buku Bahasa Indonesia dan IPS saja karena yang lain sudah habis. Tiba-tiba aku mendengar laki-laki itu berkomentar,”Tidak lengkap!” Walaupun diucapkan untuk dirinya sendiri, aku merasa agak tersinggung juga. Akhirnya mereka bertiga keluar.

 

Kenapa sih suka mengeluh tentang apa yang tidak ada? Kenapa tidak mencoba untuk melihat pada yang ada saja? Ini Manokwari di mana toko buku cuma ada 3 dan punyaku adalah toko buku yang sebenarnya sedangkan dua yang lain adalah toko buku setengah toko onderdil motor dan toko buku setengah toko stationary. Harusnya dia bersyukur dong masih ada orang yang rela membuka toko buku dan berani untuk fokus di situ walaupun jumlah penduduk dan minat baca di kota ini masih belum menjanjikan sebuah toko buku bisa sebesar Gramedia di Jawa sana.

 

Tapi  sudahlah……….. Aku tidak berhak untuk mengomel juga hanya karena orang-orang di sekitarku suka menggerutu. Sebenarnya masih banyak yang baik yang bisa aku syukuri seperti: anak-anak kecl yang selalu bisa bergembira di tengah keadaan apapun, orang-orang dari pedalaman yang lugu yang mudah tersenyum, dan buah-buahan tropis segar, baru dipetik, yang melimpah di kota ini dengan harga murah serta masih banyak lagi. Janji pada diriku sendiri saat ini adalah: Ngomel?........No Way!!!!!!!!

Saturday, August 16, 2008

KENANGAN DALAM SE-TUBE OBAT JERAWAT

Seberapa sering kita mengabaikan orang-orang yang ada di sekitar kita? Seberapa sering kita tidak terlalu memperhatikan keluarga dan teman-teman yang berada di dekat kita? Sering bahkan sangat sering. Acapkali kita ‘take them for granted’ karena tanpa kita minta dan usahakan, mereka sudah berada di dekat kita, hIdup bersama dan kadang-kadang menjengkelkan kita. Kita baru mengerti arti kehadiran mereka, biasanya, setelah mereka tidak ada bersama kita lagi. Entah karena meninggal dunia atau karena pindah tempat tinggal. Begitu pun yang aku alami dengan mama.

 

Sepanjang ingatanku, aku dan mama tidak terlalu akrab. Memang kami berdua hidup di bawah satu atap selama kurang lebih 27 tahun. Tetapi bagiku tidaklah mudah untuk berbagi rasa dengannya. Ketika mulai menginjak remaja, pada saat aku mencoba mencurahkan isi hatiku kepada mama, beliau lebih sering memarahiku karena menurutnya apa yang aku pikirkan itu tidak baik dan nasihat yang diberikan mama bagiku seperti perintah dari seorang diktator kepada rakyat yang tidak berdaya. Akhirnya aku cenderung menutup diri. Komunikasi kami hanyalah sebatas urusan sehari-hari seperti makanan, pakaian, kebersihan rumah dan belanja. Pada saat aku menikah dan pindah ke kota lain, aku merasakan kebebasan yang selama ini tidak aku dapatkan di rumah. Tetapi sejak aku pindah, mama sering menangis karena merindukan aku. Cukup heran aku dibuatnya. Lalu aku dan suamiku pindah lagi ke pulau di ujung timur Indonesia ini.

 

Setelah dua tahun tidak bertemu, liburan natal dan tahun baru 2007 aku dan suamiku berkesempatan berlibur di rumah orang tuaku. Aku senang bisa bertemu mama dan papa. Entah mengapa ketika liburan itu aku merasa jengkel dengan perlakuan orang tuaku yang sepertinya menilai bahwa hidup kami kurang berhasil di mata mereka. Aku pun beradu argumentasi dengan papa sedangkan mama hanya mendukung papa. Karena jengkel aku memilih menghindar membahas masalah tersebut.

