Membaca tulisan seorang sahabat lama di Kompas Komunitas yang berjudul “Jangan Panggil Aku Cina”, telah membangkitkan memori yang sudah lama aku lupakan. Kenangan yang tidak terlalu menyenangkan di masa-masa aku tinggal di Surabaya. Mirip seperti yang sahabatku itu tulis begitu juga apa yang aku alami. Mulai dari yang kasar berupa pelecehan verbal seperti,”Hei Cina, pulang saja ke negaramu!” sampai hanya sekedar tatapan aneh tidak terlalu bersahabat. Orang tuaku, yang mungkin waktu itu masih trauma dengan peristiwa 1965, menganjurkan kepadaku untuk tidak terlalu menunjukkan bahwa aku Cina. Apalagi ditunjang dengan penampilan fisikku yang memang tidak terlalu Chinese look. Nama keluargaku yang dieja Tjan harus diubah menjadi Tjandra agar terdengar lebih Indonesia. Padahal artinya saja tidak bersinggungan sedikitpun.
Aku terbiasa untuk menyembunyikan identitas keturunan selama di sekolah. Entah teman-temanku tahu atau tidak tapi aku tidak pernah mau membicarakan secara terbuka bahwa aku Cina. Aku takut tidak bisa diterima di lingkungan sekolah-sekolah negeri yang mayoritas diisi oleh siswa-siswa pribumi. Karena terbiasa menyembunyikan identitas itulah aku mulai, secara diam-diam, membenci diriku karena telah terlahir sebagai orang Cina. Di masa remaja yang penuh gejolak pencarian identitas diri, aku mengalami penyangkalan identitas yang seharusnya aku belajar untuk menemukan dan mencintainya.
Suamiku, seorang Kawanua asli, adalah orang pertama yang membangkitkan rasa percaya diriku dengan identitasku itu. Tidak bosan-bosannya dia menceritakan bagaimana budaya orang Cina yang begitu tinggi di masa lalu yang membawa kemajuan luar biasa di masa sekarang. Suamiku dan aku suka menonton acara televisi Cina, Korea, Jepang yang berbahasa Inggris seperti CCTV 9, Arirang dan NHK. Semakin lama aku semakin dibuat kagum oleh budaya-budaya oriental yang dulu tidak aku sukai . Aku membayangkan, seandainya orang-orang di sekitarku dulu mengerti tentang hal ini tentu tidak akan ada pelecehan verbal yang diucapkan penuh kebencian tanpa alasan jelas. Seandainya dulu aku mengerti bahwa aku berasal dari bangsa berbudaya tinggi, tentu tidak perlu aku menyembunyikan identitasku di hadapan orang lain. Syukurlah masa pencerahan itu sudah tiba dan aku yakin sedikit demi sedikit telah terjadi perubahan dalam sistem masyarakat pribumi kita.
Saat ini aku dan suamiku tinggal di Manokwari, Papua Barat. Penduduk pribumi di tempat ini berkulit hitam, berambut keriting, berbadan besar dan primitif – sebutan dari kita orang-orang kota besar. Sebagian besar orang Papua asli tertinggal dalam pendidikan dan informasi. Tetapi ada satu hal menarik, mereka bisa menerima para pendatang yang hidup di tanah mereka. Orang Cina, Manado, Bugis, Ambon, Toraja, Jawa, Bali dan masih banyak lagi diterima dengan terbuka tanpa perlu mempertanyakan atau menghina identitas keturunannya asalkan bisa hidup dengan damai bersama mereka. Ketika sekarang orang bertanya kepadaku, tanpa beban aku bisa menjawab,”Saya orang Cina Surabaya.” Maksudnya keturunan Cina yang besar di Surabaya dan sekarang tinggal di Manokwari. Keterbukaan hati menerima identitas orang lain ternyata tidak ditentukan oleh seberapa majunya atau primitifnya suatu bangsa tetapi ditentukan oleh kesadaran bahwa semua bangsa yang berbeda-beda itu adalah karunia Tuhan untuk keindahan alam semesta. Seperti pelangi yang tidak pernah indah jika harnya satu warna saja.