Sampah selalu menjadi masalah di semua tempat di dunia, termasuk di Manokwari. Pemerintah daerah kesulitan mendapatkan tanah sebagai TPA (tempat pembuangan akhir) karena harga pembebasan tanah adat yang tinggi dan - mungkin juga - karena masyarakat pemilik tanah adat tidak mau menyerahkan tanah leluhur mereka untuk dijadikan tempat pembuangan sampah (ini perkiraanku sendiri). Karena itu sampah menjadi tanggung jawab masing-masing rumah tangga dan cara yang paling mungkin - meskipun bukan yang paling tepat - kami lakukan adalah dengan membakarnya.
Setiap dua hari sekali aku menaruh sampah dari rumahku di sebidang tanah kosong yang tidak terlalu besar di samping rumah kami, yang memang dikhususkan untuk tempat sampah. Tidak lupa aku membawa sedikit minyak tanah dan korek api. Setelah menyiramkan minyak tanah ke atas sampah tersebut aku mulai menyulutkan apinya. Dalam sekejap api menyala. Tetapi tugasku belum selesai sampai di sini. Aku masih harus menjaga agar api itu tidak cepat padam dan mengatur sampah-sampah yang berada di bagian bawah supaya bisa terbakar juga. Aku harus memastikan bahwa semua sampah telah menjadi abu. Ada benda-benda yang mudah terbakar dan ada pula yang tidak mudah disulut api. Ada benda-benda yang cepat menjadi abu tetapi ada pula yang membutuhkan waktu untuk hancur.
Membakar sampah memberiku kesempatan untuk merenung tentang sampah yang ada di hatiku. Kemurungan, merasa diri sebagai korban, kebencian, iri hati, dendam, kesombongan, kelekatan adalah sampah karena hal-hal tersebut tidak berguna dan malah menjadi beban bagi perjalanan hidupku. Ruang hatiku terasa sesak sehingga cinta menjadi terdesak ke pinggir dan tidak mendapatkan tempat yang layak untuk bertumbuh. Secara rutin aku harus membuang dan membakar sampah hatiku dengan cara merenung, berdoa, mengafirmasi diri dengan kata-kata yang membangun, berdialog dengan diri sendiri, mendisiplin pikiran untuk tidak kembali lagi menumpuk sampah dan mendekatkan diri pada alam.
Tetapi tidak semua sampah hati mudah untuk dilenyapkan. Aku harus kembali untuk membakarnya lagi, lagi, dan lagi. Ketika sampah hati itu sudah benar-benar hancur, aku bisa merasakan kelegaan karena hatiku kembali lapang sehingga ada tempat yang lebih luas untuk cinta bertumbuh bagi kehidupan.
Ruang hatiku ada dalam otoritasku. Terserah aku bagaimana mau mengaturnya. Apakah aku akan menumpuk sampah yang busuk dan berbau atau memberi tempat seluas-luasnya bagi cinta untuk bertumbuh dan memancarkan keharumannya? Aku memilih cinta.