 

Suatu hari, di atas meja rias di kamar tempat kami menginap, aku menemukan obat jerawat berbentuk tube. Aku tahu ini dari mama karena melihat ada sebuah jerawat besar di pipiku. Mama tidak berani menyuruhku memakai obat itu. Beliau hanya menaruhnya di atas meja dan berharap aku melihat dan memakainya. Tetapi aku tidak menyentuhnya sama sekali karena kejengkelan yang masih menguasai hatiku. Aku merasa diperlakukan seperti anak kecil yang harus diberi ini dan itu, diperintah ini dan itu. Ketika kami pulang kembali obat jerawat itu aku bawa. Dua puluh lima hari setelah kepulangan kami, mamaku meninggal dunia karena kecelakaan.

 

Setiap kali memandang obat jerawat berbentuk tube pemberian mama itu, hatiku sedih. Betapa pun menjengkelkannya beliau bagiku, aku belum sempat mengucapkan terima kasih untuk kasih sayang, perhatian, pengorbanan mama selama hidupku bahkan untuk obat jerawat itu. Tetapi sudah terlambat untuk menyesalinya. Aku hanya bisa berdoa agar mama beristirahat dengan damai.

 

Waktu yang sudah berlalu tidak bisa kembali. Tidak selamanya apa yang menjadi milik kita sekarang akan tetap menjadi milik kita karena kita tidak pernah tahu kapan orang-orang itu akan pergi. Pergunakanlah setiap hari untuk mengucap syukur dan mencintai orang-orang yang ada di dekat kita.

Tuesday, August 5, 2008

Seandainya Yesus Mempunyai Ayah Jasmani

Orang Kristen percaya bahwa Yesus lahir tanpa ayah jasmani. Kita yang hidup jauh setelah Yesus percaya karena ada kesaksian tentang itu baik dari kitab suci maupun tradisi gereja. Tetapi mari kita tinggalkan sejenak bukti-bukti yang ada dan kita mencoba untuk berandai-andai tentang asal-usul Yesus. Mengapa Yesus tidak memiliki ayah jasmani? Mengapa Allah Bapa tidak mempergunakan sel sperma manusia tetapi hanya menggunakan sel telur Bunda Maria? Apa yang terjadi seandainya Yesus, Anak Allah, lahir seperti manusia pada umumnya dari pertemuan sperma dan telur manusia?

Seandainya Yesus mempunyai ayah jasmani mungkin ini yang akan terjadi: karena Yesus tumbuh menjadi anak yang luar biasa dalam hikmat dan kebijaksanaan, pasti ayahnya merencanakan masa depannya dengan lebih serius. Yesus akan masuk sekolah terbaik di Nazaret yang diasuh oleh para ahli taurat terkemuka dan tidak akan bekerja sebagai tukang kayu. Sang ayah akan mengatakan kepada Yesus untuk menjaga nama baik keluarga karena sebagai anak laki-laki Yesus menjadi penerus marga. Ayah dan ibunya akan mencari seorang istri yang baik untuknya supaya segera hadir cucu-cucu penerus generasi. Mereka tidak akan dengan mudah mengijinkan Yesus berjalan keliling, berkhotbah dan berkumpul bersama murid-muridnya dan orang-orang sederhana. Jika Yesus mempunyai ayah jasmani, dia tidak akan bisa dengan mudah berkata,”……Aku harus tinggal di rumah Bapaku; …….Makananku ialah melakukan kehendak Bapaku.” Karena kehendak orang tua seringkali berbeda dengan Bapa Surgawi.

Yesus sebagai seorang anak yang bertumbuh dalam keluarga kudus, tumbuh secara bebas untuk melakukan kehendak Allah Bapa yang sudah dirancang bagiNya sebelum kelahiranNya. Bunda Maria sebagai seorang perawan yang tidak berkuasa sedikitpun atas sel telurnya bisa dengan rela membesarkan Yesus untuk menjadi seperti yang Bapa inginkan. Santo Yusuf yang tidak mempunyai hubungan darah dengan Yesus, mampu menjadi seorang pemelihara dan pelindung tanpa menaruh beban di bahu Yesus kecuali tugas utama dari Bapa untuk Yesus. Sebagai orang tua, Bunda Maria dan Santo Yusuf sukses mengantarkan sang Anak – Yesus – untuk menjadi seseorang yang mengikuti panggilan hidupNya yang sejati.

