Kemarin malam, 23 Oktober 2009, sekitar pukul 20.15 BTWI, aku mengalami gempa – cukup besar – ku yang keempat. Cukup besar bagiku artinya berkekuatan sekitar 6 – 7 SR. Saat itu aku baru selesai mencuci piring makan malamku dan hendak menyikat gigi. Odol sudah kuoleskan pada sikat dan tiba-tiba aku dikejutkan oleh lantai yang bergetar hebat. Aku segera tahu itu gempa. Suamiku berteriak-teriak memanggilku untuk keluar. Secara refleks aku berlari sambil tetap membawa sikat gigi di tangan. Susah sekali ketika aku harus berlari di atas tanah yang bergerak Tanah bergoyang tidak terlalu lama, sekitar 15 detik saja.. Di halaman sudah berkumpul anggota keluarga yang lain dan beberapa orang tetangga. Buku-buku di toko sampai berhamburan di lantai walaupun tidak semua. Setelah gempa benar-benar berhenti aku segera masuk ke dalam untuk mengembalikan sikat gigi.. Kami menunggu di halaman sampai pukul 21.30 BTWI kalau-kalau terjadi gempa susulan. Ternyata tidak ada. Syukurlah malam itu kami tidak perlu tidur di halaman.
Meskipun banyak orang bilang bahwa kota Manokwari sering mengalami gempa, aku baru mengalaminya satu tahun setelah kepindahanku ke sini yaitu tahun 2007. Aku baru selesai memasak saat itu. Gempa berlangsung sekitar hampir 1 menit dengan getaran seperti ayunan ombak. Aku benar-benar terkejut seperti kiamat sudah datang. Sambil berdiri di halaman dan berpegangan pada suamiku, aku berdoa memohon pertolongan Tuhan berulang kali. Sampai gempa berhenti pun aku masih gemetar dan tidak berani masuk ke dalam rumah.
Gempa – cukup besar – ku yang kedua terjadi pada pertengahan tahun 2008. Kalau tidak salah ingat aku juga sedang berada di dapur. Sementara duduk di kursi. Mula-mula aku merasa telapak kakiku bergetar ringan lalu semakin keras. Tanpa diperintah lagi aku lari keluar. Ketika aku kembali ke dalam rumah beberapa piring yang tadinya ada di meja sudah berada di lantai. Untungnya piring-piring itu bukan dari beling sehingga tidak pecah. Aku masih terkejut tetapi tidak sampai trauma seperti yang pertama.
Suatu minggu pagi, 4 Januari 2009, sekitar pukul 04.45 BTWI ketika sebagian besar orang masih tidur dengan pulas tanah kembali bergoyang dan memaksa orang-orang di Manokwari untuk berlari keluar rumah. Bisa dibayangkan betapa kagetnya kami karena dari posisi tidur langsung harus berlari. Aku dan suami berlari dalam gelap menuju pintu rumah. Aku bisa mendengar suara asbes atap rumah yang bergetar cukup hebat dan menimbulkan suara-suara mengerikan. Untuk membuka pintu suamiku memerlukan waktu kira-kira 3 detik tetapi rasanya seperti berjam-jam. Gempa hanya berlangsung sebentar. Karena pagi itu aku ke akan ke gereja pukul 07.15 maka aku segera mandi dan bersiap. Di gereja belum terlalu banyak orang. Sambil menunggu misa di mulai aku berbincang-bincang dengan seorang kawan tentang pengalaman gempa pagi tadi. Tidak disangka tiba-tiba tanah bergetar lagi dengan kekuatan lebih besar dari sebelumnya, menurut info sekitar 7.2 SR. Umat yang ada di dalam gereja langsung berlarian keluar. Kami sempat bergoyang bersama tanah beberapa detik. Di kejauhan tiba-tiba terlihat seperti asap putih naik ke udara. Ternyata Hotel Mutiara runtuh. Misa tidak jadi dilaksanakan dan kami pulang ke rumah masing-masing. Akibat gempa itu ada 2 hotel runtuh. Kami beruntung karena tidak ada korban jiwa akibat runtuhnya ke dua hotel tersebut. Malahan pemilik Hotel Mutiara sudah berencana untuk merobohkan hotelnya dan akan membangun yang baru tetapi terhambat masalah dana yang katanya hampir sama dengan biaya membangun gedung baru. Alam bermurah hati membantunya merobohkan hotel itu. Aku masih terkejut dan takut kalau tejadi gempa ketika sedang mandi. Seorang sahabat menyarankan aku untuk selalu membawa handuk ukuran besar kalau mandi. Ide yang bagus.
