Tuesday, November 17, 2009

Kamu!!!

Kamu!!! Ya kamu!!! Setiap kali mendengar suaramu berceloteh atau melihat bayanganmu berkelebat aku merasa sisi jahat dalam diriku bangkit dari kuburnya. Suara dan bayanganmu selalu berhasil menggugah rasa negatif dalam hatiku. Padahal seharusnya aku menyayangi kamu seperti adikku sendiri. Sebenarnya tidak pernah satu kali pun terjadi aku dan kamu bertengkar secara terbuka. Kita hanya saling memandang dan rasa benci itu tumbuh dalam hati kita masing-masing. Aku juga yakin suaraku dan bayanganku membuat kamu ingin memuntahkan isi hati yang sudah lama terpendam.

 

Aku ingat pertama kali bertemu denganmu di suatu pagi yang dingin. Ketika itu kamu baru turun dari mobil travel yang membawamu dari Yogyakarta. Wajahmu terlihat lelah walaupun aku masih bisa mengakui kamu cantik. Untuk beberapa hari kamu tidur sekamar denganku. Cara bicaramu sopan dan tidak ada alasan bagiku untuk membencimu ketika itu. Lalu kamu pergi melanjutkan pendidikan yang sementara sedang kamu jalani.

 

Aku tidak pernah menyangka bahwa kita akan bertemu lagi di rumahmu. Di sini aku berusaha menjalin persahabatan denganmu secara lebih dalam. Tetapi, entah mengapa, aku merasa hatiku tak pernah terhubung ke hatimu. Seperti ada dinding yang selalu memantulkan sinyal keakraban yang aku kirimkan. Terkadang kamu ramah, terkadang kamu menjauh tanpa aku bisa mengerti apa salahku. Aku juga heran mengapa kamu, seorang gadis baik, mempunyai beberapa orang ‘musuh’. Apa salahnya dirimu? Ketika aku menemukan sendiri dirimu, aku tidak merasa heran lagi.

 

Kamu adalah kesayangan orang tuamu. Bunga tercantik dalam keluarga karena kamu satu-satunya puteri yang mereka miliki. Apapun yang kamu lakukan ibumu selalu memuji dan memujamu, karena kamu memang idam-idaman yang ditunggu cukup lama. Jika tidak mengenal dirimu, orang lain akan terpesona mendengar ibumu bercerita tentang kamu. Sampai-sampai ada yang terpengaruh dengan pesonamu dan akhirnya harus kecewa ketika kamu tidaklah seindah ceritanya.

 

Satu kejadian di pertengahan 2009 telah memperjelas hubungan aku dan kamu. Sejak saat itu aku dan kamu benar-benar saling menjauhi. Jika perlu berpura-pura tidak saling melihat ketika bertemu secara tidak sengaja. Bagiku ini siksaan yang cukup mengganggu. Mungkin juga bagimu. Aku dan kamu sama-sama menyadari bahwa aku dan kamu sama-sama tidak berhak mengusir satu sama lain. Meskipun suara dan bayangan aku dan kamu menimbulkan rasa tidak enak satu sama lain. Aku tidak tahu sampai kapan rasa tidak enak ini akan terus berlangsung. Dari diriku, aku berusaha untuk membunuhnya. Aku berusaha mengakui bahwa rasa ini tidak benar, dosa. Aku berusaha menyayangi kamu. Tetapi aku belum benar-benar berhasil sampai hari ini.

 

Benarkah kamu adalah sosok yang begitu mengendalikan rasa benciku? Benarkah aku tidak bisa membalikkan rasa ini ke arah yang berlawanan? Betapa aku sangat-sangat berharap bisa mencintaimu, my sister-in-law.  

Thursday, November 12, 2009

Aku, Hutang, dan Uang

Hari ini aku mau merayakan sesuatu. Bukan dengan makan-makan tetapi dengan mengabadikannya dalam tulisan ini. Kamis, 13 November 2009, 08.00 WIT, aku ke BNI untuk melunasi kredit yang kami ambil ketika memulai toko buku kami. Jumlahnya mungkin tidak besar bagi para pebisnis lainnya, tetapi bagi kami yang benar-benar memulai segala sesuatunya dari nol, Rp 65.000.000,- adalah nominal yang cukup membuat kami harus bekerja keras dan tidur tidak nyenyak. Yah, itulah yang aku rasakan selama 34 bulan yang lalu. Sambil mencetak rekapitulasi pembayaran tiap bulan aku memandang lembar demi lembar kopi slip setoran yang aku simpan rapi dalam folder. Rasanya tak percaya bahwa kami sudah berhasil mengembalikan modal awal toko buku ini. Dari yang aku baca di buku-buku bisnis, break even point (BEP) suatu bisnis yang baik adalah maksimal 36 bulan. Jika kami bisa mengembalikannya dalam waktu 34 bulan berarti toko buku kami tidak jelek kinerjanya. Kalau ditambah dengan nilai buku-buku yang masih ada di toko, buku-buku yang masih dalam pengiriman, dan uang tunai yang kami miliki, aku merasa bersyukur.