Sebenarnya sebagai pria dan wanita, kita pun tidak berkuasa atas sel sperma dan sel telur yang kita miliki. Kita tidak bisa mengontrol dan mengaturnya untuk menjadi zygot, embrio, dan bayi . Jika suatu saat sel sperma dan sel telur kita berhasil menjadi seorang manusia baru, itu semua adalah pemberian dari atas (gifted). Apa yang diberi? Roh manusia. Kemajuan teknologi bayi tabung yang memungkinkan seorang dokter mengatur pembuahan dalam tabung tidak pernah mampu menjamin hadirnya seorang bayi karena sang dokter tidak memiliki roh manusia tersebut.

Para orang tua yang diijinkan untuk menghadirkan manusia-manusia baru hendaknya selalu mengingat dalam hati bahwa jiwa anak-anak mereka bukanlah berasal dari mereka.  Orang tua adalah busur dan anak-anak adalah anak panah. Yang Maha Kuasa adalah sang pemanah yang dengan bebas mengarahkan anak-anak panah sesuai kehendakNya yang sempurna. Setiap anak memiliki panggilan hidupnya masing-masing yang unik dan tidak pernah sama. Kebahagiaan sejati hanya bisa dialami oleh seorang anak jika orang tua mampu membimbing mereka untuk menjawab panggilan hidup mereka. Para orang tua hendaknya rela melepaskan anak-anak untuk mengambil jalan hidup sesuai dengan rancangan abadi Bapa Surgawi yang sudah ada sejak dunia dijadikan. Lalu bagaimana dengan masa depan orang tua di masa jompo mereka? Para orang tua hendaklah meneladani Bunda Maria yang menyerahkan hidupnya kepada Bapa sehingga ketika Yesus mati di salib pun, harapannya tidak hancur karena hidupnya tetap terpelihara ada atau tidak ada anak.

Seandainya Yesus mempunyai ayah jasmani, kemungkinan besar, jalanNya menuju Golgota akan terhalang, kematian dan kebangkitanNya bagi keselamatan umat manusia mungkin akan memakan waktu lebih dari 33 tahun masa hidup Yesus karena harus mengalami masa pergumulan antara mengikuti kehendak Allah atau kehendak orang tua. Terpujilah Bapa semesta alam yang tahu waktu dan kondisi yang terbaik bagi rencanaNya.

Manokwari, 05 Agustus 2008

 

Thursday, July 31, 2008

HIDUP DI ANTARA ORANG-ORANG KELAPARAN

There is a terrible hunger for love. We all experience that in our lives – the pain, the loneliness. We must have the courage to recognize it. The poor you may have right in your own family. Find them. Love them.

(Mother Teresa)

Kata-kata Mother Teresa ini sangat mengusik hatiku. Ada suatu kelaparan yang harus saya usahakan untuk dikenali. Bukan kelaparan akan makanan dan minuman tetapi kelaparan batin. Yaitu kelaparan akan kasih yang terjadi pada orang-orang di sekitarku, dalam keluargaku. Saya mencoba memperhatikan sekelilingku. Benarkah ada orang-orang kelaparan yang harus aku kenali? Bisakah aku mengenali mereka? Apakah saya selama ini hanya memikirkan diri sendiri karena aku juga kelaparan?

Saya mulai meneliti setiap orang yang tinggal serumah dengan saya. Di rumah besar ini ada ayah dan ibu yang sudah memasuki usia senja, dua pasang suami istri di mana para suami adalah anak-anak dari pemilik rumah ini, seorang anak laki-laki dan perempuan yang belum menikah, dua orang cucu, – laki-laki dan perempuan -  tiga orang keponakan yang bekerja pada pemilik rumah.

Meskipun kami  belum pernah mengalami kelaparan perut tetapi harus saya akui setiap anggota keluarga ini mengalami kelaparannya masing-masing. Yang paling umum adalah kelaparan akan penghargaan dan rasa berhasil. Kelaparan ini menimbulkan sikap menyombongkan prestasi baik di masa lalu maupun sekarang - dengan harapan agar dipuji - dan memandang rendah orang lain.

