Thursday, November 12, 2009

Aku, Hutang, dan Uang

Hari ini aku mau merayakan sesuatu. Bukan dengan makan-makan tetapi dengan mengabadikannya dalam tulisan ini. Kamis, 13 November 2009, 08.00 WIT, aku ke BNI untuk melunasi kredit yang kami ambil ketika memulai toko buku kami. Jumlahnya mungkin tidak besar bagi para pebisnis lainnya, tetapi bagi kami yang benar-benar memulai segala sesuatunya dari nol, Rp 65.000.000,- adalah nominal yang cukup membuat kami harus bekerja keras dan tidur tidak nyenyak. Yah, itulah yang aku rasakan selama 34 bulan yang lalu. Sambil mencetak rekapitulasi pembayaran tiap bulan aku memandang lembar demi lembar kopi slip setoran yang aku simpan rapi dalam folder. Rasanya tak percaya bahwa kami sudah berhasil mengembalikan modal awal toko buku ini. Dari yang aku baca di buku-buku bisnis, break even point (BEP) suatu bisnis yang baik adalah maksimal 36 bulan. Jika kami bisa mengembalikannya dalam waktu 34 bulan berarti toko buku kami tidak jelek kinerjanya. Kalau ditambah dengan nilai buku-buku yang masih ada di toko, buku-buku yang masih dalam pengiriman, dan uang tunai yang kami miliki, aku merasa bersyukur.


Merenungkan tentang modal (=uang) membawa pikiranku kembali ke masa-masa lalu. Aku ingat suatu kejadian ketika aku masih duduk di taman kanak-kanak, saat pertama kali aku mengenal uang. Suatu hari aku membawa 4 keping Rp 25,- dan menunjukkannya kepada ibu seorang temanku. Dengan lugu aku bertanya,”Ini berapa?” Ibu itu menjawab,”Rp 100,-.“ Aku terkejut. Bagiku yang masih berumur 4 tahun Rp 100,- sangatlah besar. Kalau dibelikan es ganefo bisa dapat 10 biji. Sejujurnya uang itu aku ambil diam-diam dari dompet mama dan sebenarnya aku tidak berniat ‘mencuri’ sebanyak itu. Lalu diam-diam aku kembalikan 3 keping dan hanya menggunakan 1 keping Rp 25,- untuk jajan. Semakin besar, aku semakin mengerti bahwa dengan uang aku bisa membeli banyak hal yang aku inginkan. Orang tua mengajarku untuk menabung dulu jika ingin membeli sesuatu. Aku pun bersaing dengan adikku (laki-laki) dalam memperbesar jumlah tabungan.. Sejak SD sampai SMA nilai tabunganku selalu lebih sedikit daripada tabungan adikku. Mungkin penyebabnya karena aku lebih tidak tahan godaan untuk berbelanja daripada dia. Pernah suatu kali kami ingin memiliki sepeda roda dua yang agak besar. Istilahnya ketika itu sepeda mini. Harga sepeda yang kami incar Rp 65.000,-. Tabunganku hanya Rp 20.000,- dan sisanya – yang lebih besar – adalah tabungan adikku. Biarpun begitu aku tetap merasa berhak 50% atas sepeda itu. Ha ha ha. Karena tahu bahwa adikku mempunyai tabungan, aku sering meminta bayaran darinya jika dia memintaku menyelesaikan tugas menggambarnya. Sampai suatu hari papa menasihatiku untuk tidak berbuat begitu. Kata-katanya yang aku ingat sampai sekarang adalah : “Berikanlah dengan cuma-cuma apa yang kamu dapatkan secara cuma-cuma.” Hatiku tersentuh. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi meminta bayaran jika membantu adikku.


Aku mulai berkenalan dengan kartu kredit pada akhir masa kuliah ketika aku sudah mendapatkan pekerjaan sampingan sebagai tentor siswa SMP dan SMA. Papa memberiku kesempatan untuk memakai fasilitas kartu tambahan dari kartu utama miliknya. Tentu saja dengan wanti-wanti agar aku tidak sembarangan menggesek kartu itu jika tidak benar-benar perlu. Aku merasa bangga sekali bisa mengantongi kartu kredit. Serasa menjadi konglomerat walau sebenarnya aku masih konglomelarat. Ha ha ha…. Aku memakai kartu kredit lebih banyak pada saat membeli baju-baju. “Kan bisa bayar mundur,”pikirku yang saat itu sudah sangat ngebet beli baju tetapi belum ada uang tunai yang cukup. “Bulan depan aku bayar dengan gajiku.” Kok aku bisa begitu yakinnya saat itu kalau bulan depan pasti dapat gaji, ya? Sekarang aku mengenali ini sebagai kebiasaan menggunakan uang yang belum ada di tangan. Menurut para ahli keuangan, kebiasaan ini adalah kebiasaan paling menjerumuskan ke dalam hutang kartu kredit. Untungnya aku bukanlah orang yang terlalu berani mengambil resiko. Aku selalu melunasi tagihan kartu kreditku walaupun aku tahu gajiku di bulan berikutnya tidak akan cukup untuk keperluan sebulan. Aku ngeri dengan ancaman papa bahwa kartu kreditku akan dicabut jika aku sampai tidak bisa membayar hutang. Aku merasa tidak pede berjalan tanpa kartu kredit, waktu itu. Seingatku aku termasuk pembayar hutang yang baik, deh. He he he.


