Sejak menetap di Manokwari – Papua Barat, aku jadi menyadari bahwa selama 29 tahun hidup di tanah Jawa, aku belum pernah mengunjungi kota budaya-tujuan-wisata, Jogjakarta. Ketika mendapatkan kesempatan untuk berlibur selama 10 hari di Surabaya, aku menetapkan hati untuk berkunjung ke Jogja bersama seorang saudaraku – Retno Dewi . Maka mulailah aku – Ratna Dewi – berpetualang di Jogja.
Pukul 21.30 WIB kami sudah duduk rapi di bis Eka yang meluncur dari terminal Purabaya menuju Jogja. Karena sudah memasuki jam tidurku maka aku segera terlelap. Retno masih terjaga sampai bis Eka berhenti di Restaurant Duta untuk beristirahat setelah kurang lebih 3 jam perjalanan dari Surabaya. Aku dan Retno tidak memesan makanan sehingga kami hanya ke toilet dan berjalan-jalan di sekitar restaurant untuk melemaskan otot-otot. Kata Retno, aku tidur seperti pohon tumbang, miring ke kanan dan ke kiri. Nah, pas miring ke kanan aku menimpa bahunya. He he he sori mbakyu… Pantas saja leherku terasa sakit sehingga setelah tiba di Jogja aku harus membeli koyo' tempel.
Begitu kembali duduk di bis, aku pun melanjutkan tidur yang terpotong tadi. Sampai aku merasakan tepukan Retno yang sedang ngomong : "Bangun, sudah sampai." Lho, kok cepat ya. Ternyata sudah 3 jam aku tidur. Pak kondektur berteriak-teriak : "Janti! Janti! Yang mau turun Janti!" Sambil terkantuk-kantuk aku mengangkat travel bag mengikuti Retno turun dari bis. Setelah berdiri di pinggir jalan tikungan Janti, di bawah jalan layang, pada pukul 04.00 WIB aku baru menyadari Retno juga tidak tahu dengan pasti kami harus turun di mana. Aku mendengar dia berbicara dengan seorang bapak dan menanyakan nama beberapa tempat. Akhirnya kami menumpang taksi bapak tersebut dan turun di jalan Malioboro. Menurut Retno, orang yang seharusnya menjemput kami belum bisa dihubungi, karena mungkin masih tidur.
Tiba di jalan Malioboro yang masih sepi, Retno mengajakku untuk berfoto di bawah nama jalan MALIOBORO. Katanya sebagai bukti bahwa aku sudah menginjakkan kaki di Jogja. Dengan tampang awut-awutan dan menenteng travel bag aku pun berpose. Lalu kami naik becak menuju Alun-alun Kidul untuk melihat pohon beringin kembar yang tersohor itu. Daerah tengah dari kedua pohon tersebut becek karena habis hujan semalam, sehingga kami tidak jadi mencoba melewatinya sambil menutup mata. Lalu kami melanjutkan perjalanan dengan becak tersebut ke daerah Wijilan untuk sarapan gudeg.
Selesai makan gudeg Retno dan aku, masih dengan becak yang sama, menuju ke gereja Katolik Kota Baru. Kami mengikuti misa pertama yang ternyata berbahasa Jawa halus. Aku nyaris tidak mengerti apa-apa. Karena lelah dan tidak mengerti itulah aku beberapa kali hampir jatuh tertidur. Untungnya misa tidak berlangsung lama. Selesai misa, Retno mencoba menghubungi kenalannya yang akan menjadi guide kami. Pukul 07.00 WIB sang guide datang bersama mobil sewaan kami. Namanya Ian, cowok cukup keren, mahasiswa jurusan Bahasa Inggris Sanata Dharma semester 7.
Tujuan pertama kami adalah Sendang Sono. Di tengah jalan Ian menunjukkan sebuah pasar tempat orang berjualan kerupuk belut. Mobil berhenti karena kami mau berbelanja. Tetapi aku tidak jadi membeli karena ketika mencicipi tenggorokanku langsung gatal dan aku batuk cukup lama. Sepertinya kerupuk belut itu bukan jodohku :p. Setibanya di Sendang Sono, hal pertama yang kami lakukan adalah mencari kamar mandi karena aku dan Retno belum mandi pagi. Selesai mandi kami berjalan-jalan melihat aktifitas pengunjung Sendang Sono yang cukup ramai karena hari itu bertepatan dengan penutupan bulan Maria.
Perjalanan kami lanjutkan ke Candi Prambanan. Tetapi sebelumnya Ian mengajak kami untuk makan siang di daerah kampus Sanata Dharma. Makan gado-gado dan lotek. Karena orang Jogja suka manis maka bumbu lotek yang aku makan pun juga manis. Cukup enak dan mengenyangkan. Melihat mahasiswa yang begitu banyak makan di tempat itu aku jadi rindu kembali ke masa-masa sebagai mahasiswa.