 Kelaparan yang berikutnya dialami oleh para istri yaitu kerinduan akan perlakuan lemah lembut dari para suami. Kata-kata yang kasar dan merendahkan dari para suami mampu mengeringkan jiwa istri-istri mereka. Membuat para wanita ini merasa tidak cukup berharga untuk dicintai sehingga muncullah berbagai usaha yang melelahkan untuk mendapatkan cinta itu.

Anak-anak kecil merindukan orang tua yang rukun dan saling menyayangi. Mereka juga mendambakan ayah dan ibu yang tidak mudah memarahi dan memukul jika anak-anak melakukan kesalahan yang tidak disengaja. Orang tua yang bersedia memaafkan dan memberi kesempatan kepada mereka untuk bertumbuh melalui kesalahan-kesalahan yang mereka buat.

Para pekerja menginginkan pekerjaan yang menjanjikan masa depan lebih baik,  jam kerja yang teratur, penghasilan yang tidak mengecewakan dan hari libur yang sesuai. Bukan kata-kata dan perlakuan manipulatif yang selalu menekankan bahwa mereka bekerja bagi keluarga sendiri sehingga menimbulkan perasaan bersalah jika mereka menginginkan pekerjaan yang lebih baik di tempat lain.

Sekarang saya sudah mengenali kelaparan-kelaparan yang terjadi di sekitar saya. Langkah berikutnya adalah menemukan mereka dan mencintai mereka. Bagaimana caranya? Untuk kelaparan akan penghargaan, saya bisa memberikan penghargaan yang tulus kepada setiap orang sekecil apapun keberhasilannya. Untuk kelaparan akan kelembutan, saya akan berusaha selalu bersikap lembut dan tetap menghargai bagaimanapun menjengkelkannya orang itu. Untuk kelaparan anak-anak kecil dan pekerja, saya belum bisa berbuat apa-apa secara langsung karena mereka tidak berada di bawah otoritas saya. Tetapi tidak ada yang mustahil melalui doa. Saya akan berdoa bagi mereka agar Tuhan sendiri yang memenuhi kelaparan-kelaparan mereka.

Lalu bagaimana dengan kelaparanku sendiri? Saya percaya bahwa dengan memenuhi kelaparan jiwa orang lain, jiwa saya sendiri akan dikenyangkan karena kasih yang dibagikan tidak akan pernah habis tetapi akan berkembang berlipat ganda.

Tuhan sumber segala kekuatan, mampukanlah aku yang lemah ini.

31 Juli 2008

 

Tuesday, July 29, 2008

Satu-satu aku sayang mama, dua-dua aku sayang bapak .......

Betapa bahagianya menjadi seorang Grace, gadis kecil berusia empat tahun, yang lugu. Segala sesuatu adalah keindahan di matanya dan mendatangkan rasa ingin tahu yang besar. Tidak ada hari tanpa tertawa dan menangis, merayu dan mengancam, marah dan berdamai. Semua orang sayang kepadanya. Semua orang memperhatikannya. Walaupun mama dan bapak terkadang lalai memandikan Grace dua kali sehari, hal itu tidak menjadi masalah baginya. Karena masih ada Oma, dan tante-tante yang mau memandikannya karena jatuh kasihan melihat anak cantik itu masih bau. Kelemahan orang tuanya tidak menjadikan kasih sayang Grace berkurang sedikit pun kepada mereka. Bahkan Grace tidak pernah mau memanggil mama kepada orang lain kecuali kepada mamanya sendiri. Ketika mendendangkan lagu dia akan bernyanyi:

“Satu-satu aku sayang mama, dua-dua aku sayang bapak “…… dan selalu begitu. Kasih sayang seorang anak kecil yang lugu, tulus, tanpa pamrih karena bagi Grace, mama dan bapak tetap adalah segala-galanya.

"I hate Monday"

 

“I hate Monday”, sepertinya virus ini sudah merasuki semua orang, khususnya para pegawai dan karyawan, juga sebagian siswa dan mahasiswa. Setiap hari Senin pagi saya melihat banyak orang berbondong-bondong menuju tempat kerja dan sekolah dengan pakaian seragam yang bersih, tetapi wajah-wajah mereka terlihat kosong. Seperti tidak ada api semangat yang menyala. Apakah karena liburan mereka tidak cukup? Saya tidak tahu dengan pasti. Lalu muncullah pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku: “Apakah mereka tidak rindu pada pekerjaan mereka? Tidak rindu pada tempat kerja mereka? Tidak rindu pada teman-teman kerja, atasan, bawahan, dan pelanggan mereka?” Jika jawabannya ternyata: “Tidak”, mengapa bisa terjadi begitu?

