Batas antara benci dan cinta itu memang sangat tipis tetapi tidak mudah diseberangi dengan menggunakan metode, trik, tip, teknik, atau sarana apa saja yang berasal dari logika manusia. Karena batas itu hanya bisa ditembus oleh hati yang sudah tercerahkan.-- T.R. Dewi, 2011
Sampai hari ini aku masih takjub dengan perubahan perasaanku terhadap iparku itu. Aku mencoba menyayanginya pada awal perkenalan kami, lalu berubah menjadi tidak suka padanya ketika semakin mengenal dia dan sekarang aku menyayanginya sejak melihat dan menggendong bayinya. Bukannya aku tidak berusaha mematikan rasa benciku. Sudah banyak kali aku berdebat dengan diriku sendiri. Setiap ada kesempatan untuk pengakuan dosa, selalu hal itu yang aku bawa di hadapan pastor. Tetapi semakin aku menekan rasa benci itu semakin kuat dia bertumbuh. Sampai-sampai aku merasa 'alergi' mendengar suaranya.
Ketika dia mulai hamil, aku memastikan dalam hatiku bahwa aku tidak akan dekat dengan anaknya seperti aku dekat dengan keponakan yang lain. Memang betul cinta tidak bisa dipaksakan tetapi ternyata juga tidak bisa ditolak kehadirannya. Pada saat aku memandang bayi mungil itu aku jatuh cinta padanya dan cinta itu membasuh semua rasa benci dalam hatiku.
Aku melihat bahwa iparku mengalami perubahan yang mirip denganku. Beberapa kali dia berkunjung ke toko buku dan membawa bayinya. Mengijinkanku menggendongnya sambil iparku itu bercerita tentang hari-harinya sebagai ibu baru. Aku melihat dia secara berbeda sekarang. Sebagai orang yang baru, untuk siapa pintu hatiku terbuka dan tersedia tempat baginya di dalam.
Bukan hanya dia yang aku lihat sebagai manusia baru tetapi aku juga melihat diriku sendiri sebagai manusia baru yang sudah bebas. Hatiku ringan dan lega karena sudah sembuh dari kebencian yang membelenggu dan membuatnya sakit. Disembuhkan oleh cinta yang memerdekakan dan memulihkan.