Seberapa sering kita mengabaikan orang-orang yang ada di sekitar kita? Seberapa sering kita tidak terlalu memperhatikan keluarga dan teman-teman yang berada di dekat kita? Sering bahkan sangat sering. Acapkali kita ‘take them for granted’ karena tanpa kita minta dan usahakan, mereka sudah berada di dekat kita, hIdup bersama dan kadang-kadang menjengkelkan kita. Kita baru mengerti arti kehadiran mereka, biasanya, setelah mereka tidak ada bersama kita lagi. Entah karena meninggal dunia atau karena pindah tempat tinggal. Begitu pun yang aku alami dengan mama.
Sepanjang ingatanku, aku dan mama tidak terlalu akrab. Memang kami berdua hidup di bawah satu atap selama kurang lebih 27 tahun. Tetapi bagiku tidaklah mudah untuk berbagi rasa dengannya. Ketika mulai menginjak remaja, pada saat aku mencoba mencurahkan isi hatiku kepada mama, beliau lebih sering memarahiku karena menurutnya apa yang aku pikirkan itu tidak baik dan nasihat yang diberikan mama bagiku seperti perintah dari seorang diktator kepada rakyat yang tidak berdaya. Akhirnya aku cenderung menutup diri. Komunikasi kami hanyalah sebatas urusan sehari-hari seperti makanan, pakaian, kebersihan rumah dan belanja. Pada saat aku menikah dan pindah ke kota lain, aku merasakan kebebasan yang selama ini tidak aku dapatkan di rumah. Tetapi sejak aku pindah, mama sering menangis karena merindukan aku. Cukup heran aku dibuatnya. Lalu aku dan suamiku pindah lagi ke pulau di ujung timur Indonesia ini.
Setelah dua tahun tidak bertemu, liburan natal dan tahun baru 2007 aku dan suamiku berkesempatan berlibur di rumah orang tuaku. Aku senang bisa bertemu mama dan papa. Entah mengapa ketika liburan itu aku merasa jengkel dengan perlakuan orang tuaku yang sepertinya menilai bahwa hidup kami kurang berhasil di mata mereka. Aku pun beradu argumentasi dengan papa sedangkan mama hanya mendukung papa. Karena jengkel aku memilih menghindar membahas masalah tersebut.
Suatu hari, di atas meja rias di kamar tempat kami menginap, aku menemukan obat jerawat berbentuk tube. Aku tahu ini dari mama karena melihat ada sebuah jerawat besar di pipiku. Mama tidak berani menyuruhku memakai obat itu. Beliau hanya menaruhnya di atas meja dan berharap aku melihat dan memakainya. Tetapi aku tidak menyentuhnya sama sekali karena kejengkelan yang masih menguasai hatiku. Aku merasa diperlakukan seperti anak kecil yang harus diberi ini dan itu, diperintah ini dan itu. Ketika kami pulang kembali obat jerawat itu aku bawa. Dua puluh lima hari setelah kepulangan kami, mamaku meninggal dunia karena kecelakaan.
Setiap kali memandang obat jerawat berbentuk tube pemberian mama itu, hatiku sedih. Betapa pun menjengkelkannya beliau bagiku, aku belum sempat mengucapkan terima kasih untuk kasih sayang, perhatian, pengorbanan mama selama hidupku bahkan untuk obat jerawat itu. Tetapi sudah terlambat untuk menyesalinya. Aku hanya bisa berdoa agar mama beristirahat dengan damai.
Waktu yang sudah berlalu tidak bisa kembali. Tidak selamanya apa yang menjadi milik kita sekarang akan tetap menjadi milik kita karena kita tidak pernah tahu kapan orang-orang itu akan pergi. Pergunakanlah setiap hari untuk mengucap syukur dan mencintai orang-orang yang ada di dekat kita.