Tuesday, August 23, 2011

MELEPASKAN TAWANAN HATI

berita8.com
D i dunia ini pasti tidak ada orang yang mengharapkan untuk disakiti, dikhianati, dilecehkan, dan diperlakukan secara negatif oleh orang lain. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita juga tidak pernah bisa bebas dari orang-orang yang menyakiti, mengkhianati, melecehkan, dan memperlakukan kita secara negatif. Ketika menerima perlakuan tersebut manusiawi jika kita menjadi sedih, tersinggung, sakit hati, bahkan dendam yang mana membuat kita semakin menderita. Perlakuan buruk orang lain ditambah emosi negatif telah menjadi sumber ketidakbahagiaan manusia.

Para rohaniawan dan spiritualis setuju bahwa memaafkan adalah obat satu-satunya untuk menyembuhkan batin yang terluka. Meskipun mudah untuk diucapkan tetapi memaafkan bukan tindakan yang gampang. Memaafkan tidak sekedar ucapan di mulut. Dengan berkata, “Saya memaafkan dia”, belum berarti benar-benar memaafkan. Meskipun diucapkan puluhan kali dan disetujui oleh logika tetapi bila hati tidak sungguh-sungguh bisa menerimanya memaafkan belum terjadi. Memaafkan juga tidak berarti melupakan karena mustahil bagi kita untuk melupakan kejadian yang kita alami kecuali kita terkena amnesia.

Menurut saya memaafkan adalah tindakan melepaskan. Ketika saya merasa sakit hati terhadap seseorang, sebenarnya saya sedang menjadikan orang tersebut tawanan dalam hati saya. Tindakan negatif yang dia lakukan saya anggap sebagai hutang yang harus dia lunasi. Dan dia saya kurung sampai dia membayar lunas hutang-hutangnya. Untuk memaafkan saya perlu membebaskan tawanan itu, berkata kepadanya bahwa dia tidak lagi mempunyai hutang kepada saya, dan membiarkan dia pergi untuk melanjutkan hidupnya. Dan saya tidak akan lagi mengkaitkan kondisi hati saya dengan perbuatannya yang lalu. Saya juga bebas melanjutkan hidupnya.


Memaafkan juga tidak boleh diartikan bahwa kita mengijinkan orang lain memperlakukan kita sekehendak hati mereka. Seorang suami yang suka kekerasan, jika tidak mau berubah, harus dihindari. Meskipun sudah memaafkan kita tidak harus terus berada di dekat orang-orang yang memperlakukan kita secara buruk. Karena semakin tertekan kita, semakin dalam luka hati kita maka semakin sulit bagi kita untuk memaafkan.

Beberapa pola pikir yang membuat proses memaafkan menjadi mudah :
1.       Percayalah bahwa setiap orang yang diijinkan memasuki hidup Anda selalu membawa hadiah khusus untuk Anda. Mereka adalah utusan Surga yang datang demi kebaikan Anda walaupun hadiah yang mereka sampaikan tidak selalu menyenangkan. Yang pasti hadiah itu berguna bagi Anda.

2.       Terimalah siapa pun yang datang dalam hidup Anda sepenuh hati. Pasti ada yang bisa Anda pelajari dari mereka. Entah karena mereka Anda mendapat sesuatu atau malah kehilangan sesuatu, Anda selalu bisa belajar sesuatu.

Jika Anda ingin bahagia, bebaskanlah para tawanan hati Anda. Kebahagiaan Anda berbanding lurus dengan kemampuan Anda memaafkan orang lain.

Monday, August 22, 2011

MENAPAK BUMI DI HALAMAN TETANGGA

Setelah membaca pentingnya menapak bumi setiap hari minimal 30 menit, aku mulai memutar otak untuk melakukannya. Menapak bumi artinya berjalan tanpa alas kaki di tanah atau di rumput. Menurut hasil penelitian, menapak bumi setiap hari bisa menyeimbangkan hormon, menyembuhkan insomnia, meredakan nyeri dan infeksi. Energi bumi adalah energi feminin yang bersifat menenangkan.

Karena seluruh halaman rumahku sudah tertutup aspal maka aku harus menapak bumi di tempat lain. Pagi itu, pada pertengahan Juli 2011 pukul 06.00 WIT, aku mulai berjalan ke luar. Menghirup udara segar sambil mencari tempat yang bagus untuk menapak bumi. Kira-kira berjalan 200 meter dari rumah aku menemukan sejengkal tanah berumput di pinggir jalan. Aku segera melepas sandal dan mulai menapak bumi. Awalnya terasa aneh menginjak rumput berembun dengan kaki telanjang. Tetapi tidak seberapa lama kemudian kesejukan mengalir dari telapak kakiku ke seluruh tubuhku. Karena rumputnya hanya sejengkal aku hanya bisa berjalan beberapa langkah saja. Sambil memandang ke sekelilingku tiba-tiba mataku tertumbuk pada halaman Pastoran Gereja St. Agustinus yang berada tepat di depanku. Hamparan rumput berukuran kira-kira 20 x 20 meter, hijau, dan memanggil-manggil aku untuk menghampirinya. Aku segera berpindah tempat dan sejak hari itu setiap hari aku menapak bumi di sana. Halaman rumput luas milik tetangga bisa aku nikmati dengan gratis.

Sambil berjalan mengitari halaman rumput itu aku juga menikmati pohon bambu, ketapang, palem, pisang yang tumbuh di sana. Tak ketinggalan burung-burung pipit yang bernyanyi setiap pagi. Dari halaman Pastoran ini aku bisa memandang kota Manokwari di kejauhan yang masih senyap dan menatap langit barat yang sering kali menampakkan fenomena yang membuatku bertanya “apa itu?”.

Halaman luas tersebut bukan milikku. Rumput dan pohon-pohonnya pun bukan aku yang menanam. Burung-burung itu datang sendiri tanpa harus aku usahakan. Udara segar berlimpah juga hadir secara otomatis. Di tengah-tengah semua hal yang aku terima dengan gratis tanpa aku minta atau usahakan, aku hanya bisa berkata : “Terima kasih, semesta. Terima kasih, Tuhan.”

Setiap pagi rumput, pohon-pohon, burung-burung, dan udara segar adalah pengingatku bahwa semua yang aku butuhkan sudah tersedia.