Suatu hari aku membaca sebuah wawancara dengan Pater Tromp (seorang pastur berkebangsaan Belanda yang sudah bertahun-tahun melayani di Papua) di Buletin Keuskupan Manokwari-Sorong entah edisi bulan apa di tahun 2009. Dalam wawancara itu Pater Tromp menjelaskan arti gempa dalam bahasa asli masyarakat Arfak (orang Papua yang tinggal di daerah kepala burung). Gempa atau tanah goyang bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat asli Papua yang masih tinggal di pedalaman. Tanah yang bergoyang adalah anugerah karena membuat buah-buahan masak berjatuhan dari pohon sehingga hewan-hewan liar seperti babi hutan bisa mendapat makanannya tanpa perlu merusak ladang. Orang-orang Papua bisa mendapatkan makanan tambahan berupa buah-buahan segar. Setelah gempa biasanya banyak ibu-ibu akan hamil. Mungkin karena berlimpahnya buah-buahan membuat mereka sehat dan bergairah. Karena rumah tradisional mereka – honei atau rumah kaki seribu – terbuat dari kayu, orang Papua tidak takut rumah-rumah itu akan roboh menimbun mereka. Bagi masyarakat pantai, jika terjadi tsunami, mereka akan mengungsi sementara ke tempat yang lebih tinggi dan akan kembali untuk memperbaiki atau membangun rumah berlabuh mereka yang rusak atau hanyut dibawa gelombang.
Setelah memahami konsep gempa bagi masyarakat tradisional Papua aku mulai mengubah pola pikirku tentang gempa. Aku sadar selama aku tinggal di Indonesia yang terletak dalam The Ring of Fire atau jalur gempa, gempa tidak terhindarkan. Sebenarnya jarang sekali gempa itu sendiri membunuh manusia seperti banjir atau lahar gunung berapi. Memang ada gempa yang menyebabkan tanah terbelah dan manusia di atasnya terkubur hidup-hidup tetapi hal itu amat jarang terjadi. Yang membunuh manusia adalah bangunan – hasil karyanya sendiri – yang roboh menimpa atau menimbunnya ketika gempa terjadi. Bangunan yang hanya terdiri dari batu bata tanpa tiang-tiang kayu atau besi baja sebagai pengikat di dalamnya. Bangunan yang didirikan tanpa perhitungan cermat bahwa tanah di bawahnya tidak pernah stabil.
Selain mengejutkan, gempa yang pernah aku alami selalu menjadi momen-momen berkumpulnya keluarga dan tetangga. Begitu gempa terjadi kami semua akan saling memanggil dan berlari ke halaman. Setelah gempa berhenti pun kami masih berkumpul, berbincang-bincang, bahkan jika masih takut untuk masuk ke rumah kami akan menggelar kasur dan tidur di halaman bersama-sama (mengingatkanku pada acara berkemah waktu masih jadi anggota Pramuka). Lalu kami akan saling bertelepon untuk menanyakan kabar keluarga dan teman yang tinggal agak jauh. Gempa membuat kami menyadari bahwa kami sudah cukup lama kurang berkomunikasi dam memikirkan satu sama lain. Gempa yang sering terjadi di Manokwari adalah peringatan alam bagi manusia untuk kembali memikirkan apa yang lebih penting daripada sekedar mengeruk kekayaan tanah Papua sebanyak-banyaknya, yaitu keluarga, tetangga, teman, sesama manusia. Bukankah ini berkat? Aku kira begitu.
5 comments:
abseeen
handuknya kalo bisa yg ukuran seprei king size ... :P
Apa gak tambah kesrimpet kalo mau lari?
kalo kesrimpet tinggal suruh si koko lari sambil narik seprei-nya aja ... hi hi hi
lumayan ngacak2 sini aja dweeeeeeeeh
enyak ga perlu refot ngurus blog ...
bakaaaaaaaaaaaaaaaaaaaar!!!
Gak nulis lagi ya bu? Apa gak pingin.....? Ngurus blog aja takut.... payah........
Post a Comment