Memasak adalah suatu pekerjaan yang mampu menghadirkan keajaiban. Dari bahan baku mentah yang sangat sulit untuk dikonsumsi langsung, manusia bisa mengubahnya menjadi hidangan yang mengundang selera. Seperti siang itu, aku duduk di meja makan, menatap ikan goreng, sup brenebon, tumis kangkung, dan sambal terasi yang lahir dari tangan-tanganku. Walaupun sudah bisa menduga bagaimana hasil akhir dari masakanku, aku tetap saja tertegun kagum ternyata aku salah satu dari pembuat keajaiban itu.
Belajar memasak adalah proses yang mendewasakan bagiku karena di dalamnya terdapat air mata kesedihan, kekecewaan, sakit hati, kegembiraan, antusiasme, dan kebanggaan. Entah mengapa almarhumah ibuku tidak mendekatkan aku pada dapur. Seingatku, ibu selalu berusaha memasak bagi kami sekeluarga setiap hari. Bahkan di hari-hari istimewa ibuku membuat cake yang lezat. Ketika aku masih di sekolah dasar, aku senang membantunya memasak atau membuat kue. Semakin dewasa aku semakin jarang masuk dapur. Mula-mula disebabkan oleh jadual sekolah, kuliah, dan pekerjaan yang begitu menyita waktuku sehingga aku hanya ingin makan dan beristirahat begitu tiba di rumah. Rupanya ibu menganggap bahwa perempuan yang bisa mengenyam pendidikan universitas dan bekerja di kantor tidak harus bisa memasak karena masuk dapur identik dengan kulit tangan kasar dan kuku kusam. Saat itu aku setuju.
Aku tidak merasa ketidakmampuanku memasak merupakan suatu kekurangan yang harus aku perbaiki karena selama ini teman-temanku juga tidak ada yang jago memasak. Semuanya jago makan saja. Aku juga tidak pernah menutupi bahwa aku belum bisa memasak. Termasuk kepada mantan pacarku (yang sekarang jadi suamiku) aku berterus terang. Saat itu dia hanya menjawab : kamu kan bisa learning by doing. Ah, kata-katanya seperti embun sejuk di pagi hari. Aku tidak tahu pasti apakah dia memang yakin aku bakal bisa memasak ketika sudah menjadi istrinya atau hanya untuk menghibur diriku. Tetapi dia belum menyadari kata-kata itu membawanya menjadi ‘kelinci percobaan’ rasa masakanku di kemudian hari.
Tahun-tahun awal pernikahan kami habiskan di kota Malang, Jawa Timur. Kami tinggal dekat sebuah sekolah tinggi ilmu ekonomi dan kompleks sekolah katolik di mana warung-warung makan tersebar di berbagai penjuru. Aku sudah mulai belajar memasak dari majalah dan buku-buku resep. Tetapi sering kali masakanku tidak lolos sensor lidah suamiku. Jika sudah demikian dia akan mengajakku makan di warung atau depot atau restoran kalau kami baru gajian. Untung harga makanan di Malang termasuk murah meriah. Sambil makan biasanya aku berpikir kenapa aku masih gagal menghasilkan masakan yang enak padahal semua langkah di buku resep sudah aku ikuti sampai titik komanya? Belakangan baru aku ketahui bahwa buku-buku resep, mayoritas, diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah terbiasa memasak bukan untuk pemula sepertiku. Banyak trik-trik dan sifat-sifat bahan makanan yang belum aku pahami. Seperti ketika aku mencoba resep nasi goreng selalu terjadi salah satu dari dua hal ini: nasi terasa basah karena minyak goreng kebanyakan atau nasi kering sampai lengket di wajan. Masakanku tidak bisa masuk ke mulut tapi masuk ke tong sampah. Seharusnya aku melihat secara langsung orang memasak terlebih dulu sebelum mempraktekkannya.