Candi Prambanan sebelumnya hanya aku lihat di buku pelajaran. Ketika berhadapan langsung dengan bangunan megah itu hatiku bergetar juga. Orang Jawa memang berbudaya tinggi. Sebagai orang yang kadang-kadang terkena earthquake-phobia (kalau ada) rasa ngeriku timbul ketika melihat foto-foto kondisi Candi Prambanan setelah gempa di Jogja. Stupa-stupa yang sebesar gentong dan berat itu berjatuhan dari tempatnya yang tinggi. Aduh, bagaimana rasanya kalau ketika aku di sana lalu gempa lagi?
Karena di Candi Prambanan udara cukup panas dan matahari menyengat kulit, aku mengusulkan untuk pergi ke tempat yang dingin. Pak sopir kami segera mengarahkan mobilnya ke Kaliurang. Dari Prambanan ke Kaliurang hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Sopir kami ini rupanya sudah terbiasa mengantar turis baik lokal maupun bule. Aku geli mendengar dia mengucapkan Bahasa Inggris dengan logat Jawa yang kental. Tidak masalah yang penting tamunya mengerti. Tiba di Kaliurang langit mendung tebal dan dalam waktu beberapa menit hujan turun dengan derasnya. Udaranya dingin sekali dan sangat kontras dengan udara di Prambanan. Kami makan bakso untuk mengimbangi dingin ini. Karena hujan kami duduk-duduk saja sambil menikmati sejuknya angin. Dari Kaliurang kami kembali ke hotel untuk mandi sebelum melihat kota Jogja di waktu malam dengan berjalan kaki.
Ini yang Retno sudah rencanakan sejak dari Surabaya yaitu mengajakku makan nasi kucing di angkringan. Duduk di tikar di pinggir jalan sambil makan nasi bungkus dalam porsi kecil ditemani minuman hangat memang memberikan nuansa yang berbeda. Aku, Retno dan Ian ngobrol sambil makan. Suasananya benar-benar santai. Kesantaian yang belum pernah aku temukan di kota-kota lain walaupun agak terganggu dengan pengemis-pengemis yang datang silih berganti. Selama kami makan itu hanya ada 1 kelompok pengamen yang datang menghibur. Lagu yang mereka bawakan cukup bagus.
Pukul 21.00 WIB kami berjalan kaki melewati jalan Malioboro untuk kembali ke hotel. Sepanjang jalan aku melihat para pedagang kaki lima sedang merapikan barang dagangan mereka untuk dibawa pulang. Untung sebelum makan tadi aku sempat berbelanja dengan dibantu Retno yang mahir berbahasa Jawa halus untuk menawar harga. Ternyata kemampuan berbahasa Jawa halus bisa membuat kami mendapat harga yang lebih murah daripada orang yang menawar menggunakan Bahasa Indonesia.
Tiba di hotel aku langsung tidur sementara Retno masih berbincang-bincang dengan Ian dan seorang kawan mereka yang datang berkunjung. Aneh, walaupun hotel ini tempat baru bagiku tapi aku bisa langsung tertidur dengan pulas. Bahkan aku tidak mendengar Retno masuk ke kamar pada tengah malam. Kata Retno aku bukan hanya tidur seperti bayi tapi seperti orang mati….:p Besok kami akan pulang ke Surabaya. Tetapi
sebelumnya kami akan mengunjungi Keraton.
Memasuki kawasan Keraton dengan becak yang bergerak perlahan-lahan sungguh suatu pengalaman yang membekas di hatiku. Sepanjang jalan tukang becak itu menjelaskan beberapa hal tentang Keraton. Terkadang memakai Bahasa Indonesia tetapi lebih sering memakai istilah-istilah Jawa halus. Karena Keraton baru buka pukul 10.00 WIB kami berkeliling di perumahan para abdi dalem. Lalu menuju ke Taman Air dan Mesjid yang katanya berada di bawah air. Retno dan aku diantar oleh seorang guide yang dulunya adalah seorang pembatik dan pernah menjadi guru batik bagi beberapa orang Eropa. Ketika hampir pukul 10.00 WIB kami menuju ke Keraton. Di tengah jalan aku melihat ada penjual es dawet yang dawet dan cincaunya terlihat menggiurkan. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan minum es dawet cincau karena di Manokwari tidak ada yang seperti ini.
Bangunan Keraton dan isinya adalah bukti yang lain dari keluhuran budaya Jawa. Sungguh luar biasa kehidupan raja-raja Jawa. Aku semakin yakin bahwa untuk menjadi raja, seseorang harus mendapat anugerah dari langit (ordained from heaven). Karena kewibawaan yang terpancar dari wajah para raja ini tidak bisa didapat dengan usaha manusia misalnya dengan melakukan perawatan wajah. Raja yang memiliki peninggalan paling banyak adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Terdapat satu ruangan khusus yang
menyimpan barang-barang beliau. Aku berkesimpulan bahwa Sri Sultan yang ini adalah seorang pria flamboyant semasa hidupnya. Bangunan-bangunan di dalam Keraton diatur dengan kebijaksanaan sehingga selaras dengan alam. Aku jadi bermimpi mempunyai rumah yang ditata seperti itu………..
Sore harinya dengan menggunakan Trans Jogja kami menuju ke terminal untuk menumpang bis Eka lagi menuju Surabaya. Masih banyak tempat yang belum sempat aku kunjungi di Jogja. Jogja memang berkesan bagiku karena Jogja membuatku ingin kembali.