Robert, sekitar pertengahan tahun 2001 melalui buku
fenomenalnya Rich Dad Poor Dad dan The Cashflow Quadrant.
Saat itu aku sedang bekerja di sebuah perusahaan IT
Training yang cukup berkembang dan aku sangat menikmati
pekerjaanku sebagai seorang account executive aka sales.
Sebuah pekerjaan yang mampu membuatku percaya diri dan
selalu bersemangat ke kantor setiap pagi. Sampai suatu
hari aku mendapati diriku sedang menekuni huruf demi
huruf, kalimat demi kalimat, halaman demi halaman dari
buku-buku Om Robert dan taraaaaa…………. seperti tongkat
sihir isi buku-buku itu membangunkan aku dari tidur
nyenyak yang panjang dan ketika bangun aku mendapati
diriku berada di tempat yang 'salah' sehingga aku harus
bergegas meninggalkannya menuju tempat yang 'benar'.
Om Robert dalam The Cashflow Quadrant berpendapat bahwa
aku berada di kuadran E atau employee alias pegawai. Suatu
tempat yang kelihatannya nyaman tetapi sebenarnya rapuh,
aku seperti berdiri di atas lapisan es yang setiap saat
bisa pecah dan hancur. Aku seolah mendengar Om Robert
berkata,
"Ayo Dewi, cepat pindah dari sini! Tempat ini tidak bisa
kau jadikan pegangan untuk masa depanmu!"
Aku yang bingung menjawab,"Aku mesti ke mana, Om? Ke
kuadrat S (self-employeed), B (business owner) atau I
(investor)?"
"Yang paling aman ya seperti saya," sahut Om Robert," jadi
business owner dan investor."
Aku cuma termangu dan menggaruk-garuk kepala yang
sebenarnya tidak gatal. Mau jadi business owner aku tidak
punya bisnis dan belum punya modal untuk berbisnis apalagi
mau jadi investor seperti Om Robert.
Entah bagaimana nasib berpihak padaku akhirnya aku
mendapat tawaran untuk menjadi salah satu owner dari
sebuah bisnis sekaligus pengelola hariannya. Tanpa
berpikir panjang aku langsung cabut dari pekerjaanku dan
segera melangkahkan kaki ke kuadran seberang, yaitu B
(business owner). Tralala trilili trelele trololo
trululu…… aku bernyanyi gembira, merasa lega karena telah
berhasil membawa diriku berpindah kuadran. "Quadrant B,
I'm coming!!!"
Aku seperti menaiki kendaraan berkecepatan cahaya dan
dalam sekejap aku mendapati diriku sudah berganti jabatan
dari seorang sales menjadi manajer sekaligus pemilik
sebuah kursus bahasa Inggris yang dibeli secara franchise.
Tapi…….. sebentar……. ada yang tidak aku duga sebelumnya.
Semasa menjadi pegawai aku bekerja mulai jam 8 pagi sampai
jam 12 siang, istirahat makan siang, lalu bekerja lagi jam
1 siang sampai jam 5 sore. Aku bekerja hari Senin sampai
Jumat saja. Di luar jam dan hari kerja aku bebas
menggunakan waktuku untuk kegiatan lain. Tetapi……. setelah
menjadi business owner, yang memulai segala sesuatunya
dari awal, jam kerjaku tidak menentu. Hari Senin, Selasa,
Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu pikiranku dipenuhi oleh
rencana-rencana bisnis yang tidak bisa berhenti aku
pikirkan. Kegiatan operasional seperti menyediakan
peralatan kantor seperti telepon, faks, komputer,
internet, meja, kursi, toilet, dan merekrut pegawai adalah
bagian dari tugasku, di mana ketika terjadi kebutuhan
atau masalah, semua mata terarah padaku meminta keputusan
dan tindakanku. Duh…… mana aku bisa santai seperti waktu
menjadi pegawai, di sela-sela jam kerja masih bisa
mengobrol dengan teman dan jika agak tidak enak badan bisa
langsung ijin. Butuh telepon tinggal memakai telepon
kantor, butuh komputer, aku tinggal mengajukan permintaan
bahkan butuh ballpoint pun aku hanya meminta. Kebersihan
toilet adalah tanggung jawab cleaning service, aku memakai
saja dan komplain kalau toiletnya kotor. Pada saat menjadi
pemilik bisnis aku bertanggung jawab untuk semuanya itu
meskipun bukan aku yang harus mengerjakannya.
Yang paling sulit bagiku saat itu adalah memberdayakan
sumber daya manusia yang aku miliki. Aku belum tahu
bagaimana memotivasi mereka untuk bekerja dengan
bersemangat dan mandiri. Kalau melihat mereka menganggur
sementara aku sibuk, tekanan darahku langsung naik dan aku
cenderung marah-marah. Apalagi ketika satu demi satu
karyawanku mengundurkan diri baik dengan cara sopan maupun
tidak, aku bisa terkena serangan jantung jika aku memiliki
jantung lemah.
