"Dapat hadiah ulang tahun apa dari suamimu, Wi?" tanya seorang sahabat ketika kami bertemu di FB chat.
"Tidak ada hadiah, kami hanya makan bersama di luar," jawabku, "Bahkan pada hari itu dia lupa, sampai aku mengingatkannya."
Walaupun aku tidak melihat langsung ekspresi wajah sahabatku itu tapi aku bisa memperkirakan bahwa dahinya pasti berkerut karena selanjutnya dia bertanya, "Apakah kamu merasa bahwa itu cukup?"
Aku tersenyum kecil (yang juga tidak bisa dia lihat) dan menjawab, "Bagiku cukup."
"Salut deh aku sama kamu," jawabnya sebagai respon terakhir sebelum FB Chat kami terputus.
Aku pernah membaca suatu quote yang bunyinya kira-kira begini : "Setiap orang mengekspresikan cinta dengan caranya sendiri." Setelah 8 tahun hidup bersama suamiku, akhirnya aku menyadari bahwa ekspresi cintanya unik. Dia bukan orang yang akan menyanyikan sebuah lagu cinta, memberikan rangkaian bunga, atau mengirimkan hadiah-hadiah kejutan yang mahal. Dia mempunyai ekspresinya sendiri.
Ekspresi cinta paling awal yang aku rasakan adalah bagaimana suamiku membuat aku merasa bangga terlahir sebagai seorang Tionghoa di Indonesia. Di mana selama bertahun-tahun aku merasa asal usulku itu menjadi suatu 'halangan' dalam banyak hal. Melalui siaran televisi antena parabola, dia menunjukkan padaku bahwa bangsa-bangsa oriental adalah bangsa-bangsa dengan budaya tinggi dan sejarah yang panjang. Hasilnya aku bersyukur menjadi seorang Tionghoa yang lahir dan hidup di Indonesia.
Ketika kami membuka sebuah kursus bahasa Inggris di Malang dulu, aku belum lancar berbicara dalam bahasa Inggris. Suamikulah yang memaksa aku untuk berlatih. Bahkan dia pernah tidak mau menjawab pertanyaanku jika aku tidak menggunakan bahasa Inggris dan aku diharuskan menonton televisi berbahasa Inggris setiap hari untuk melatih listening dan pronounciationku. Tentu saja aku sebal setengah mati saat itu. Tapi aku menyadari apa yang dimintanya itu tidak salah. Hasilnya sekarang aku bisa berkomunikasi dengan para wisatawan yang datang ke rumah tanpa ragu-ragu dan tidak sedikit dari mereka yang berkata bahwa bahasa Inggrisku bagus.
Di tahun 2008 aku mulai mengeluh jenuh dengan pekerjaan di toko buku dan membutuhkan sesuatu yang lebih menarik. Suamiku memperkenalkan aku pada blog. Aku disarankannya menulis. Bahkan ketika aku belum bisa menghasilkan tulisan, dia menyediakan tulisan-tulisan bagus yang bisa aku publikasikan sebagai tulisan awal di blog pertamaku, Woman Matters. Sampai akhirnya aku bisa membuat tulisan sendiri di blog ini.
Untuk kepastian finansial masa depan, suamiku tidak memberikan sebuah polis asuransi jiwa dengan namanya padaku. Tetapi dia sekali lagi memaksaku belajar. Aku harus bisa membuat toko buku online. Sebuah toko yang bisa aku bawa ke mana-mana karena tidak tergantung pada suatu gedung. Awalnya hal ini cukup membuatku sakit kepala.Selama ini aku terbiasa memakai teknologi blog yang tinggal mengisi saja. Tetapi toko buku online ini mengharuskan aku membeli sebuah domain name dan menyewa webhosting. Lalu men-set-up software Zen Cart di mana aku harus membuat beberapa penyesuaian yang diperlukan agar sesuai untuk toko onlineku. Semua itu harus aku lakukan sendiri dengan bekal sebuah e-book yang sudah didownload dan dicetak oleh suamiku. "Toko buku online ini harus jadi," katanya. Tanggal 27 Januari 2011 'lahir'lah http://toko-buku-online-sapphire.com . Aku berterima kasih padanya karena dia sudah memberiku suatu warisan, bukan berupa 'ikan' tetapi 'kail'.
"Apakah hal-hal itu cukup bagiku?"
Jika suamiku masih bersamaku sampai hari ini, masih tidak keberatan dengan tampang dan bauku ketika baru bangun tidur di pagi hari, masih bisa bertoleransi dengan ketidakmahiranku memasak, masih lebih suka dipijat olehku daripada oleh orang lain, masih suka berdiskusi denganku sampai jauh malam, tidak menganggap belum hadirnya buah hati di tengah-tengah kami sebagai suatu kesialan, dan masih banyak lagi kebaikan-kebaikan sederhana yang dia lakukan setiap hari, apakah yang harus aku tuntut?
Itulah ekspresi cintanya.
No comments:
Post a Comment