Karena satu dan lain hal suamiku memutuskan bahwa kami harus pindah ke kampung halamannya, Manokwari. Tinggal bersama ayah, ibu, kakak, kakak ipar, dan adik-adiknya. Ditambah sepupu dan pekerja, orang-orang di rumah ini kira-kira ada 10 jumlahnya. Ibu mertuaku jago masak. Adik perempuan suamiku yang lebih muda 8 tahun dariku sudah terbiasa memasak untuk banyak orang. Istri kakak iparku juga bisa diandalkan dalam memasak. Di samping itu pembantu rumah ini yang datang dari kampung di Minahasa sehari-hari bertugas memasak. Semua wanita di rumah tidak menemui kesulitan dalam menyiapkan makanan, kecuali aku. Kenyataan ini membuatku terserang rendah diri akut. Aku semakin takut masuk dapur. Ibu mertuaku tidak terlalu mempermasalahkannya karena beliau mengerti latar belakangku tetapi pandangan dan komentar merendahkan sering terlontar dari pihak ipar-iparku. Seolah-olah aku hanya menjadi benalu di rumah. Tukang makan tapi tidak mau memasak. “Dewi memang perempuan intelek, tapi kalau tidak bisa masak buat apa.” Sebenarnya aku ingin belajar memasak dari mereka tetapi aku terlalu malu jika sampai melakukan kesalahan di depan mereka. Aku berharap memiliki dapur sendiri supaya aku bisa belajar memasak tanpa takut dicemoohkan.
Rupanya Tuhan mendengar doaku. Akhirnya aku dan suamiku menempati bagian rumah yang terpisah lengkap dengan dapur dan kamar mandi sendiri. Aku bersorak kegirangan. Tiba-tiba aku menjadi ratu di dapurku sendiri. Aku mulai mempraktekkan resep demi resep. Kesalahan demi kesalahan aku lakukan tetapi aku tahu bahwa dalam memasak berlaku practice makes perfect. Jika masakanku kurang berkenan di lidahnya, suamiku hanya meminta menu tambahan semangkuk mie instan. Apapun rasa masakanku, rasa mie instan bisa menutupi kekurangannya. Semakin lama, permintaan tambahan mie instan semakin berkurang karena aku semakin mengenal seleranya. Saat-saat memasak membuatku mampu melupakan waktu yang berlalu seolah-olah aku sedang mengadakan percobaan di laboratorium sains. Ilmu kimia, fisika, matematika, biologi, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris bisa diterapkan di dapur. Jika ditambah dengan semangat mengekplorasi dan kreativitas maka jadilah keajaiban yang memberi sensasi di lidah dan menguatkan badan. Buku-buku resepku sudah cukup banyak. Melaluinya aku belajar membuat masakan Manado, masakan Jawa, Chinese food, kue-kue tradisional dan masakan-masakan yang aku tidak ingat asalnya. Sekarang waktu yang aku butuhkan untuk memasak kian singkat. Jika dulu aku harus membaca resep berulang-ulang agar mengerti – ini yang menghabiskan waktu - sekarang aku hanya membaca tiga kali untuk resep baru, satu kali untuk resep yang sudah pernah aku praktekkan dan tidak perlu membaca lagi untuk masakan yang sering aku masak.
Aku bersyukur, walaupun agak terlambat, aku bisa memasak. Kemampuan memasak sangat tinggi nilainya di kota Manokwari. Tidak heran jika harga makanan di warung kecil bisa dua kali lipat harga di Jawa. Aku mendisplin diriku untuk memasak setiap hari karena dengan memasak aku mendapatkan keuntungan ganda yaitu penghematan dan bertambahnya kebanggaan diri. Aku akan memasak sampai tua karena bisa memasak itu anugerah.
8 comments:
bisa memasak itu capeeee
gara2 doyan masak, asal ada yg ultah biasanya aku yg masakin ...
ada acara keluarga, aku pasti masuk dapur, malah ga kluar2 ...
yg penting hemat dan sehat, tapi cape ... hikss
pertamaaaaxx ... yaelah, telat ... ha ha ha
absen dolo ...
anita : hader!
wisye : lagu nidurin bayinya
meli : lagi ngelap2 di toko, wakakaka
memasak ...
kadang masakanku jadinya tak enak
tapi tak memasak aku jadi cekak
memasak ...
salah ngulek tangan jadi bengkak
tidurpun jadi tak nyenyak
Pantun yang hebat......
ngece mode ON niy ...
Orang memuji kok dibilang ngece....
sekarang komennya nunggu ijin, wakakakaka ...
padahal baru mau bikin pantun mes** nih ... gyakakakaka
Dewiiii
bener kata Anita bisa memasak itu capek tapi juga jadi punya kenikmatan sendiri buat melebur rasa capek itu.Lega bisa mempraktekkan resep masakan dan bonusnya orang yang kita sayangi jadi suka makan.
hihihi
Post a Comment