Wednesday, December 17, 2008

Posesif

“Saya dulu kuliah di sini aja, Bu,” jawab sang teller muda dan cantik ketika aku tanyakan di mana dia dulu berkuliah. “Enak ya, nggak perlu jauh-jauh kerjanya,” sahutku. “Memang saya tidak mau jauh-jauh. Tidak bisa jauh dari mama,” jelasnya sambil tersenyum. “Puteri satu-satunya ya, atau anak tunggal?” tanyaku lebih jauh. “Saudara saya ada empat, tapi saya puteri satu-satunya. Ini buku tabungannya, Bu, terima kasih,” katanya sambil menyerahkan buku tabunganku sekaligus menutup pembicaraan kami.

 

Sepanjang perjalanan pulang aku termenung memikirkan percakapanku dengan sang teller tadi. Aku teringat mama. Aku juga puteri satu-satunya mama, tidak ada yang lain. Karena itulah mama agak posesif terhadapku. Di mulai dari membatasiku keluar rumah dan berteman, sampai aku mau kuliah pun tidak diijinkan ke luar kota. Bagi mama, sangat penting untuk bisa melihatku setiap hari. Tapi akhirnya datang juga waktuku untuk pergi jauh dari mama. Ya, setelah menikah.

 

Sikap posesif mama membuatku tidak nyaman. Yang pasti pengalamanku bergaul jadi terbatas. Karena itu aku sering terlalu naïf dalam menilai orang lain. Yah……… itulah mama. Masalahnya sekarang aku merasa aku pun secara tidak sadar sudah meniru sifat posesif itu. Apa ini ‘penyakit keturunan’? Yang menjadi korbanku adalah…………suamiku, belum ada yang lain, karena aku belum punya anak. Mau tahu satu contoh dari sifat posesifku? Aku suka mengatur-atur apa yang boleh dan tidak boleh dimakan suamiku. Jika suamiku melanggar, maka aku akan mengkritiknya langsung. Dan masih ada lagi contoh-contoh yang lain. Hasilnya, suamiku merasa ‘tertindas’ dengan sikapku ini. Akhirnya bisa ditebak…… pemberontakan.

 

Kesadaranku baru muncul hari ini. Ketika tiba-tiba terlintas dalam pikiranku perumpamaan Anak yang Hilang (The Prodigal Son). Yang menarik hatiku adalah tokoh sang Bapa yang baik itu. Ada beribu alasan bagi sang Bapa untuk menjadi posesif terhadap anak-anakNya. Tapi apa yang dilakukanNya adalah menghormati pilihan si anak, melepaskan dengan hati yang tetap berharap dan terbuka bagi anakNya untuk kembali. Itulah hati Bapa di surge. Jika Bapa yang maha kuasa dan sang pencipta tidak posesif terhadap anak-anakNya, kenapa aku malah bertingkah-laku sebaliknya? Tidak, aku mau meneladani Bapa di surge. Aku mau tidak menjadi posesif terhadap apapun yang boleh aku miliki saat ini.

 

Syukur atas pencerahan yang membebaskanku dari belenggu sifat posesif.

 

No comments: