Tuesday, March 29, 2011

MEMBAKAR SAMPAH (HATI)


Sampah selalu menjadi masalah di semua tempat di dunia, termasuk di Manokwari. Pemerintah daerah kesulitan mendapatkan tanah sebagai TPA (tempat pembuangan akhir) karena harga pembebasan tanah adat yang tinggi dan - mungkin juga  - karena masyarakat pemilik tanah adat tidak mau menyerahkan tanah leluhur mereka untuk dijadikan tempat pembuangan sampah (ini perkiraanku sendiri). Karena itu sampah menjadi tanggung jawab masing-masing rumah tangga dan cara yang paling mungkin - meskipun bukan yang paling tepat - kami lakukan adalah dengan membakarnya.  
Setiap dua hari sekali aku menaruh sampah dari rumahku  di sebidang tanah kosong yang tidak terlalu besar di samping rumah kami, yang memang dikhususkan untuk tempat sampah.  Tidak lupa aku membawa sedikit minyak tanah dan korek api. Setelah menyiramkan minyak tanah ke atas sampah tersebut aku mulai menyulutkan apinya. Dalam sekejap api menyala. Tetapi tugasku belum selesai sampai di sini. Aku masih harus menjaga agar api itu tidak cepat padam dan mengatur sampah-sampah yang berada di bagian bawah supaya bisa terbakar juga. Aku harus memastikan bahwa semua sampah telah menjadi abu.  Ada benda-benda yang mudah terbakar dan ada pula yang tidak mudah disulut api. Ada benda-benda yang cepat menjadi abu tetapi ada pula yang membutuhkan waktu untuk hancur.  
Membakar sampah memberiku kesempatan untuk merenung tentang sampah yang ada di hatiku. Kemurungan, merasa diri sebagai korban, kebencian, iri hati, dendam, kesombongan, kelekatan adalah sampah karena hal-hal tersebut tidak berguna dan malah menjadi beban bagi perjalanan hidupku. Ruang hatiku terasa sesak sehingga cinta menjadi terdesak ke pinggir dan tidak mendapatkan tempat yang layak untuk bertumbuh. Secara rutin aku harus membuang dan membakar sampah hatiku dengan cara merenung, berdoa, mengafirmasi diri dengan kata-kata yang membangun, berdialog dengan diri sendiri, mendisiplin pikiran untuk tidak kembali lagi menumpuk sampah dan mendekatkan diri pada alam.
Tetapi tidak semua sampah hati mudah untuk dilenyapkan. Aku harus kembali untuk membakarnya lagi, lagi, dan lagi. Ketika sampah hati itu sudah benar-benar hancur, aku bisa merasakan kelegaan karena hatiku kembali lapang sehingga ada tempat yang lebih luas untuk cinta bertumbuh bagi kehidupan.  
Ruang hatiku ada dalam otoritasku. Terserah aku bagaimana mau mengaturnya. Apakah aku akan menumpuk sampah yang busuk dan berbau atau memberi tempat seluas-luasnya bagi cinta untuk bertumbuh dan memancarkan keharumannya? Aku memilih cinta.

Sunday, March 20, 2011

AKU JEMU..... AKU MAU......


Aku jemu merasa takut, aku mau menjadi berani
Aku jemu kegelisahan, aku mau ketenangan
Aku jemu menyimpan kemarahan, aku mau memaafkan
Aku jemu membenci, aku mau mencintai
Aku jemu keraguan, aku mau keyakinan
Aku jemu merasa bersalah, aku mau menerima diriku sendiri
Aku jemu menjadi stres, aku mau merasa rileks
Aku jemu terburu-buru, aku mau bersabar
Aku jemu merasa sakit, aku mau sehat
Aku jemu berusaha menjadi sempurna dan menyempurnakan, aku hanya mau hidup selaras

Friday, March 18, 2011

EKSPRESI CINTANYA


"Dapat hadiah ulang tahun apa dari suamimu, Wi?" tanya seorang sahabat ketika kami bertemu di FB chat.
"Tidak ada hadiah, kami hanya makan bersama di luar," jawabku, "Bahkan pada hari itu dia lupa, sampai aku mengingatkannya."
Walaupun aku tidak melihat langsung ekspresi wajah sahabatku itu tapi aku bisa memperkirakan bahwa dahinya pasti berkerut karena selanjutnya dia bertanya, "Apakah kamu merasa bahwa itu cukup?"
Aku tersenyum kecil (yang juga tidak bisa dia lihat) dan menjawab, "Bagiku cukup."
"Salut deh aku sama kamu," jawabnya sebagai respon terakhir sebelum FB Chat kami terputus.

