Irene, biasa aku sapa Kak In, adalah seorang idealis, yang sudah bisa mengubah pola pikir sehingga bagi dia uang bukanlah ukuran keberhasilan juga bukan segala-galanya. Di sinilah titik temu aku dan dia. Berbicara dengan Kak In membuatku menyadari bahwa diriku pun bisa digolongkan idealis. Pengalaman hidup kami berdua menunjukkan bahwa kami lebih suka memilih jalan-jalan yang sukar daripada jalan-jalan yang mudah. Cenderung menempatkan diri pada kondisi yang berat, menantang tugas-tugas yang membutuhkan lebih banyak komitmen, daripada menerima kenyamanan. Dulu Kak In harus mengerjakan skripsinya lebih dari 3 tahun karena dia sengaja memilih dosen pembimbing perfeksionist dan materi yang sulit. Padahal sebelumnya Kak In sudah mendapatkan dosen pembimbing yang lebih senang mahasiswanya lulus cepat. Aku, dulu, sudah diterima di fakultas ekonomi manajemen Unair tetapi memilih belajar untuk UMPTN lagi demi bisa menjadi mahasiswa teknik ITS. Semua itu kami lakukan karena merasa tertantang untuk membuktikan bahwa dalam ukuran kemampuan, kami layak mendapat yang lebih. Kalau Bunda Teresa memilih yang sulit karena kerendahan hatinya tetapi kami berdua memilih yang sulit karena kesombongan. Buahnya adalah kami saat ini belum bisa menikmati hasil pekerjaan karena sibuk menaklukan tantangan demi tantangan yang mengaburkan fokus hidup kami. Hidup bukan lagi untuk berpetualang, itu kesadaran kami sekarang. Kami mau lebih memfokuskan energi pada apa yang sedang kami, masing-masing, kerjakan.
Kak In adalah perempuan gudang ide. Ide-idenya bagus dan banyak sampai-sampai dia tidak mempunyai cukup waktu untuk mewujudkannya. Hatinya mudah tersentuh melihat orang dalam kesulitan. Memang bukan uang yang dia sumbangkan, tetapi pikiran, tenaga, dan waktunya untuk mengatasi masalah tersebut. Ada seseorang yang mengalami kesulitan ekonomi, Kak In datang dengan ide bisnis warung makan sekaligus pendampingan. Meskipun akhirnya harus kecewa karena orang yang dibantu tidak sesemangat dirinya tetapi Kak In tidak pernah jera menyumbangkan solusi bagi orang-orang yang membutuhkan.
Bagiku, Kak In adalah partner diskusi tema-tema ‘berat’ seperti humanisme, perspektif gender, esensi kehidupan, teologi, tokoh-tokoh seperti Mangunwijaya, Henri Nouwen, Arswendo, Ayu Utami dan lain-lain. Dalam suasana santai dan ala girls talk, biasanya kami berbincang di dapurku sambil menikmati makan siang, masakanku, yang katanya bisa dia nikmati demi persaudaraan. “Kalau mau cari cita rasa ya kita makan di depot aja,” katanya.
Sebagai wanita lajang di usia yang mendekati 40, Kak In memiliki kestabilan emosi cukup bagus dalam menghadapi pertanyaan, sindiran maupun ejekan tentang pernikahan yang datang kepadanya. Sama seperti pandangannya tentang uang demikian pula tentang pernikahan, dia tidak mengikuti pendapat umum. Ketika suatu hari aku mengeluh karena tiba-tiba dilanda rasa minder karena kondisi ekonomi, Kak In mengingatkanku untuk tidak mengalami degradasi pola pikir tentang ukuran kesuksesan.
Kak In adalah jawaban doaku setelah hampir 3 tahun mencari seseorang yang bisa ‘klik’ denganku di sini. Perjuanganku seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Akhirnya aku bertemu juga dengannya, Irene, sepupu suamiku, sahabatku, oaseku.