Merenungkan tentang modal (=uang) membawa pikiranku kembali ke masa-masa lalu. Aku ingat suatu kejadian ketika aku masih duduk di taman kanak-kanak, saat pertama kali aku mengenal uang. Suatu hari aku membawa 4 keping Rp 25,- dan menunjukkannya kepada ibu seorang temanku. Dengan lugu aku bertanya,”Ini berapa?” Ibu itu menjawab,”Rp 100,-.“ Aku terkejut. Bagiku yang masih berumur 4 tahun Rp 100,- sangatlah besar. Kalau dibelikan es ganefo bisa dapat 10 biji. Sejujurnya uang itu aku ambil diam-diam dari dompet mama dan sebenarnya aku tidak berniat ‘mencuri’ sebanyak itu. Lalu diam-diam aku kembalikan 3 keping dan hanya menggunakan 1 keping Rp 25,- untuk jajan. Semakin besar, aku semakin mengerti bahwa dengan uang aku bisa membeli banyak hal yang aku inginkan. Orang tua mengajarku untuk menabung dulu jika ingin membeli sesuatu. Aku pun bersaing dengan adikku (laki-laki) dalam memperbesar jumlah tabungan.. Sejak SD sampai SMA nilai tabunganku selalu lebih sedikit daripada tabungan adikku. Mungkin penyebabnya karena aku lebih tidak tahan godaan untuk berbelanja daripada dia. Pernah suatu kali kami ingin memiliki sepeda roda dua yang agak besar. Istilahnya ketika itu sepeda mini. Harga sepeda yang kami incar Rp 65.000,-. Tabunganku hanya Rp 20.000,- dan sisanya – yang lebih besar – adalah tabungan adikku. Biarpun begitu aku tetap merasa berhak 50% atas sepeda itu. Ha ha ha. Karena tahu bahwa adikku mempunyai tabungan, aku sering meminta bayaran darinya jika dia memintaku menyelesaikan tugas menggambarnya. Sampai suatu hari papa menasihatiku untuk tidak berbuat begitu. Kata-katanya yang aku ingat sampai sekarang adalah : “Berikanlah dengan cuma-cuma apa yang kamu dapatkan secara cuma-cuma.” Hatiku tersentuh. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi meminta bayaran jika membantu adikku.


Aku mulai berkenalan dengan kartu kredit pada akhir masa kuliah ketika aku sudah mendapatkan pekerjaan sampingan sebagai tentor siswa SMP dan SMA. Papa memberiku kesempatan untuk memakai fasilitas kartu tambahan dari kartu utama miliknya. Tentu saja dengan wanti-wanti agar aku tidak sembarangan menggesek kartu itu jika tidak benar-benar perlu. Aku merasa bangga sekali bisa mengantongi kartu kredit. Serasa menjadi konglomerat walau sebenarnya aku masih konglomelarat. Ha ha ha…. Aku memakai kartu kredit lebih banyak pada saat membeli baju-baju. “Kan bisa bayar mundur,”pikirku yang saat itu sudah sangat ngebet beli baju tetapi belum ada uang tunai yang cukup. “Bulan depan aku bayar dengan gajiku.” Kok aku bisa begitu yakinnya saat itu kalau bulan depan pasti dapat gaji, ya? Sekarang aku mengenali ini sebagai kebiasaan menggunakan uang yang belum ada di tangan. Menurut para ahli keuangan, kebiasaan ini adalah kebiasaan paling menjerumuskan ke dalam hutang kartu kredit. Untungnya aku bukanlah orang yang terlalu berani mengambil resiko. Aku selalu melunasi tagihan kartu kreditku walaupun aku tahu gajiku di bulan berikutnya tidak akan cukup untuk keperluan sebulan. Aku ngeri dengan ancaman papa bahwa kartu kreditku akan dicabut jika aku sampai tidak bisa membayar hutang. Aku merasa tidak pede berjalan tanpa kartu kredit, waktu itu. Seingatku aku termasuk pembayar hutang yang baik, deh. He he he.


Mungkin karena sering berbelanja dengan kartu kredit, jumlah tabunganku tidak pernah tembus angka Rp 3.000.000,-. Entah bagaimana walaupun sudah bekerja di perusahaan dan tetap menjadi tentor pada sore hari aku selalu merasa dalam kondisi krisis keuangan. Kalau pinjam istilahnya orang Manokwari : uang serasa tiba-berangkat. Artinya banyak masuk tetapi banyak juga yang harus dikeluarkan sehingga yang tersisa tidak banyak. Untungnya aku tidak suka berhutang pada teman-teman karena malu dan juga karena aku sendiri tidak suka memberi pinjaman (aku tidak berbakat menjadi rentenir atau membuka bank perkreditan). Kalau kepepet masalah financial biasanya aku berhutang ke mama atau adikku. Itulah untungnya mempunyai saudara gemar menabung. Ketika akan menikah, tabunganku hanya Rp 2.500.000,- dan hanya cukup untuk menyewa gaun dan biaya rias pengantin.


Memiliki suami membuatku harus ‘bercerai’ dengan kartu kredit. Kartu kreditku aku kembalikan ke papa. Selain itu aku malas untuk memiliki sendiri karena suamiku – yang lahir besar di kota kecil dan belum pernah merasakan nikmatnya jerat kartu kredit – sudah membaca tentang resiko memiliki kartu kredit dan memutuskan bahwa kami akan berbelanja dengan uang tunai. Sungguh Tuhan tahu suami seperti apa yang aku butuhkan. Konsekuensinya kami hanya berbelanja sesuai uang tunai yang kami miliki. Bahkan kami pernah hanya memiliki sebuah handphone – yang lebih banyak aku pegang – karena suamiku tidak mau membeli handphone secara kredit. Hasilnya, sejak hidup bersama suami, aku tidak lagi berada dalam krisis keuangan seperti dulu. Bukan karena suamiku seorang jutawan tetapi karena aku tidak pernah lagi berbelanja dengan uang yang belum aku miliki.


Kemarin malam aku dan suamiku berbincang-bincang tentang keuangan kami. Kami sudah sepakat untuk tidak mengambil kredit lagi. Kami akan mempergunakan keuntungan dari toko untuk mengembangkan usaha. Tentu saja kami harus merencanakan dengan teliti pengeluaran kami. Dari suamiku aku belajar untuk berpikir 10 x sebelum membeli sebuah barang konsumtif. Bahkan saat ini kami belum membeli kendaraan pribadi karena selain belum menjadi kebutuhan mendesak kami juga belum mau menambah pos pemeliharaan kendaraan dalam pengeluaran kami. Komputer yang kami miliki masih satu unit saja dan komputer ini bekerja untuk transaksi, promosi, dan administrasi toko, serta melayani kebutuhan kami berdua, menulis dan berinternet ria. Thanks to our tough computer.


Aku masih menganggap uang itu penting untuk menunjang kehidupanku karena uang bisa membeli banyak hal. Aku pun menyetujui saran Pak Robert K yang mengatakan bahwa kita harus membuat uang bekerja untuk kita. Bagaimana caranya aku membuat uang bekerja untukku? Langkah awalnya adalah aku harus bisa mengendalikan aliran uang yang datang padaku, mengaturnya sedemikian rupa sehingga pada saat uang itu datang dan pergi, jumlah yang tertinggal masih cukup berarti.


Menuruni tangga-tangga BNI setelah melunasi hutang kredit membuat langkahku menjadi ringan. Beban di kepala dan bahuku terlepas sudah. Bulan depan aku tidak ada jadual ke BNI lagi. Sssttt….. rasanya sebelas duabelas dengan orgasme…… ha ha ha……

Tuesday, November 3, 2009

Belajar Memilih

Sejujurnya aku iri kepada anak-anak yang lahir di abad XXI. Di era informasi ini para orang tua terutama ibu-ibu mendapatkan banyak masukan tentang bagaimana membesarkan anak. Seorang ibu muda di Jakarta, Ibu Imelda, adalah salah satu contohnya. Sejak buah hatinya, Arvind, berusia sekitar satu tahun, Ibu Imelda sudah memperkenalkan kartu dan poster berisi gambar, warna, huruf, dan angka. Berdasarkan penelitian, seorang anak sudah bisa diajar mengenal huruf sejak batita, bahkan ketika masih bayi. Ibu Imelda memberitahuku bahwa semenjak rutin menggunakan kartu dan poster itu Arvind mendapatkan beberapa keterampilan seperti mengenal benda, warna, dan sudah bisa memilih. “Bisa Memilih”. Secara tidak langsung Ibu Imelda sudah melatih Arvind untuk belajar memilih. Sungguh beruntung Arvind lahir di tahun 2000-an dan memiliki seorang ibu yang mau terus meningkatkan pengetahuan tentang membesarkan anak.