Aku pernah membaca suatu quote yang bunyinya kira-kira begini : "Setiap orang mengekspresikan cinta dengan caranya sendiri." Setelah 8 tahun hidup bersama suamiku, akhirnya aku menyadari bahwa ekspresi cintanya unik. Dia bukan orang yang akan menyanyikan sebuah lagu cinta,  memberikan rangkaian bunga, atau mengirimkan hadiah-hadiah kejutan yang mahal. Dia mempunyai ekspresinya sendiri.   
Ekspresi cinta paling awal yang aku rasakan adalah bagaimana suamiku membuat aku merasa bangga terlahir sebagai seorang Tionghoa di Indonesia. Di mana selama bertahun-tahun aku merasa asal usulku itu menjadi suatu 'halangan' dalam banyak hal. Melalui siaran televisi antena parabola, dia menunjukkan padaku bahwa bangsa-bangsa oriental adalah bangsa-bangsa dengan budaya tinggi dan sejarah yang panjang. Hasilnya aku bersyukur menjadi seorang Tionghoa yang lahir dan hidup di Indonesia.
Ketika kami membuka sebuah kursus bahasa Inggris di Malang dulu, aku belum lancar berbicara dalam bahasa Inggris. Suamikulah yang memaksa aku untuk berlatih. Bahkan dia pernah tidak mau menjawab pertanyaanku jika aku tidak menggunakan bahasa Inggris dan aku diharuskan menonton televisi berbahasa Inggris setiap hari untuk melatih listening dan pronounciationku.  Tentu saja aku sebal setengah mati saat itu. Tapi aku menyadari apa yang dimintanya itu tidak salah. Hasilnya sekarang aku bisa berkomunikasi dengan para wisatawan yang datang ke rumah tanpa ragu-ragu dan tidak sedikit dari mereka yang berkata bahwa bahasa Inggrisku bagus.
Di tahun 2008 aku mulai mengeluh jenuh dengan pekerjaan di toko buku dan membutuhkan sesuatu yang lebih menarik. Suamiku memperkenalkan aku pada blog. Aku disarankannya menulis. Bahkan ketika aku belum bisa menghasilkan tulisan, dia menyediakan tulisan-tulisan bagus yang bisa aku publikasikan sebagai tulisan awal di blog pertamaku, Woman Matters. Sampai akhirnya aku bisa membuat tulisan sendiri di blog ini.
Untuk kepastian finansial masa depan, suamiku tidak memberikan sebuah polis asuransi jiwa dengan namanya padaku. Tetapi dia sekali lagi memaksaku belajar. Aku harus bisa membuat toko buku online. Sebuah toko yang bisa aku bawa ke mana-mana karena tidak tergantung pada suatu gedung. Awalnya hal ini cukup membuatku sakit kepala.Selama ini aku terbiasa memakai teknologi blog yang tinggal mengisi saja. Tetapi toko buku online ini mengharuskan aku membeli sebuah domain name dan menyewa webhosting. Lalu men-set-up software Zen Cart di mana aku harus membuat beberapa penyesuaian yang diperlukan agar sesuai untuk toko onlineku. Semua itu harus aku lakukan sendiri dengan bekal sebuah e-book yang sudah didownload dan dicetak oleh suamiku. "Toko buku online ini harus jadi," katanya.  Tanggal 27 Januari 2011 'lahir'lah http://toko-buku-online-sapphire.com . Aku berterima kasih padanya karena dia sudah memberiku suatu warisan, bukan berupa 'ikan' tetapi 'kail'.
"Apakah hal-hal itu cukup bagiku?"
Jika suamiku masih bersamaku sampai hari ini, masih tidak keberatan dengan tampang dan bauku ketika baru bangun tidur di pagi hari, masih bisa bertoleransi dengan ketidakmahiranku memasak, masih lebih suka dipijat olehku daripada oleh orang lain, masih suka berdiskusi denganku sampai jauh malam, tidak menganggap belum hadirnya buah hati di tengah-tengah kami sebagai suatu kesialan, dan masih banyak lagi kebaikan-kebaikan sederhana yang dia lakukan setiap hari, apakah yang harus aku tuntut?
Itulah ekspresi cintanya.