"Om Robert, Om bilang kalau aku sudah berada di kuadran B,
berarti posisiku sudah benar, tapi kenapa aku seperti naik
roller coaster? Mana amannya, sementara aku mesti berjuang
untuk memenangkan kompetisi yang jauh lebih berat daripada
ketika aku masih seorang sales?" teriakku dalam kekesalan
dan merasa terperdaya. Namun suaraku seperti menghantam
tembok batu, tanpa jawaban, tanpa penjelasan. Sejak saat
itu aku membenci Om Robert. Bagiku Om Robert bertanggung
jawab atas ketidaknyamanan ini.
Tetapi aku malu untuk mundur lagi. Aku harus bertahan di
kuadran B walau menghadapi rasa sepi yang menggigit setiap
hari. Aku merasa sendiri, harus berjuang sendiri, bertahan
hidup bagi diriku sendiri dan bagi bisnis yang
dipercayakan kepadaku ini.
Rupanya usaha franchise kursus bahasa Inggris adalah
pelatihan awal bagiku. Kehidupan memaksaku untuk 'naik
kelas'. Aku dibawa ke sebuah tempat yang jauh, benar-benar
jauh dari semua yang aku kenal. Di tempat itu aku kembali
ditantang untuk tetap pada kuadran B atau kembali ke titik
awal yaitu kuadran E. Tidak mudah bagiku untuk tetap
bertahan di B, tetapi untuk kembali ke E aku tidak
berminat. Aku pun memutuskan untuk tetap di B dengan modal
awal yang hanya seperempat dari modal awal di bisnis
pertamaku. Aku memulai karir menjadi seorang pedagang
buku. Mengapa buku? Karena aku pecinta buku. Sebenarnya
berjualan rokok lebih cepat balik modal tetapi aku tidak
suka rokok, tidak suka melihat orang merokok dan tidak
suka bau asap rokok. Karena itu aku tidak mau berjualan
rokok.
Untungnya toko buku merupakan 'kelas lanjutan' dari
'sekolah bisnis'ku sehingga aku lebih siap menghadapi
beban pekerjaan yang ada. Kesepian bukan lagi momok,
bahkan aku bisa menikmati kesendirian karena aku mempunyai
lebih banyak waktu untuk berpikir. Sumber daya manusia
sudah bisa aku optimalkan sehingga tidak memboroskan dana
maupun emosiku. Begitu pula sumber daya lain yang ada.
Semakin hari aku semakin mencintai toko buku ini. Aku
menikmati bekerja di dalamnya. Aku bisa mengatakan bahwa
di setiap buku yang ada di rak terdapat pula cintaku. Aku
bercita-cita membuka dan memperluas wawasan masyarakat
yang ada di kotaku melalui buku-buku karena aku sudah
merasakan manfaat membaca buku.
Pada suatu pemesanan rutin, aku harus memesan buku Om
Robert yang berjudul Rich Dad Poor Dad dan The Cashflow
Quadran untuk memenuhi permintaan konsumen. Memegang
buku-buku itu kembali, pikiranku kembali ke masa lalu tapi
anehnya hatiku merasa damai. Kekecewaan dan kebencian yang
dulu aku rasakan pada Om Robert tiba-tiba sirna. Sebuah
kesadaran baru menerangiku, bahwa aku bisa sampai pada
kehidupanku sekarang karena kedua buku tersebut.
Sekarang aku bisa melihat gambaran besar dari jalan-jalan
yang harus aku lalui untuk menemukan pekerjaan ini.
Seandainya dulu aku tidak pernah membaca tulisan Om Robert
aku tidak akan pernah meninggalkan pekerjaanku dan
melompat menjadi seorang business owner. Seandainya bisnis
pertamaku tidak sesulit itu aku juga tidak akan
meninggalkannya dan membuka sebuah toko buku. Aku
beruntung mendapat kesempatan masuk ke 'sekolah bisnis' di
kehidupan nyata karena tanpa itu semua aku tidak akan
pernah mengenal diriku sendiri.
"Om Robert, terima kasih. Mungkin dulu aku salah
menafsirkan nasihatmu. Atau aku terburu-buru dalam membaca
sehingga tidak menangkap maksudmu secara lengkap.
Maklumlah Om, karena saat itu aku masih seorang gadis naif
yang mudah dipengaruhi. Tapi, maaf Om, bagiku sekarang
tidak ada lagi kotak-kotak kuadran seperti yang Om bilang.
Dalam pikiranku sekat-sekat pembatas kuadran itu sudah
hancur. Entah aku berada di E, S, B, atau I, selama itu
toko buku, aku berada di tempat yang tepat."
"Find a job you love, so you never work everyday"
(Confusius)
2 comments:
Dewi,aku malah dapat sisi romantisme Robert.T Kiyoshaki malah setelah membaca blog menawanmu...Tq
selama ini yg tertangkap cuma sisi materialisme ya? he he he.... aku juga baru bisa liat lucunya aku mengikuti om robert.
Post a Comment