 

Untuk menjawab pertanyaanku sendiri ini saya berusaha menilik lebih dalam lagi sampai ke dasar hati di mana terletak semua kunci jawaban untuk persoalan-persoalan yang terjadi setiap hari. Pikiran saya melayang meninggalkan wajah-wajah kosong itu lalu mendarat di wajah seorang Thomas Alva Edison. Saya membayangkan apakah Pak Edison pernah kemasukan virus “I hate Monday”? Mungkin kalau beliau juga mengidap virus tersebut pasti dunia masih gelap gulita karena bola lampu tidak berhasil diciptakan. Karena percobaan yang Pak Edison lakukan untuk sampai menciptakan bola lampu banyaknya ada ribuan kali. Untuk itu beliau sering tertidur di laboratoriumnya bahkan sampai lupa makan, mandi, bersosialisasi bahkan berekreasi. Senin, selasa, rabu atau akhir pekan tidak ada bedanya karena Pak Edison sangat suka dan menikmati apa yang sedang dikerjakannya. Bahkan boleh dibilang jatuh cinta setengah mati.

 

Akhirnya saya menyimpulkan begini, jika saya mencintai pekerjaan saya, profesi saya maka saya tidak akan pernah berkata “I hate Monday”. Jika saya mengenali pekerjaan saya sebagai panggilan jiwa dan bukan sekedar panggilan perut apalagi panggilan gengsi maka saya akan bisa berkata dengan lantang “Thanks God, it’s Monday.”  Bagaimana jika saya tidak bisa mencintai pekerjaan atau profesi saya? Tinggalkan saja dan carilah cinta sejati itu.

 

KADO ULANG TAHUN

 

Hari ini, 28 Juli 2008, Grace genap berusia empat tahun. Tante Iva, Oma dan Opa serta orang tuanya sudah membelikan Grace banyak hadiah. Ada pakaian-pakaian baru dan ada juga boneka. Untuk pengucapan syukur mamanya memasak Papeda dan ikan kuah kuning. Makanan khas Maluku yang populer.

 

Kemarin malam, aku dan suamiku sempat berdiskusi tentang perlu tidaknya kami membelikan kado untuk Grace. Dari hasil diskusi kami akhirnya kami putuskan tidak membelikan kado. Walaupun sudah bulat, tetapi timbul juga pertanyaan yang menggelitik hatiku: “Pelitkah kami?” Aku pikir tidak juga. Kami berdua menyayangi Grace sama seperti yang lain. Tetapi cara kami menyayanginya berbeda. Kami mau belajar untuk melihat pada kebutuhannya dan bukan sekedar keinginannya atau keinginan kami untuk membuat dia memiliki banyak barang-barang yang hanya menempel di tubuhnya.

 

Lalu apa dong wujud kasih sayang kami untuk Grace? Kami selalu membuka hati untuk menjadi tempatnya berlari ketika dimarahi orang tuanya. Kami menyediakan waktu untuk bermain dengannya ketika Grace tidak mempunyai teman bermain. Kami berusaha mengajarkannya mengenal huruf, warna, dan mewarnai gambar ketika orang tuanya memutuskan untuk menunda menyekolahkannya. Bahkan kadang-kadang kami membagi tempat tidur kami bersamanya. Semua itu kami berikan sepanjang tahun bukan hanya pada hari ulang tahunnya saja.

 

Sore di hari ulang tahunnya, suamiku mengajak Grace berjalan-jalan memutari kompleks rumah, suatu kegiatan yang hampir tidak pernah dilakukan bersama bapaknya. Aku memberikannya sebuah gambar kue ulang tahun yang bisa dia warnai. Tetapi karena kelelahan berjalan-jalan Grace tidak berminat lagi mewarnai.

 

Selamat ulang tahun, Grace. Kiranya Tuhan yang Maha Kasih melimpahimu dengan kesehatan jiwa badan dan pertumbuhan yang baik. Amin.