Sunday, May 16, 2010

Berkat Utama Pernikahan

“Dewi, ini ada tamu yang mau cerita sama Dewi,” kata mami – ibu suamiku – di hari minggu siang yang gerah. Tamu siapa ya? Aku bertanya dalam hati, tapi aku bisa menebak kira-kira apa yang akan diceritakan tamu tersebut kepadaku. Setelah meneguk segelas air untuk mengusir dahaga aku bergegas menuju ruang tamu dan menemui tamu itu yang ternyata seorang ibu muda, orang Papua dari daerah Wasior.

“Ibu ini mau cerita sama Dewi supaya bisa punya anak,” mami membuka percakapan sebelum tamu itu bercerita. Aku mengangguk, benar tebakanku, dan mulailah sang ibu, - tamu itu – bercerita :

“Saya punya nenek ada tanaman daun kecil bisa bantu Ibu untuk punya anak. Daun-daun itu dimakan tapi harus dengan piring yang belum pernah dipakai, sendoknya juga harus baru. Sebelum makan Ibu harus berdoa dulu dan harus yakin Tuhan akan kasih apa yang Ibu minta. Nanti kalau sudah dikabulkan Ibu kasih derma ke gereja.”

Aku mendengarkan tanpa memotong cerita sang tamu itu.

“Kita orang kalau sudah menikah harus punya anak, karena suami kita butuh keturunan. Kalau tidak nanti suami akan cari istri lagi.”

Aku tetap mendengarkan sambil tersenyum. Heran sekali saat itu aku tidak terprovokasi oleh kata-katanya yang terakhir. Biasanya aku akan berargumentasi keras begini : lalu kenapa banyak suami yang sudah punya anak-anak lucu dan istrinya bisa langsing kembali tetap mencari istri baru? (Defense mode on)

Setelah aku lihat si ibu sudah selesai bercerita, aku berkata,”Ibu, terima kasih untuk informasinya. Tapi Ibu tidak perlu repot-repot, ya.” Maksudku tidak perlu repot bawakan aku daun-daun kecil-punya-neneknya-yang-bagiku-gak-jelas-tanaman-apa-yang-dia-juga-gak-bisa-kasih-tahu-namanya-karena-aku-gak-minat-beli-piring-dan-sendok-baru.

Akhirnya sang tamu itu pulang. Tinggal aku berdua dengan mami. Perbincangan pun kami lanjutkan. Aku beruntung mempunyai ibu mertua seperti mami yang tidak pernah mendesak-desak untuk mempunyai cucu dari kami.

Sore hari ketika sudah duduk manis di toko buku, secara tidak sengaja aku membaca sebuah artikel dari buku renungan Manna Sorgawi edisi Juli 2010. Kisah yang aku baca seperti ini :

Dalam sebuah rumah mewah, hiduplah sepasang suami istri yang harmonis dan hidup dalam kemapanan. Namun setelah sepuluh tahun menikah, mereka belum dikaruniai seorang anak pun. Sebenarnya mereka masih saling mencintai tetapi si suami berkeinginan menceraikan istrinya karena dianggap tidak mampu memberikan seorang pewaris. Setelah melalui perdebatan yang panjang dan sengit, si istri yang terluka akhirnya menyerah tetapi dengan satu syarat. Sebelum bercerai mereka harus mengadakan pesta seperti pesta pernikahan dulu. Ketika pesta berlangsung sang suami minum anggur sampai mabuk berat. Di tengah-tengah kemabukan itu ia berkata,”Istriku, saat kau pergi nanti, semua barang berharga atau apapun yang kau sukai, boleh kau bawa dan menjadi milikmu!” Setelah berkata demikian sang suami melanjutkan minum anggur sampai tak sadarkan diri.

Keesokan harinya ketika terbangun, si suami sadar bahwa ia tidak berada di kamar tidurnya. Ia sama sekali tidak mengenali tempat itu selain sosok yang sudah dikenalnya bertahun-tahun, yang tidur di sampingnya, yaitu istrinya. “Ada di manakah kita? Apakah aku masih mabuk dan bermimpi?” tanyanya. Dengan penuh cinta si istri menatapnya dan menjawab,”Kita di rumah orang tuaku. Tadi malam, di depan para tamu kamu mengatakan bahwa aku boleh membawa apa saja yang kusayangi. Di dunia ini tidak ada satu barang yang lebih berharga dan kusayangi dengan sepenuh hatiku selain kamu. Karena itu kamu kubawa ke rumah orang tuaku, karena kamu sudah mengizinkanku untuk membawamu!” Si suami termenung sejenak, kemudian ia bangun dan memeluk istrinya. “Maafkan aku, Sayang, aku begitu bodoh dan tidak menyadari dalamnya cintamu padaku. Walaupun aku telah menyakitimu dan ingin menceraikanmu, tetapi engkau masih mau membawaku bersamamu, dalam keadaan apa pun.” Suami istri itu mengalami pemulihan dan membuat komitmen baru untuk saling menjaga dan mencintai.


Aku termenung, hampir meneteskan air mata, lalu melanjutkan membaca. Di bagian akhir dari artikel itu tertulis begini : Dalam pernikahan…………….. berkat yang paling utama adalah pasangan kita, bukan anak. Anak adalah “new comers” atau pendatang baru yang merupakan berkat tambahan di dalam kehidupan suami istri, yang berkomitmen setia sampai maut memisahkan.


Hatiku terasa sejuk. Aku baru memahami arti kebahagiaan sejati pernikahan. Aku pun berkata dalam hati : Tuhan, terima kasih untuk pendamping hidupku, Leo Charles Roring, yang merupakan anugerah terindah yang Kau beri di hidupku. Amin.

Orang yang mengerti bahwa berkat utama dalam pernikahan adalah pasangannya, akan menikmati kebahagiaan

2 comments:

Dapur Kampung said...

aku terpana...jadi "membaca" menyeluruh.
Bahasamu halus dan indah bahkan untuk mengungkapkan hal yang mendasar pun halus...dan membuka hati.Tq ya Dewi.

Dapur Kampung said...

Membaca tulisanmu yang ini membuatku berulang2 "bermain" disini...dan bisa membongkar pasang catatanku tentang Menara-ku...masih aku seleseaikan bagian 1-nya...besok aku gali lagi untuk bagian 2-nya. *efek deactive Fb...jadi "bermain" dgn anak2mu*