Graciela berjalan menuju dapur yang pintunya sedang terbuka karena melihat aku ada di sana.
"Tante Dewi, ada kue?" pertanyaan yang selalu dia tanyakan setiap kali berada di dapurku.
"Mau markisa?" aku menawarkan setumpuk buah markisa yang kami dapat dari seorang teman yang tinggal di Kampung Kwau di pegunungan Arfak.
"Enak kah tidak?" gadis kecil berusia 6 tahun itu ragu-ragu.
"Enak. Rasanya manis asam. Cara makannya begini, buka kulitnya lalu makan semua biji-bijinya," aku menerangkan sambil mempraktekkan.
"Graciela mau!" serunya saat melihat aku menikmati markisa itu.
Lalu dia mengambil sebuah lagi dan merengek kepadaku,
"Tante Dewi, tolong buka, kah?"
"Buka sendiri."
"Graciela tidak bisaaaa, " rengeknya.
"Tekan kulitnya sampai pecah!"
Ternyata dia bisa membukanya dan mulai menikmati biji-biji bersalut itu sambil berjalan-jalan.
Beberapa saat kemudian Graciela datang kepadaku dan berkata,
"Tante Dewi, pinjam kaca kecil." Rupanya dia ingin melihat biji-biji yang berada di lidahnya. Setelah puas berkaca gadis kecil itu pergi.
Tidak berapa lama dia kembali lagi.
"Mama juga mau makan markisa."
Aku segera mengambil 3 buah lagi dan menerangkan kepadanya,
"Ini satu buat mama, satu buat bapak, dan satu lagi buat kakak."
Sambil tersenyum, dengan tangan penuh buah markisa, Graciela meninggalkan dapurku untuk membagi kenikmatan buah markisa – yang baru pertama kali dirasakannya – kepada orang-orang yang paling dia sayangi, orang tua dan kakaknya.
No comments:
Post a Comment