Taksi air yang tidak bisa ditentukan kapan datangnya, membuat kami dari Pulau Mansinam yang hendak ke Manokwari harus bersabar antara setengah sampai satu jam. Menunggu taksi air memberiku kesempatan untuk belajar sesuatu hari ini. Beruntung sekali pemandangan dari tempat tunggu taksi air ini bisa dikatakan spektakuler. Di depan kami terpampang lautan biru dengan pantai berpasir putih dan pohon-pohon kelapa yang eksotis. Di kejauhan kota Manokwari terlihat hijau karena Hutan Gunung Meja yang melatarbelakanginya. Tetapi lebih dari semua pemandangan yang menyamankan mata itu aku mempunyai waktu yang cukup untuk mengamati anak-anak Pulau Mansinam yang sedang bermain. Sebagian anak bermain lempar bola pasir dan sebagian lagi berenang. Permainan sederhana, tanpa biaya tetapi mampu memberikan kegembiraan dan kesempatan belajar bagi mereka.
Pandanganku tertumbuk pada seorang balita perempuan yang sedang bermain di air sendiri. Aku tidak melihat ada orang tuanya di sekitar situ. Balita ini terlihat sesekali bertepuk tangan jika salah satu dari anak-anak yang lebih besar yang sedang berenang juga melompat ke air. Mungkin salah satu atau beberapa dari mereka adalah kakak dari balita ini. Ternyata dia tidak sekedar menonton tetapi juga belajar berenang dengan caranya sendiri. Dia berbaring tengkurap menghadap ke pantai sambil menggerak-gerakkan kakinya yang tercelup dalam air. Aku terpukau melihat caranya belajar berenang. Sang balita perempuan itu memunculkan kecerdasan alamiah yang tidak terduga bagiku. Atau mungkin dia teringat kembali saat-saat berenang dalam cairan amniotik ketika masih berada dalam rahim ibunya. Setelah bosan belajar berenang dia keluar dari air dan mulai bermain pasir. Anak-anak itu – yang bermain lempar bola pasir maupun berenang - bermain dengan bebas dan tanpa beban. Menyenangkan sekali menjadi mereka.
Tidak terasa taksi air sudah tampak di depan mata. Sebentar lagi kami akan dibawa pulang ke Manokwari. Menunggu memberiku kesempatan untuk belajar melambat dari alam. Belajar tidak selalu melihat jam dan handphone. Belajar untuk hadir sepenuhnya pada saat ini (being present). Melatih diriku untuk hanya memikirkan apa yang dihadirkan di depan mataku dan tidak membiarkan pikiranku melayang pada urusan-urusan lain yang sebenarnya tidak mampu aku tangani selama aku menunggu. Menepis segala rasa tidak sabar yang hanya akan membuatku kehilangan kesempatan menyadari anugerah yang tersamar dari kesempatan menunggu.
Menunggu membuatku belajar untuk berserah, pasrah, dan mempercayai bahwa alam itu baik, bahwa Tuhan itu baik dan segala sesuatu akan hadir tepat pada waktunya.
1 comment:
Dewi, Betapa Beruntungnya dirimu bisa menikmati pantai2 indah ;-)
btw fotonya gak kalah dengan foto di femina edisi awal Desember ini.
Terima kasih ya selalu berbagi indahnya Papua
Post a Comment