Menurutku keterampilan memilih adalah satu-satunya harta pribadi manusia yang tidak pernah bisa dicuri orang lain. Aku membayangkan ketika Sang Pencipta menciptakan alam semesta ini, Dia sudah menentukan aturan bagi perputaran tiap-tiap planet dan bintang, menanamkan insting pada hewan kapan makan, kapan kawin, kapan melindungi anak, kapan mengusir anak pergi dari sarang, kapan lari dari pemangsanya tetapi untuk manusia, Sang Pencipta menambahkan satu hal yaitu kehendak bebas. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa memilih untuk mencintai atau membenci Sang Pencipta, untuk menghargai atau menyia-nyiakan alam semesta, untuk menjalani hidup dengan bersyukur atau dengan berkeluh kesah. Seandainya aku menjadi Sang Pencipta, tentu aku tidak berani mengambil resiko ini. Syukurlah Dia bukan seperti aku.


Namun sangat disayangkan, banyak manusia tidak bisa menghargai kehendak bebas orang lain, terutama anak-anaknya. Mungkin karena takut si anak membuat pilihan yang salah atau tidak mau repot menunggu anak menentukan pilihan. Orang tua baru memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih ketika si anak memberontak. Pada umumnya terjadi di usia remaja. Aku teringat pengalamanku sendiri. Orang tuaku, terutama ibuku, sering memilihkan sesuatu untukku. Alasannya karena tidak mau repot menunggu aku berpikir memilih yang mana. Ketika akan membelikanku pakaian ibu langsung mencobakannya padaku dan melihat apakah cocok atau tidak. Biasanya pakaian yang dibelikan untukku berwarna merah, merah muda, kuning, orange. Pernah suatu kali aku meminta pakaian berwarna biru, hijau, hitam, dan ibuku menolaknya dengan alasan warna-warna itu tidak cocok untukku. Sebagai seorang anak kecil aku terpaksa menurut daripada tidak mendapat baju baru. Ketika aku harus memilih jurusan di SMA, orang tuaku menyerahkan sepenuhnya padaku karena hal ini sudah di luar jangkauan mereka. Begitu pula dengan jurusan di universitas, pekerjaan, dan pasangan hidup, walaupun mereka tetap memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pilihanku.


Aku menyadari bahwa memilih bukanlah proses yang mudah karena ada konsekuensi yang mengikuti di setiap pilihan yang aku ambil. Aku setuju jika seorang anak harus dilatih untuk memilih sejak kecil supaya mereka menyadari bahwa setiap pilihan mengandung konsekuensi. Memang ini menuntut kesabaran orang tua jika suatu saat anak membuat pilihan yang salah dan terpaksa memikul akibat yang kurang menyenangkan. Semakin dini anak dilatih memilih – ketika pilihannya masih sangat terbatas – semakin mudah orang tua membereskan keadaan jika terjadi kesalahan. Si anak pun niscaya akan semakin mahir memilih.


Sampai sekarang aku masih belajar memilih. Rupanya ini proses seumur hidup. Pilihan yang harus aku ambil saat ini bukan lagi didominasi untuk memilih benda-benda. Memang aku masih harus memilih benda-benda tetapi ini bukan lagi sesuatu yang sulit karena aku sudah cukup dewasa untuk memilih yang menurutku terbaik. Yang masih merupakan struggle adalah memilih untuk tetap mengasihi ketika aku dibenci, mengampuni ketika aku dihina, tetap berharap ketika aku cemas, tetap memiliki sukacita ketika kesedihan datang dan tetap bersyukur ketika hidup tidak seperti yang aku harapkan. Memilih apa yang mau aku masukkan dalam pikiran dan hatiku dan apa yang harus aku anggap sebagai sampah batin dan aku buang.


Memilih memang tidak pernah mudah tetapi aku bersyukur karena anugerah ini tidak pernah diambil dariku selama nafasku masih ada. Aku yakin aku selalu punya pilihan untuk mewarnai hidupku.