Mungkin karena sering berbelanja dengan kartu kredit, jumlah tabunganku tidak pernah tembus angka Rp 3.000.000,-. Entah bagaimana walaupun sudah bekerja di perusahaan dan tetap menjadi tentor pada sore hari aku selalu merasa dalam kondisi krisis keuangan. Kalau pinjam istilahnya orang Manokwari : uang serasa tiba-berangkat. Artinya banyak masuk tetapi banyak juga yang harus dikeluarkan sehingga yang tersisa tidak banyak. Untungnya aku tidak suka berhutang pada teman-teman karena malu dan juga karena aku sendiri tidak suka memberi pinjaman (aku tidak berbakat menjadi rentenir atau membuka bank perkreditan). Kalau kepepet masalah financial biasanya aku berhutang ke mama atau adikku. Itulah untungnya mempunyai saudara gemar menabung. Ketika akan menikah, tabunganku hanya Rp 2.500.000,- dan hanya cukup untuk menyewa gaun dan biaya rias pengantin.


Memiliki suami membuatku harus ‘bercerai’ dengan kartu kredit. Kartu kreditku aku kembalikan ke papa. Selain itu aku malas untuk memiliki sendiri karena suamiku – yang lahir besar di kota kecil dan belum pernah merasakan nikmatnya jerat kartu kredit – sudah membaca tentang resiko memiliki kartu kredit dan memutuskan bahwa kami akan berbelanja dengan uang tunai. Sungguh Tuhan tahu suami seperti apa yang aku butuhkan. Konsekuensinya kami hanya berbelanja sesuai uang tunai yang kami miliki. Bahkan kami pernah hanya memiliki sebuah handphone – yang lebih banyak aku pegang – karena suamiku tidak mau membeli handphone secara kredit. Hasilnya, sejak hidup bersama suami, aku tidak lagi berada dalam krisis keuangan seperti dulu. Bukan karena suamiku seorang jutawan tetapi karena aku tidak pernah lagi berbelanja dengan uang yang belum aku miliki.


Kemarin malam aku dan suamiku berbincang-bincang tentang keuangan kami. Kami sudah sepakat untuk tidak mengambil kredit lagi. Kami akan mempergunakan keuntungan dari toko untuk mengembangkan usaha. Tentu saja kami harus merencanakan dengan teliti pengeluaran kami. Dari suamiku aku belajar untuk berpikir 10 x sebelum membeli sebuah barang konsumtif. Bahkan saat ini kami belum membeli kendaraan pribadi karena selain belum menjadi kebutuhan mendesak kami juga belum mau menambah pos pemeliharaan kendaraan dalam pengeluaran kami. Komputer yang kami miliki masih satu unit saja dan komputer ini bekerja untuk transaksi, promosi, dan administrasi toko, serta melayani kebutuhan kami berdua, menulis dan berinternet ria. Thanks to our tough computer.


Aku masih menganggap uang itu penting untuk menunjang kehidupanku karena uang bisa membeli banyak hal. Aku pun menyetujui saran Pak Robert K yang mengatakan bahwa kita harus membuat uang bekerja untuk kita. Bagaimana caranya aku membuat uang bekerja untukku? Langkah awalnya adalah aku harus bisa mengendalikan aliran uang yang datang padaku, mengaturnya sedemikian rupa sehingga pada saat uang itu datang dan pergi, jumlah yang tertinggal masih cukup berarti.


Menuruni tangga-tangga BNI setelah melunasi hutang kredit membuat langkahku menjadi ringan. Beban di kepala dan bahuku terlepas sudah. Bulan depan aku tidak ada jadual ke BNI lagi. Sssttt….. rasanya sebelas duabelas dengan orgasme…… ha ha ha……

1 comment:

anita said...

abseeeeeeeeeeeeeeeeeeeen